Begandring.com-Penelusuran Petra Timmer, peneliti dari TiMe Amsterdam, menguak pandangan lain dari seorang Hendrik Berlage, arsitek Gedung Singa di Willemskade (sekarang Jalan Jembatan Merah) yang amat ikonik.
Masih dalam rangkaian diskusi menuju Hari Pahlawan 2024, pada 24 Oktober 2024, Begandring Soerabaia berkolaborasi dengan Dutch Culture dan inisiatif Berlage Di Nusantara, menggelar diskusi bertajuk “Some New Perspective on Berlage’s Gedung Singa,” di Lodji Besar Peneleh, Surabaya.
Poster diskusi Gedung Singa oleh Petra Timmer. Foto: Begandring.com
Hendrik Petrus Berlage (1856-1934) adalah arsitek dan perencana perkotaan yang sering disebut sebagai salah satu pelopor gerakan arsitektur Amsterdam School. Lulusan ETH Zurich ini banyak terpengaruh oleh karya-karya modern romantism dari arsitek Amerika, Henry Hobson Richardson. Dua karya Berlage di Indonesia, Gedung Singa di Surabaya dan Gedung Jasindo di kawasan Kota Tua Jakarta memperlihatkan gaya tersebut dalam bentukan lengkung bata segmental pada struktur bangunannya.
Dalam diskusi ini konsultan dan peneliti cagar budaya dari Belanda, Petra Timmer, menjadi narasumber pada diskusi malam ini, dengan moderator Nanang Purwono. Hadir juga anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Surabaya, Retno Hastijanti, di antara puluhan audiens yang memadati diskusi. Turut hadir juga Wakil Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur, Jairi Irawan.
“Gedung Singa mulai dirancang tahun 1898, Berlage awalnya hanya diminta untuk mengomentari rancangan gedung yang dibuat oleh Marius Hulswit (arsitek Raad Van Justitie Soerabaia),” jelas Timmer di awal diskusi. “Berlage tak puas dengan desain Hulswit, malah dia mengganti desain Hulswit dengan rancangannya, yang akhirnya menjadi gedung Singa sekarang,” tambah Timmer.
Dua patung singa bersayap karya Joseph Mendes Da Costa, yang menonjol, seakan mengurangi perhatian dari banyak detail dekorasi pada facade bangunan. “Area dormer (bentukan menonjol beratap di bagian atas bangunan) pada facade dihiasi ornamen motif bunga, sedangkan listplank juga memiliki hiasan cat dan ukiran,” papar Timmer.
Berlage mencari inspirasi dari rumah-rumah tradisional seperti istana Kerajaan Bone, istana raja Sumbawa dan rumah suku Toraja untuk desain Gedung Singa. Timmer dan tim penelitinya menemukan sebuah surat yang ditulis Berlage, yang menjelaskan perancangan Gedung Singa. Dalam surat tersebut Berlage menulis: “bagian dormer akan menggunakan konstruksi kayu, dengan lukisan dekorasi bermotif budaya lokal (Nusantara).”
Gedung Singa di Jalan Jembatan Merah, Kawasan Kota Lama Surabaya. Foto: Pinterest
Berlage juga memilih unsur-unsur warna cerah untuk Gedung Singa, kontras dengan bangunan era sebelumnya yang sering hanya menggunakan warna monoton putih atau abu-abu. Desain Gedung Singa juga simetris, ada keseimbangan sisi kiri dan kanan – berlawanan dengan gaya Berlage yang asimetris. Keseimbangan desain ini diaplikasikan Berlage hanya pada dua karyanya di Indonesia, Gedung Singa dan Gedung De Nederlanden (Kantor Jasindo).
Menurut Timmer, Berlage mengaplikasikan filosofi rumah Jawa yang simetris sebagai simbol keseimbangan dan keteraturan kosmis kehidupan penghuninya. “Filosofi keseimbangan penting mengingat pengguna gedung ini adalah perusahaan asuransi jiwa,” tambah Timmer.
Keberadaan dua patung singa juga melambangkan penolak bahaya dari luar, yang juga adaptasi dari filosofi budaya Nusantara.
Berlage tidak pernah hadir saat Gedung Singa mulai dibangun di tahun 1901, ia bahkan baru menginjakkan kaki di Nusantara pada 1923. Inspirasi ornamen dan bangunan tradisional mungkin didapat Brandes dari pameran expo internasional (seperti Paris Expo 1889 atau Brussel Expo 1897), buku-buku atau majalah-majalah yang di masa itu mulai banyak mendokumentasikan budaya Nusantara. “Jadi Gedung Singa bukan murni gaya Eropa, tapi sintesis gaya Eropa dan unsur Nusantara,” papar Timmer.
Tim peneliti Petra Timmer juga berhasil menemukan catatan pembangunan Gedung Singa dari arsip kantor Algemeene sebagai klien dari Hendrik Berlage dalam proyek ini. Tercatat kontraktor pelaksana bernama Schefert, yang berpengalaman di pembangunan gedung pemerintahan dan militer. “Dokumen ini menampilkan nama-nama supplier bahan bangunan dan alat yang terdapat juga di daftar Makam Peneleh dan di buku Von Faber,” kata Timmer, “bahkan nama-nama pengrajin kayu, mandor hingga kuli kasar yang semuanya ada 567 orang, tercatat dari kawasan Surabaya,” tambahnya.
Kolaborasi Berlage dengan seniman lain dalam penggarapan Gedung Singa, bukan sekedar kolaborasi antar disiplin ilmu. Jan Toorop – pelukis lukisan di tengah fasad gedung dan Joseph Mendez Da Costa – perancang dua patung singa bersayap depan gedung, adalah dua kawan dekat Berlage.
“Mereka sering bertemu, nongkrong dan berdiskusi bersama,” tutur Timmer. “Mereka juga sering bertukar ide, terutama tentang ide masyarakat masa depan yang mengutamakan kesetaraan.” tambah Timmer lagi.
Pembagian desain dan ornamen di fasad Gedung Singa menurut Petra Timmer melambangkan sintesa tiga unsur masyarakat Indonesia kala itu.
Sepertiga bagian atas penuh dengan ornamen tradisional Nusantara melambangkan unsur Bumiputera, bagian tengah yang terdapat lukisan Toorop sebagai simbol golongan Indo-Belanda (Jan Toorop keturunan campuran Indonesia-Belanda). Sedangkan dua patung singa mewakili golongan Eropa.
Foto bersama peserta diskusi. Foto: Begandring.com
Walaupun tidak secara eksplisit, ada indikasi Hendrik Berlage juga bersimpati pada pergerakan kemerdekaan Indonesia. Meski hanya memiliki dua karya di Indonesia, Berlage memiliki apresiasi besar pada budaya dan filosofi masyarakat Nusantara, yang juga ia tuangkan dalam buku Mijn Indische Reis (1931) tentang perjalanannya di Hindia Belanda.
Acara pun diakhiri dengan penyerahan buku “Berlage Di Nusantara” oleh Petra Timmer kepada Retno Hastijanti selaku perwakilan TACB Kota Surabaya.(*)
Penulis: M. Firman. Pegiat Sejarah dan Budaya di Surabaya.