Sulung, Kawasan Penting Lintas Zaman

Kawasan Sulung di wilayah kelurahan Alun-Alun Contong, Kecamatan Bubutan, Surabaya menyimpan jejak peradapan besar dan penting mulai dari era Majapahit hingga kemerdekaan. Jejaknya amat pantas dikenang sebagai identitas lokal Kota Surabaya.

Kawasan Sulung adalah kawasan di mana pusat pemerintahan Jawa Timur berada dari masa ke masa, termasuk kahadiran Raden Soekeni Sosrodihardjo, ayahanda Soekarno, yang mengajar sebelum Soekarno dilahirkan.

 

Benteng Pertahanan Trunojoyo

Menyimak peta Surabaya 1677, yang dibuat Cornelis Speelman ketika melakukan penyerangan terhadap Trunojoyo di Surabaya, tergambar situasi Surabaya yang penuh dengan benteng-benteng pertahanan.

Benteng-benteng yang dibangun Trunojoyo ini beragam bentuk. Ada yang berupa gundukan tanah, bebatuan, dan bahkan pagar yang dipasang di sungai. Semuanya untuk menghalangi pergerakan Speelman dan pasukannya yang hendak mendekat ke jantung kekuatan Trunojoyo. Jantung kekuatan ini adalah pusat kekuasaan Trunojoyo. Letaknya di kawasan Sulung sekarang.

Tergambar pada peta 1677 dengan legenda yang menerangkan bahwa pusat kekuasaan Trunojoyo ada di lingkungan Kantor Gubernuran Jawa Timur sekarang. Kala itu, di sana ada Paseban yang melengkapi bangunan pusat pemerintahan.

Menurut buku yang diterbitkan Asia Maior, Soerabaja 1900-1950, titik di mana sekarang berdiri kantor Gubernur Jawa Timur adalah rumah bupati, Eerst Regent woning, pendopo. Saat itu di Surabaya ada dua pendopo. Selain Eerste Regent woning (Pendopo Kasepuhan), juga ada Twee Regent Woning (Pendopo Kanoman).

Raden Trunajaya (1649-2 Januari 1680) adalah seorang bangsawan Madura bergelar Panembahan Maduretna Panatagama yang dikenal memimpin Pemberontakan Trunajaya terhadap pemerintahan Kesultanan Mataram di Jawa, terutama di Surabaya.

Tercatat dalam laporan Speelman bahwa Trunojoyo sudah berada di Surabaya pada 1677. Kekuasaan Trunojoyo di Surabaya ini diduga mulai pada pascakekuasaan Adipati Jayalengkara (16… – 1630) dan Pangeran Pekik (anak Jayalengkara). Jayalengkara tunduk kepada Mataram pada 1625, lalu diteruskan putranya Pengeran Pekik.

Ketika Jayalengkara wafat pada 1630, dan Pangeran Pekik dinikahkan dengan adik Amangkurat, Ratu Pandan Wangi, kemudian Pangeran Pekik diboyong ke Mataram, maka di situlah, di Surabaya, ada kekosongan kepemimpinan.

Surabaya yang sebelumnya telah memiliki hubungan dengan Kerajaan Madura Barat, menjadi pusat pertahanan Trunojoyo dalam menghadapi Mataram.

Baca Juga  Hari Pahlawan, Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Dengan kehadiran Trunojoyo, Surabaya terus melawan Mataram. Di beberapa tempat di Surabaya dibangun benteng-benteng pertahanan. Ada di darat dan ada di air (sungai).

Melihat kebangkitan Surabaya di bawah Trunojoyo, Mataram di bawah Amangkurat II, yang selama ini bermusuhan dengan Trunojoyo, mulai membangun persekutuan bersama VOC. Persekutuan ini dikenal dengan nama Perjanjian Jepara pada September 1677, yang isinya Sultan Amangkurat II, Raja Mataram, harus menyerahkan pesisir Utara Jawa, jika VOC berhasil memenangkan pemberontakan Trunojoyo.

Untuk memenangkan pemberontakan Trunojoyo itu, VOC di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Cornelis Speelman mengerahkan kekuatan besar untuk menaklukkan perlawanan Trunojoyo.

Di laut, VOC mengerahkan pasukan Bugis di bawah pimpinan Aru Palakka dari Bone untuk mendukung peperangan laut melawan pasukan Karaeng Galesong. Di darat, VOC mengerahkan pasukan Maluku di bawah pimpinan Kapitan Jonker untuk melakukan serangan darat besar-besaran bersama laskar Amangkurat II.

Pada April 1677, Speelman bersama pasukan VOC berangkat untuk menyerang Surabaya dan berhasil menguasainya. Speelman yang memimpin pasukan gabungan berkekuatan sekitar 1.500 prajurit mendesak Trunojoyo. Benteng Trunojoyo di Surabaya sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo terdesak mundur dan dikejar hingga Kediri. Trunojoyo dapat dikepung dan menyerah kepada Kapitan Jonker di lereng Gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679.

Selanjutnya, Trunojoyo diserahkan kepada Amangkurat II yang berada di Payak, Bantul. Pada 2 Januari 1680, Amangkurat II menghukum mati Trunojoyo. Eksekusi hukuman mati yang diterapkan kepada Trunojoyo sangat mengerikan.

Sulung di era Trunojoyo.

Bangunan Pra Mataram

Masih berdasarkan laporan Speelman atas penyerangan Surabaya pada 1677, bahwa di lingkungan pusat pertahanan dan kekuasaan Trunojoyo di lingkungan Sulung terdapat bangunan kuno bekas peninggalan sebelum era Mataram. Begitu bunyi keterangan yang ditulis dalam sumber Asia Maior “Soerabaja 1900-1950”.

Peninggalan sebelum era Mataram ini diduga adalah peninggalan era Majapahit. Sayang tidak ada deskripsi mengenai bentuk dari peninggalan itu. Namun melihat luasan area pada ilustrasi peta 1677, bangunan kuno itu menggambarkan dan berbentuk sebuah komplek. Tidak ada bekas dari komplek bangunan yang disebut sebagai peninggalan pra Mataram.

Lokasi Sulung ini berada di barat Kalimas atau di seberang kawasan Kampung Pengampon, Semut dan Pandean. Menurut GH Von Faber dalam bukunya Erwerd Eenstad Geboren, perkampungan Pengampon, Semut dan Pandean Lor ini adalah kawasan yang disebut Surabaya yang dibuka oleh Raja Kertanegara (Singasari) pada 1275 M.

Baca Juga  Koridor Jalan Tunjungan Wujud Dimensi Sosial Adaptive Reuse

Surabaya 1275 adalah lingkungan permukiman baru sebagai hadiah kepada para Jawara Penilih yang berhasil membantu Raja Kertanegara dalam menumpas pemberontakan Kanuruhan pada 1270 M.

Digambarkan Surabaya adalah kawasan permukiman baru di utara Pandean-Peneleh yang dikelilingi air. Di barat ada kalimas, di timur ada kali Pegirian, di selatan ada kanal yang menghubungkan Kalimas dan Kali Pegirian (kini jalan Jagalan) dan di utara juga ada kanal yang menghubungkan Kalimas dan Kali Pegirian (kini menjadi jalan Stasiun Kota).

Diduga seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan jaman, Surabaya yang berkalang air berkembang meluas ke barat melintasi air (Sungai Kalimas). Di barat sungai inilah berkembang satu kawasan permukiman lengkap dengan pusat administrasi yang selanjutnya disebut pendopo. “Soerabaja 1900-1950” menuliskan bahwa di kawasan ini terdapat satu lingkungan dengan tata ruang tradisional Jawa. Yaitu terdapat Alun alun, pendopo dan masjid.

Selanjutnya, di era sekarang, kawasan ini menjadi pusat pemerintahan propinsi Jawa Timur. Dalam rentang waktu yang panjang ini, banyak yang terjadi dan berganti. Salah satunya adalah kisah ayahanda presiden pertama Indonesia, Raden Soekeni Sosrodihardjo, yang datang dan mengajar di SD Sulung pada 1898 hingga 1901.

Sebuah rumah klasik di kawasan Sulung. foto: begandring

Inlandsche School Soeloeng

Sekolah Rakyat (SR) Sulung. Begitulah terjemahan bahasa Indonesia dari bahasa Belanda “Inlandsche School Soeloeng”. Kini sekolah ini berganti nama menjadi SDN Alun Alun Contong I-87 Surabaya.

Inlandsche School Soeloeng diresmikan oleh Asisten Controleur Kabupaten Surabaya pada tanggal 20 Desember 1900. Sekolah ini diperuntukkan bagi kaum pribumi, yang tinggal di sekitar lingkungan Sulung.

Di sekolah inilah Raden Soekeni Sosrodihardjo, ayahanda presiden RI Pertama Soekarno, datang dan mengajar setelah pindah tugas dari Singaraja, Bali.

Zaman itu, sekolah setingkat SD dibedakan menjadi 3 kelompok sesuai etnis. Pertama adalah ELS (Europeesche Lagere School), yang diperuntukkan bagi orang Eropa. Kedua adalah HCS (Hollandsch Chineesche School) yang diperuntukkan bagi orang Tionghoa dengan Bahasa pengantar Belanda. Ketiga adalah HIS (Hollandsch Inlandsche School) yang diperuntukan bagi orang Pribumi.

Baca Juga  Rekonsiliasi Budaya Indonesia - Belanda Terkait Pergeseran Aksara Jawa ke Aksara Latin.

Nama HIS (Hollandsch Inlandsche School) ini adalah perubahan dari Inlandsche School Soeloeng yang terjadi pada 1914. Raden Soekeni Sosrodihardjo tidak lama mengajar di Inlandsche School Soeloeng  karena pada Desember 1901, ia berpindah tugas ke Ploso, Jombang.

Kepindahannya ke Jombang, juga sekaligus membawa Soekarno bayi. Soekarno, yang lahir di Pandean pada 6 Juni 1901,ikut pindah bersama ayahnya pada 29 Desember 1901. Jadi Soekarno, yang ketika itu bernama Koesno, hanya berusia 6 bulan di Surabaya.

Sekolah yang sekarang bernama SDN Alun Alun Contong itu pada perkembangan nya menjadi tempat dimana tokoh nasional Roeslan Abdoelgani bersekolah. Ia lulus dari HIS pada 1928.

Pada tahun 1990-an, sekolahan ini sempat akan dibongkar oleh pemerintah propinsi Jawa Timur untuk perluasan lahan parkir.  Tapi Cak Roes, panggilan akrab Roeslan Abdoelgani, menolak. Atas penolakan itu, Cak Roes membuat sebuah prasasti yang sekarang sudah tertempel pada tembok gedung sekolah yang menjadi memorabilia Holandsche Inlandsche School Soeloeng.

Atas peran Cak Roeslan Abdoelgani sebagai alumni HIS, gedung sekolah yang sudah ada sejak awal 1900 itu selamat. Keaslian gedung masih terjaga. Yang unik adalah kontruksi gedung ditopang dengan otot otot kayu balok. Papan tulis kuno yang bisa dilipat juga masih tertempel pada tembok. Sejumlah bangku dan meja kuno tertata di dalam ruang kelas.

Selain terhias foto foto Raden Soekeni Sosrodihardjo dan Soekarno, di dalam kelas memorabilia ini juga terdapat foto foto Roeslan Abdoelgani ketika menjabat sebagai Perdana Menteri dan jabatan kenegaraan lainnya. Ruang kelas ini layak menjadi ae uah museum.

Dari sekolah ini, terlahirlah putera putera bangsa bak pusaka yang siap setiap saat membidik sasaran, target dan cita cita.

Berbekal peninggalan yang nyata nyata masih tersisa, kiranya bisa dijadikan pendorong semangat para generasi muda meraih cita cita bangsa.

Dari kawasan ini terukir jiwa jiwa pemberani, mulai dari Trunojoyo hingga pecah pertempuran Surabaya yang ditandai dengan berdirinya Tugu Pahlawan oleh Soekarno pada 1951. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *