Sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia, Surabaya memiliki perjalanan sejarah yang panjang dan penuh warna. Dari masa ke masa—mulai dari era klasik, masa Islam, periode kolonial, era pergerakan nasional, hingga masa revolusi kemerdekaan—selalu ada kisah menarik yang membentuk identitas kota ini.
Menariknya, sebagian besar peninggalan sejarah tersebut masih dapat dijumpai hingga kini. Namun, tidak sedikit pula kawasan penting seperti Keraton Surabaya yang kini hanya tersisa dalam bentuk toponimi kampung seperti Kepatian, Tumenggungan, dan Keraton. Dengan demikian, meskipun bangunannya telah hilang, jejak sejarahnya tetap hidup di benak masyarakat.
Lebih dari 200 Cagar Budaya di Surabaya
Berdasarkan data resmi, jumlah Cagar Budaya (CB) di Surabaya telah mencapai lebih dari 200 situs. Jumlah ini meliputi Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, serta Kawasan Cagar Budaya.
Secara umum, persebaran cagar budaya tersebut lebih banyak berada di poros utara–selatan kota. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab Sungai Kalimas—yang dahulu dikenal sebagai Sungai Surabaya—menjadi pusat utama perkembangan kota sejak masa lampau. Dengan adanya sungai tersebut, aktivitas perdagangan dan permukiman tumbuh pesat di sepanjang alirannya.

Dari Persebaran Menjadi Kawasan Bertema Sejarah
Jejak peninggalan dari setiap era kemudian membentuk kelompok atau aglomerasi kawasan bersejarah. Di dalam kawasan ini, terdapat bangunan, situs, dan struktur lama yang sebagian besar belum mendapatkan penetapan resmi. Namun demikian, kawasan-kawasan tersebut tetap memiliki nilai sejarah dan karakter khas yang mencerminkan perkembangan kota.
Akibatnya, wilayah-wilayah dengan kesamaan tema kesejarahan ini akhirnya disebut sebagai Kawasan Cagar Budaya (KCB). Penamaan ini tidak hanya berdasarkan letak geografis, tetapi juga atas dasar kesinambungan fungsi ruang dan warisan budayanya.
Dasar Hukum dan Definisi Kawasan Cagar Budaya
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, disebutkan bahwa:
“Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.”
Oleh karena itu, penetapan suatu kawasan sebagai kawasan cagar budaya tidak dapat dilakukan sembarangan. Ada beberapa kriteria penting yang menjadi dasar penetapan, antara lain:
- Mengandung dua situs atau lebih yang berdekatan.
- Berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia berusia minimal 50 tahun.
- Memiliki pola ruang lama yang berusia paling sedikit 50 tahun.
- Memperlihatkan pengaruh aktivitas manusia masa lalu pada ruang berskala luas.
- Menunjukkan bukti pembentukan lanskap budaya.
- Memiliki lapisan tanah bersejarah yang mengandung bukti aktivitas manusia atau fosil.
Dengan panduan tersebut, setiap kawasan yang memiliki unsur-unsur di atas berpotensi menjadi bagian penting dari warisan sejarah Surabaya.

sumber : Pusat Data Begandring Soerabaia
Beberapa Kawasan Cagar Budaya Resmi di Surabaya
Setelah melalui kajian mendalam oleh Tim Ahli Cagar Budaya Kota Surabaya, akhirnya ditetapkan 10 kawasan resmi yang diakui sebagai Kawasan Cagar Budaya, yaitu:
- Kawasan Ampel
- Kawasan Pecinan
- Kawasan Eropa
- Kawasan Niaga
- Kawasan Peneleh dan Pandean
- Kawasan Tunjungan
- Kawasan Keputran
- Kawasan Perumahan Darmo
- Kawasan Bubutan, Praban, dan Alun-Alun Contong
- Kawasan Tumenggungan
Menariknya, peta dan batas wilayah kawasan cagar budaya ini mengalami penyesuaian pada tahun 2024. Dibandingkan dengan peta tahun 2018, kini terdapat sejumlah perubahan berdasarkan hasil evaluasi batas deliniasi dan nilai kesejarahan kawasan.
Proses Kajian dan Penetapan Kawasan
Setiap kawasan yang telah ditetapkan melalui SK Wali Kota Surabaya telah melewati kajian menyeluruh oleh para ahli. Proses ini mempertimbangkan:
- Nilai kesejarahan dan keunikan arsitektur.
- Dampak sosial, ekonomi, dan budaya terhadap masyarakat.
- Keterkaitan antar bangunan dan situs bersejarah.
Selain itu, penetapan kawasan ini juga memperhatikan keterpaduan antar fungsi ruang sehingga seluruh elemen bersejarah di kawasan tersebut dapat saling memperkuat satu sama lain.
Tantangan dalam Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya
Meski beberapa kawasan seperti Kota Lama Eropa dan Koridor Tunjungan sudah menunjukkan kemajuan, namun kawasan lainnya masih menghadapi berbagai tantangan. Oleh sebab itu, diperlukan strategi yang matang agar pelestarian berjalan berkelanjutan.
Aspek Konservasi
Pertama, dari sisi konservasi, kegiatan revitalisasi seharusnya berfokus pada perlindungan nilai autentik. Dengan kata lain, pengembangan kawasan harus memastikan bahwa pelestarian menjadi prioritas utama, bukan sekadar mengejar nilai komersial.
Aspek Ekonomi
Selanjutnya, aspek ekonomi juga tidak kalah penting. Sebab, kawasan bersejarah dapat menjadi sumber kehidupan ekonomi baru bagi masyarakat sekitar. Namun, aktivitas ekonomi tersebut tetap harus memperhatikan status hukum cagar budaya agar tidak menimbulkan kerusakan.
Aspek Wisata
Selain itu, sektor wisata juga menjadi bagian vital dalam menghidupkan kawasan heritage. Kendati demikian, konsep wisata yang dikembangkan sebaiknya bersifat edukatif dan berkelanjutan, bukan yang menimbulkan fenomena overtourism.
Aspek Urban dan Lanskap Kota
Terakhir, aspek urban dan lanskap kota berperan besar dalam memperkuat citra kawasan bersejarah. Oleh karena itu, ruang publik dan elemen lanskap sebaiknya dirancang untuk menyatu secara harmonis dengan bangunan bersejarah di sekitarnya.
Pelajaran dari Kawasan Kota Lama dan Tunjungan
Jika menilik perkembangan Kota Lama Eropa dan Koridor Tunjungan, keduanya dapat dijadikan contoh sukses pengelolaan kawasan heritage di Surabaya. Melalui kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan pelaku usaha, kedua kawasan ini kini berhasil memadukan nilai sejarah dengan fungsi ekonomi modern.
Oleh karena itu, pengalaman dari dua kawasan ini bisa menjadi model inspiratif dalam menata kawasan heritage lain seperti Ampel, Peneleh, dan Bubutan agar tetap lestari dan produktif.
Warisan yang Harus Dijaga Bersama
Secara keseluruhan, Kawasan Cagar Budaya Surabaya bukan hanya sekadar kumpulan bangunan tua. Lebih dari itu, kawasan-kawasan tersebut merupakan penanda perjalanan sejarah bangsa dan bukti nyata peradaban yang pernah berkembang di Kota Pahlawan ini.
Keberlangsungan kawasan ini tentu memerlukan komitmen bersama antara pemerintah, akademisi, komunitas, dan masyarakat. Hanya dengan cara itu, Surabaya dapat terus menjaga identitas sejarahnya di tengah modernisasi kota yang terus berkembang.