Kartolo dan Kenangan Melawak di Rumah Sakit Jiwa

Tepat di perayaan HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus 2020, Alun-Alun Surabaya diresmikan. Lokasinya di Kompleks Balai Pemuda, Jalan Gubernur Suryo, Surabaya.

Alun-Alun Surabaya tersebut dilengkapi ruang bawah tanah. Keberadaannya difungsikan untuk wadah kegiatan para pegiat seni dan budaya di Kota Pahlawan.

Di momen itu, Kartolo diundang sebagai tamu kehormatan. Dia duduk di deretan depan. Bersama para pejabat Forum Pimpinan Daerah (Forpimda) Surabaya.

Tak banyak yang berubah dalam diri Kartolo. Seniman ludruk legendaris itu tetap rendah hati dan bersahaja. Dia juga masih ramah, ceria, dan murah senyum.

Kartolo kemudian didaulat tampil di atas panggung. Menghibur para undangan yang telah lama menanti kehadirannya. Kartolo tidak sendiri. Dia tampil bersama istrinya, Katini, Cak Lupus Arboyo, dan Cak Suro.

Sesaat, parikan spontan pun mengalir dari mulut Kartolo:

 Numpak sekuter nang Yuk Painah/Dalane soro sebab banne pecah/ Awakku gemeter tak pikir kenek corona/ Tibane ditagih perkoro sewane omah

Limang wulan aku ngalami susah akibat virus corona/Gak oleh metu-metu teko omah/Gak duwe duwik, sepeda motorku loro tak dol murah-murah

Dalam urusan melawak, Kartolo memang jagonya. Saat pandemi, ada celoteh yang sudah ikonik dan populer di media sosial: “Maskeran Rek..! Angel Temen Tuturanmu.” (Ayo Pakai Masker…! Susah Betul Menasihatimu).

Kartolo bilang jika kata-kata tersebut biasanya dipakai untuk menasihati anak-anak.

Iku omongane Cak Basman, nuturi anake sing cengkal (Itu kata-kata Cak Basman yang sulit memberi tahu anaknya),” ujar Kartolo.

Basman adalah teman Kartolo sesama seniman ludruk yang sudah meninggal.

Sabagai teman dan pengagumnya, saya menempatkan Kartolo sebagai sosok paling berpengaruh terhadap perkembangan ludruk di Jawa Timur. Karakternya kuat. Pengalaman dia dari panggung ke panggung cukup panjang. Dari kejadian menyenangkan, tidak mengenakkan, sampai yang satire.

Saya masih ingat kenangan yang tak pernah dilupakan Kartolo. Ketika dia dapat job manggung di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dr. Radjiman Wediodiningrat atau dikenal dengan RSJ Sumber Porong.

Bagi Kartolo, penampilan di acara seperti ini merupakan yang pertama kali. Makanya, dia berpikir keras. Mencari cara dan model lawakan yang bisa membuat pasien RSJ tersenyum dan terhibur.

Tiba waktunya, Kartolo dan kawan-kawannya berangkat. Perjalanan dari Surabaya menuju RSJ Sumber Porong memakan waku sekitar satu setengah jam.

Tiba di lokasi, Kartolo merasa biasa-biasa saja. Ada petugas di sana yang menyambutnya, lalu menyilakan dia dan teman-temannya menunggu di ruang yang di-setting untuk para pengisi acara.

Baca Juga  Dahlan Iskan, Pieter Merkus dan Koresponden De Locomotief

Lakon berubah. Saat Kartolo di atas panggung. Awalnya, Kartolo berpikir bisa sukses dengan melempar joke-joke andalannya. Sekali, dua kali, Kartolo berceloteh dan berharap bisa membuuat penontor gerr..

Namun yang terjadi sebaliknya. Kartolo dibikin bingung lantaran respons dingin penonton. Berbagai jurus lawakan sudah dikeluarkan. Namun hal itu tak membuat penonton tertawa. Tersenyum pun tidak.

Pentas tak mungkin berhenti. Kartolo tetap melanjutkan dari ngidung, parikan, dan cerita humor. Kartolo dan kawan-kawannya nyaris frustasi. Mereka merasakan sudah kehabisan bahan lawakan, tapi penontonnya seolah gak ngereken (tak menghiraukan).

Selang beberapa saat, terjadilah peristiwa ini. Tak ada angin tak ada hujan, layar panggung roboh. Pertunjukan jadi berantakan. Petugas di RSJ Sumber Porong kalang kabut. Mereka kemudan berjibaku membenahi layer yang ambruk.

Di tengah kebingungan itu, pemandangan kontras justru terlihat di rona para penghuni RSJ Sumber Porong. Pasalnya, mereka malah tertawa terbahak-bahak melihat kejadian itu. Bahkan sebagian dari mereka terlihat tertawa sambil terguling-guling.

Kartolo bersama teman-temannya hanya terdiam melihat kejadian itu. Dia puun lalu tersenyum kecut. Baru kali ini dia mengalami apa yang lucu ternyata tidak lucu. Sedang apa yang tidak lucu, ternyata menjadi lucu.

“Tibake sing gendeng ludruke. (Ternyata yang gila pemain ludruknya),” ucap Kartolo, lalu disambut gerr teman-temannya

Kartolo, Ning Tini, dan Sapari tampil di Balai Budaya Kompleks Balai Pemuda.foto:humas pemkot surabaya

Tampil di Kampus Ternama

Selama menjadi seniman, Kartolo juga masuk sering diundang kampus-kampus ternama di Tanah Air. Tahun 1990, saya juga menyaksikan Kartolo cs melawak di Universitas Airlangga (Unair). Tampil di acara open air di pelataran parkir Fakultas Hukum. Saat itu, Kartolo melakonkan diri sebagai mahasiswa yang kementus (sok tahu).

Dalam dialog, Sokran bertanya kepada Kartolo, “Koen wis melok kuliah opo, Lo, (Kamu ikut kuliah apa?)”

Dengan enteng Kartolo menjawab,” Kewirangan.”

Spontan, para mahasiswa yang nonton terkekeh-kekeh mendengar plesetan mata kulaih Kewiraan menjadi Kewirangan.

Kartolo juga pernah tampil di acara wisuda Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Kidungan dan celotehannya membuat banyak orang yang hadir ger-geran.

Kartolo mengaku heran, mengapa mahasiswa suka lawakannya. Suatu kali dia pernah bertanya kepada mahasiswa, katanya dia dianggap ceplas-ceplos. Lawakannya khas. Mewakili suara masyarakat.

Kartolo juga pernah diundang mengisi kegiatan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Dia didaulat menjadi pembicara dalam seminar kebudayaan Bersama Emha Ainun Nadjib dan Harry Mukti (kini sudah almarhum).

Kala itu, Kartolo mengekau keder seraya bilang, “Saya gak wani. Saya ngelawak ae. Ngomong nang seminar malah salah kabeh, hehe…”

Baca Juga  Jalan Gemblongan

Bukti banyaknya pecinta lawakan Kartolo itu bukan ngecap. Tahun 1998, saya pernah dititipi teman yang saat itu tinggal di Amerika Serikat untuk dibelikan kaset-kaset Kartolo. Kawan saya itu sedang menempuh studi manajemen di salah satu universitas di Sacramento.

Yang diminta kawan saya kaset-kaset Kartolo edisi lama. Akhirnya, setelah mencari, saya menemukan ada penjual kaset-kaset lawas Kartolo di Pasar Blauran. Tanpa pikir panjang, sekitar 20 kaset Kartolo saya beli.

Kaset-kaset Kartolo itu kemudian dikirim ke AS. Beberapa hari kemudian, teman saya itu mengontak. Selain mengucapkan terima kasih, dia mengabarkan jika kaset-kase Kartolo jadi rebutan teman-temannya yang sama sama kuliah di Amerika.

Belakangan, saya baru tahu alasan dia ingin memiliki kaset-kaset Kartolo itu. “Stres saya hilang kalau sudah dengerin Kartolo,” ucap dia.

Kawan saya juga bilang, banyak temannya dari Indonesia di AS yang merasa terhibur dengan lawakan Kartolo. Mereka bisa terkekeh-kekeh sambal memegangi perut mendengar banyolan Kartolo.

Teman saya itu tak sendiri. Banyak pejabat di Indonesia yang juga mengandrungi Kartolo. Harmoko, mantan Menteri Penerangan, salah satunya. Harmoko punya banyak koleksi kaset Kartolo. Itu diketahui dari bocoran informasi yang disampaikan sopir Harmoko ketika bertemu Kartolo dalam suatu acara di Surabaya. Saat itu, sopir Harmoko menunjukkkan kaset Kartolo dalam laci mobilnya.

“Bapak (Harmoko, red), sering tertawa sendiri di mobil mendengarkan kaset sampeyen, Cak,” begitu kata sopir Harmoko, lalu tersenyum.

Jenderal R. Hartono, Jenderal Suyono, dan Jenderal Faisal Tanjung, dan Jenderal Moeldoko juga penggemar Kartolo. Musisi Ahmad Dhani juga punya koleksi kaset Kartolo lumayan banyak. Komedian Cak Lontong, malah lebih “dekat” lagi. Dia disebut-sebut punya talenta yang mirip dengan Kartolo

 

Filosofi Kapas

 “Yu Painten keleleken jendelo, cekap semanten piatur kulo”  

Parikan Kartolo itu sangat populer. Kalangan pecinta dan penikmat ludruk pasti hapal kidungan tersebut. Dulu, banyak radio swasta yang memutar Ludruk Kartolo Cs, selalu menempatkan kidungan tersebut sebagai penutup acara.

Kidungan Kartolo memang digandrungi banyak kalangan. Mulai dari para akademisi, praktisi dan pejabat. Tak terkecuali para seniman sendiri. Karya-karya Kartolo berhasil mencuri hati kaum lintasgenerasi. Tak berlebihan jika Kartolo kemudian dinobatkan sebagai Seniman Terbaik Jawa Timur 2005.

Budayawan Sindhunata juga terheran-heran ketika mempelajari kidungan Kartolo. Sebab dia tahu, banyak orang dari berbagai strata sosial menyukai lawakan Kartolo.

Pengamatan dia, di perkampungan di Kota Malang, ada yang rajin mendengar kasetnya sambil bekerja. Mereka membuat sendiri sebuah tape sederhana beserta pengeras suaranya. Tak bosan-bisan mereka mendengarnya dari pagi hingga usai bekerja.

Baca Juga  Toko Nam Dari Masa Ke Masa

Di Kota Batu, sais-sais dokar pun suka mendengar kaset Kartolo sambal terkantuk-kantuk menunggu penumpang.

Di mata Sindhunata, seperti seniman ludruk lainnya, Kartolo punya segudang pengalaman. Jelas dengan demikian, akar atau tanah lawakannya bukanlah kecukupan atau kegembiraan. Melainkan kekurangan, kepahitan atau kesedihan.

Jika ditarik dalam humor akan menghasilkan efek komedi yang tragis. Komedi macam ini hanyalah ekspresi seni dari hidup rakyat yang susah dan berkekurangan sehari-harinya. Pantas bila seni Kartolo laris manis di kalangan mereka.

Budayawan Emha Ainun Nadjib juga manaruh kekaguman serupa terhadap kesahajaan Kartolo. Emha sempat menawari Kartolo bergabung dengan kelompoknya, Kiai Kanjeng. Namun tawaran itu tidak dikabulkan Kartolo. Kartolo tetap bertahan dengan grup lawakannya karena ada keterikatan batin.

Suatu sore, saya pernah menemui Kartolo di rumahnya di Jalan Kupang Krajan I/12-14, Surabaya. Ditemani strinya Ning Tini, Kartolo mengaku mensyukuri apa yang diterimanya sekarang.

Kartolo menghayati hidup ini sangat sederhana. “Manungso iku lemah. Sopo ae wonge, pangkat lan kedudukane masio mumbul koyok kapuk, wayahe tuwek mesti leren, mati, susah ninggal jeneng.” (Manusia itu lemah. Siapa pun orangnya, pangkat dan kedudukannya, meski pun terbang seperti kapas, ketika tua pasti berhenti, mati, susah meninggalkan nama).

Bagi Kartolo, seniman itu bisa menjadi tuntunan dan tidak membuat masalah. Prinsipnya tidak ikut ke mana-mana. Kalau ada yang salah diingatkan, kalau tidak mau ya urusan masing-masing.

“Sing penting gak nggurui lan ngelarakno ati wong liyo.” (Yang penting tidak menggurui dan menyakitkan hati orang lain).

Meski sudah memiliki nama besar, Kartolo tak mau bersikap jemawa. Setap acara Agustusan di kampungnya, Kartolo dan Ning Tini rutin ikut tampil tanpa mau dibayar. Dia juga mengajak beberapa tetangganya ikut melawak.

Bagi saya, Kartolo masih yang terbaik di dunia ludruk. Khususnya versi Jawa Timuran. Dia peletak dasar ludruk modern, sekaligus pembaharu genre kesenian ini. Parikan-parikan yang sarat kritik sosial dan ungkapan jenaka, sering kali berupa improvisasi di atas panggung yang tercipta saat itu juga.

So, jika sekarang muncul “seruan” Indonesia butuh ketawa, mendengarkan parikan Kartolo bisa menjadi pilihan. Bukankah tertawa karena ada hal lucu maupun menertawakan diri sendiri sangat bagus untuk kesehatan? (*)

 

Ditulis Oleh : Agus Wahyudi, pemimpin redaksi Begandring.com

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *