Aksara Jawa dan Kanji di Hari Aksara Internasional

Begandring.com: Surabaya, 7/9/2023 – Konsul Jendral (Konjen) Jepang di Surabaya, Ishii Yutaka, bertemu tokoh pegiat dan pemerhati budaya Surabaya AH Thony serta redaktur majalah beraksara Jawa “Ajisaka”, Andi Asmara dan Koordinator Literasi Amyn Chusen dari Balai Bahasa Jawa Timur. Hadir dalam pertemuan itu adalah dari komunitas Begandring Soerabaia dan perwakilan dari Gothe Institute Jerman.

Mereka bertemu di Historica cafe di jalan Sumatera Surabaya pada Rabo, 6 September 2023 untuk membahas persiapan rencana peringatan Hari Aksara Internasional yang jatuh pada 8 September 2023. Namun rencana pelaksanaan kegiatannya sendiri akan diadakan pada akhir September 2023.

Kolaborasi kebudayaan antar bangsa, Jepang dan Jawa. Foto: Begandring.

Bentuk kegiatan Hari Aksara Internasional, yang awalnya digagas oleh Begandring Soerabaia, akhirnya mengerucut menjadi bentuk Pameran Aksara setelah pembicaraan dalam pertemuan itu. Akan ada beragam aksara nusantara dan aksara dari negara negara sahabat yang berkantor di Surabaya. Diantaranya adalah Jepang, China, Jerman dan Thailand.

Secara umum, Hari Aksara yang sekarang disebut Hari Literasi Internasional, International Literacy Day (ILD), bertujuan untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya literasi sebagai martabat dan hak asasi manusia, serta untuk memajukan agenda literasi menuju masyarakat yang lebih melek huruf (aksara) yang berkelanjutan.

Dari dua variable: Aksara dan Berkelanjutan yang menjadi kata kunci dan dasar pemikiran mengapa Begandring Soerabaia menggagas diadakannya peringatan ini. Berkelanjutan (sustainability) tidak hanya dipandang sekarang (now) dan mendatang (future), tetapi juga memandang secara historis. Yaitu aksara aksara lama, yang keberadaanya menghadapi bahaya.

Aksara aksara lama dan langka seperti Aksara Jawa dan Kawi, yang keberadaanya menjadi langka, perlu dijaga keberlanjutannya agar kita tau dan mengerti ada pesan, ilmu pengetahuan, cara cara tradisi apa yang pernah dilakukan oleh nenek moyang. Untuk mengetahui itu semua, maka perlu melek aksara lama. Artinya perlu ada upaya upaya bersama yang terstruktur dan massive dalam belajar aksara nenek moyang.

Baca Juga  Surabaya sebagai Sajadah Sejarah Kota

Di Jawa Timur banyak ditemukan prasasti prasasti yang menggunakan aksara Kawi. Jika aksara Kawi menjadi lebih populer, maka memungkinkan kita bisa mengerti pesan pesan apa di balik aksara. Bukan tidak mungkin rangkaian kalimat dalam aksara Jawa atau Kawi menyimpan informasi tentang teknologi tradisional, kearifan lokal dan cara cara hidup yang ramah lingkungan.

Dalam Undang Undang 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, bahwa manusript dan bahasa menjadi obyek Pemajuan Kebudayaan yang perlu diperhatikan dan dimajukan.

Dalam konteks ini, Hari Aksara Internasional tahun ini dirayakan di seluruh dunia dengan tema, ‘ Mempromosikan literasi untuk dunia dalam transisi: Membangun landasan bagi masyarakat yang berkelanjutan dan damai’ .

 

Belajar Dari Jepang

Adalah Begandring Soerabaia, tokoh budaya Surabaya A Hermas Thony dan Konsul Jendral Jepang di Surabaya, Ishii Yutaka, yang mulai mengembangkan gagasan dasar peringatan Hari Aksara Internasional bersama negara negara sahabat yang berkantor di Surabaya.

Dua Aksara, satu makna. Cinta. Foto: Begandring.

Menurut Thony bahwa peringatan ini bersifat global maka masih sangat beralasan jika Surabaya, Jawa Timur menggelar acara yang bersifat promosi literasi untuk mengingatkan kepada masyarakat pentingnya baca dan tulis.

Karenanya, tambah Thony, ketika Menteri Pendidikan RI, Nadiem Makarim, tidak mewajibkan mahasiswa menulis skripsi sebagai syarat kelulusan jenjang S1 sesuai Peraturan Mendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, Thony yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya tidak sepakat. Karena kebijakan ini dianggap bertentangan dengan tujuan Hari Aksara (Literasi) Internasional yang bertujuan untuk memajukan agenda literasi menuju masyarakat yang lebih melek huruf (aksara) dan berkelanjutan.

“Menulis skripsi itu menjadi wujud olah pikir ilmiah bagi mahasiswa dan sekaligus pendokumentasian agar isinya (buah pikir) bisa dilanjutkan, diimplementasikan. Kebijakan ini bertentangan dengan Hari Literasi yang bertujuan agar warga melek huruf dan berkelanjutan”, terang Thony.

Baca Juga  Keceriaan Subtrack, dari Busana Klasik dan Rute yang Menarik

Ishii Yutaka mencontohkan betapa pentingnya kebiasaan tulis dan baca di Jepang, dimana sejak usia dini anak anak Jepang sudah mulai dibiasakan menulis, termasuk menulis dalam Aksara Jepang. Akibatnya masyarakat Jepang menjadi terbiasa dengan budaya menulis baik menulis demi masa depan maupun menulis demi pelestarian jati dirinya. Yaitu menulis dalam huruf huruf Kanji.

Ishii Yutaka menunjukkan goresan Aksara Jepang yang berarti ‘Cinta’. Foto: Begandring.

Yutaka mencontohkan pada anaknya sendiri. Anaknya lahir di Indonesia. Pada usia 11 bulan, ia memboyong keluarga nya balik ke Jepang. Maklum sebagai diplomat, ia sering berpindah pindah negara. Belum lama tinggal di Jepang, baru 2 tahun, ia ditugaskan di negara lain. Demikian seterusnya sampai anaknya beranjak remaja.

Selama ia berpindah pindah tugas, anaknya dihadapkan pada situasi yang berbeda beda. Beda budaya dan beda bahasa. Tapi ia tetap bisa bicara bahasa Jepang, termasuk menulis Aksara Jepang, Kanji. Kok bisa?

Kata kata baik seperti ‘Cinta’ sering menjadi harapan yang terserat dalam aksara Jepang. Foto: Begandring

Sejak kecil, anaknya dibiasakan menulis. Utama nya menulis dalam aksara Jepang. Menurutnya menulis Aksara Jepang adalah wajib bagi warga Jepang. Menulis Aksara Jepang tidak hanya sekedar bisa menulis, tapi di sana ada ajaran ajaran budaya dan filosofi yang harus diketahui oleh warga Jepang.

Misalnya ketika sedang menulis, anak anak Jepang harus dalam sikap duduk yang benar. Memegang alat tulis dengan posisi yang benar. Konsentrasi pikiran yang benar, fokus. Pikiran dan perasaan tertuju dan konsentrasi pada menulis. Jadi menulis Aksara Jepang tidak hanya sekedar menghasilkan tulisan, tetapi di sana ada proses pembelajaran nilai nilai leluhur.

Ada kebiasaan dalam setahun dimana mereka menulis Aksara Jepang dengan seindah indahnya, dengan sepenuh hatinya yang berisi sebuah harapan dalam memasuki hari hari, bulan dan tahun yang akan dilalui. Menulis adalah ekspresi doa. Kegiatan ini menjadi kebiasaan dan budaya di Jepang. Selanjutnya, hasil karya tulis dipajang sebagai dekorasi rumah. Dengan demikian mereka senantiasa diingatkan oleh harapannya sendiri.

Baca Juga  Giatkan Profil Pelajar Pancasila, SMA Kr. Masa Depan Cerah Gelar Pagelaran Budaya

Jepang adalah negara maju, moderen. Tetapi penggunaan aksara tradisionalnya bagai belantara aksara tradisional di tengah modernisasi.

Sementara menurut Andi Asmara, pegiat budaya dan literasi Jawa, Madyantara ring Majapahit, di Trowulan yang juga menjabat sebagai redaktur majalah beraksara Jawa, Ajisaka, di Balai Bahasa Jawa Timur, bahwa orang Jawa pun ketika menulis aksara Jawa harus dengan sepenuh hati.

“Ini pengalaman di keluarga saya. Saya ingat ketika mbah saya ngajari menulis, tidak hanya menulis secara fisik, tetapi persiapan menulis dan pada saat menulis juga menjadi perhatian. Termasuk apa yang ditulis. Sehingga segenap hati dan fisik menjadi satu konsentrasi ketika menulis. Itu yang saya ingat dari mbah ketika mengajarkan menulis aksara Jawa”, jelas Andi.

Sehingga pada dasarnya menulis aksara nenek moyang ini bagai menulis ruh leluhur, seperti berdoa kepada leluhur dan berkomunikasi dengan leluhur. Harus telaten, sabar dan tenang. Kusyuk.

Jumpa pers dengan sejumlah media masa dalam menyambut Hari Aksara Internasional. Foto: Begandring

Sementara menanggapi Andi, Ishii Yutaka Jepang menjelaskan bahwa posisi geografis Jepang yang bagaikan pulau pulau terpencil di tengah lautan, menjadikan warganya tidak tersentuh oleh peradaban lain dan asing.

Berbeda dengan Indonesia yang sering menjadi jujugan bangsa asing sehingga pengaruh luar sangat mempengaruhi. Akibatnya perubahan dan pengaruh budaya asing mempengaruhi peradaban aslinya. Termasuk peradaban budaya tulis dan baca aksara Jawa dan nusantara.

Melalui peringatan Hari Aksara (Literasi) Internasional ini kita seolah diingatkan untuk melestarikan peradaban Aksara yang ada termasuk makna yang terserat di dalamnya. Tidak hanya kemudian bisa tulis dan baca dalam konteks kekinian, misalnya menulis skripsi, tetapi juga bisa tulis dan baca Aksara leluhur sehingga kita tahu apa yang ditulis leluhur lewat prasasti dan kitab kitabnya. (nng)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *