Penulis: M. Firman*
Begandring.com-Kabupaten Sidoarjo dianggap banyak kalangan sebagai lokasi wilayah kuno bernama Jenggala berada. Beberapa penelusuran sejarah membuktikan bahwa klaim ini tak sepenuhnya benar.
Begandring Soerabaia diundang untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan Grand Opening Aloen-Aloen Kraton Jenggolo Manik di Desa Kraton, Kecamatan Krian, Sidoarjo. Dalam acara yang berlangsung selama dua hari pada 26 – 27 Juli 2025 ini, Begandring Soerabaia ikut mengisi acara pemutaran dan diskusi film “Koesno: Jati Diri Soekarno”, jagong budaya, dan teatrikal Perang Kemerdekaan bertema “Gempur Revolusi ‘45” yang merupakan kolaborasi dengan beberapa komunitas penggiat sejarah.
Jagong budaya yang mengambil judul “Jenggala Cerita Masa Lalu dan Menjemput Masa Kini.”, menghadirkan tiga narasumber: Henri Nurcahyo, penulis dan penggiat budaya Panji; Satriagama Rakantaseta, penggiat budaya dari Rumah Budaya Malik Ibrahim; lalu yang terakhir, Tri Priyo (TP) Wijoyo, penggiat sejarah era klasik dari Begandring Soerabaia.
Dari kiri: Zaki Yamani, TP Wijoyo, Henri Nurcahyo, dan Satriagama Rakantaseta. Foto: Begandring.com
Ahmad Zaki Yamani, ketua Begandring Soerabaia menjadi moderator acara jagong budaya yang berlangsung pada siang hari 26 Juli 2025 itu.
Bertempat di Pendopo Samijar, salah satu bagian dari areal Kraton Jenggolo Manik, jagong budaya ini baru dimulai 30 menit dari waktu yang ditentukan karena kendala teknis. Moderator Ahmad Zaki Yamani membuka jagong budaya dengan pertanyaan tentang klaim Kabupaten Sidoarjo sebagai “Bumi Jenggala”.
“Sejarah ada yang ditulis, ada yang dituturkan, apakah ada yang memenuhi klaim ini?” tanya Zaki.
Narasumber pertama, Henri Nurcahyo, penulis buku 101 Cerita Panji, menyorot keberadaan legenda Panji di masyarakat dan bagaimana pelestariannya. Kisah Panji yang merupakan sebuah kiasan untuk penyatuan kembali Jenggala dan Panjalu, kurang mendapat perhatian masyarakat dan pemkab Sidoarjo.
“Kalau Bumi Jenggala ya harus ada cerita Panji, yang ada Cerita Panji malah di-klaim Kabupaten Kediri, bahkan Kediri mengklaim diri sebagai Bumi Panji,” terang Henry. Henry pun menambahkan bahwa bukti sejarah Jenggala malah ditemukan di Lamongan hingga Tuban.
Henry juga menyoroti eksistensi Kraton Jenggolo Manik sebagai community space.
“Harus dicari apa yang mau diangkat atau diuri-uri oleh Jenggolo Manik, jangan nostalgia masa lalu – tapi belajar masa lalu untuk masa depan,” tegas Henry.
Narasumber kedua, Satriagama Rakantaseta, memaparkan wilayah timur Sidoarjo ini bukan kawasan Jenggala, melainkan Majapahit. Kesimpulan Seta – panggilan akrab Satriagama – adalah keberadaan toponimi wilayah, catatan ahli-ahli Belanda dan kemungkinan posisi geografis Desa Kraton di masa lalu. Seta memperkirakan Krian mungkin pernah dekat dengan laut. “Pertumbuhan daratan di kawasan Delta Sungai Brantas sekitar 15 km2, jika dihitung mundur dari garis pantai sekarang, Abad 14 M, garis pantai ada di kawasan Krian,” papar Seta.
Audiens diskusi di joglo Aloen-Aloen Kraton Jenggolo Manik di Desa Kraton, Kecamatan Krian, Sidoarjo. Foto: Begandring.com
“Nama-nama tempat seperti ‘rawa’, ‘kedung’, ‘ledok’ dan nama-nama lain yang berbau air, banyak ditemukan di sekitar Kraton,” tambahnya. Seta juga berpandangan, bahwa toponimi “kraton” mungkin terkait kraton Majapahit, merujuk pada ukuran alun-alun Majapahit.
“Dalam Negarakertagama, digambarkan ukuran alun-alun Majapahit sama seperti luasan kawasan Desa Kraton sekarang,” jelas Seta.
Narasumber terakhir, TP Wijoyo, menjelaskan bahwa nama Jenggala sebagai nama sebuah wilayah adalah fakta, berdasar data temuan prasasti dan naskah kuno. Berdasar data yang dikumpulkan TP – panggilan akrab TP Wijoyo – ada 12 prasasti dan 2 naskah yang menyebut kata “Jenggala”. Namun, apakah Jenggala yang dimaksud ini adalah nama kerajaan dan bertempat di Sidoarjo? Bagi TP, penyebutan ini dirasa kurang tepat.
“Dalam Prasasti Watukura B dan Sarwadharma, disebut istilah ‘Bhumi Jenggala’ – ini berarti wilayah luas, sedangkan di prasasti Mula Malurung dan Jiyu, kata ‘Jenggala’ merujuk pada wilayah yang diberi seorang pejabat,” ujar TP.
Wilayah cakupan Jenggala pun sangat luas, “Bhumi Jenggala bisa dilacak dari Tuban, Lamongan, Jombang hingga Sidoarjo sisi barat. Ini berdasarkan temuan prasasti ya,” terang TP. Sedangkan untuk toponimi desa Kraton, TP berpendapat bukan dari era Hindu-Buddha.
“Istilah ‘kraton’ itu dari kata ‘ratu’, jadi nama ‘kraton’ kemungkinan dari era Mataram Islam, kalau istilah lebih kuno, ‘kedhaton’,” tambah TP.
Foto bersama di akhir sesi diskusi. Foto: Begandring.com
Jagong Budaya pun berakhir setelah berjalan selama kurang lebih 2 jam, dalam kesimpulan terakhir merangkum pendapat dari para narasumber dan paparan mereka, moderator Zaki Yamani berpendapat akan pentingnya langkah kongkret mengenai sejarah Jenggala dan Desa Kraton, penelusuran dari sejarah yang ditulis maupun dituturkan.
“Dan jangan terjebak pada glorifikasi masa lalu tentang Jenggala, harus ada pelajaran untuk masa depan. Jenggala adalah fakta sejarah, yang tapi itu luas sekali, bukan hanya di Sidoarjo,” tegas Zaki menutup jagong budaya siang itu. (*)
*M. Firman. Penulis dan Pemerhati Sejarah asal Surabaya.