Era terus menggelinding. Perubahan terus terjadi. Nilai-nilai baru bermunculan. Siapa dan apa yang tidak teguh di pusaran dan arus perubahan, tentu akan tergerus gelombang perubahan itu. Maka mereka akan berwujud lain. Tidak lagi seperti sejatinya. Ini adalah hukum alam yang tidak bisa disalahkan.
Justru pertanyaannya, sejauh mana orang orang itu akan kuat mempertahankan diri sebagai warna dan idetitas dirinya. Menjaga identitas adalah penting. Baik Identitas nasional maupun lokal. Identitas mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai pemersatu bangsa, sebagai landasan negara, dan juga perlindungan diri dari dampak buruk globalisasi.
Lantas bagaimana dengan identitas Surabaya yang juga menjadi bagian dari identitas komunitas Jawa?
Secara teritorial dan kultural, Surabaya sudah mendapat pengaruh dari Mataram sejak abad 17. Akhirnya dalam struktur dan sistem pemerintahan dan sosial, budaya Jawa Mataraman telah membentuk pribadi komunal Surabaya sebagai orang Jawa. Kendati Arek Suroboyo memiliki budaya tersendiri yang sedikit berbeda dengan budaya Mataraman.
Secara umum, baik dan bijak bila kita mau melihat kembali budaya Jawa yang adu luhung itu. Salah satu dari Tata Panca Karsa yang dibahas dalam tulisan ini adalah Tata Krama. Berikut budaya Jawa terkait Tata Krama yanag dibedah Christ Wibisono, budayawan Surabaya.
Tata Krama
Tata krama, unggah-ungguh, subasita, trapsila, adalah ajaran hidup yang banyak dipergunakan dalam masyarakat Jawa pada umumnya.
Tata krama adalah ilmu yang mempelajari tentang adat istiadat, pandangan hidup, norma-norma, tata nilai yang berlangsung di masyarakat Jawa.
Menurut Frans Magnis Suseno SJ., seorang peneliti dan penulis budaya dan etika Jawa, tata krama adalah panduan hidup yang berlandaskan moral, hati nurani, dan olah rasa.
Dalam buku Etika Jawa, dijelaskan bahwa orang Jawa tidak mengenal baik dan jahat. Orang baik adalah orang yang selalu berbuat kebaikan dan selalu bermafaat yang bisa dirasakan oleh orang lain mupun dirinya sendiri.
Sedangkan orang jahat adalah orang yang bertindak karena ketidaktahuan bahwa perbuatannya akan berakibat buruk bagi orang lain.
Jadi, apabila ada orang bertindak merugikan orang lain, itu dianggap sebagai orang yang belum mengerti mana yang baik dan mana yang tidak baik.
Keselarasan dalam Etika Jawa
Frans Magnis Suseno dan S. Reksosusilo, 1983, Etika Jawa, menekankan keharmonisan, keselarasan pada setiap dimensi kehidupan. Salah satunya adalah dengan alam.
Orang Jawa yang ideal adalah mereka yang melakukan kewajibannya terlebih dahulu daripada menuntut hak. Kerukunan pada orang Jawa mendahulukan kerukunan sosial daripada kerukunan pribadi. Artinya semakin besar lingkup komunitasnya, semakin mengecil kepentingan kelompok kecil yang ada di dalamnya.
Ciri etika Jawa dibanding ilmu etika lainnya terdapat pada penekanan dimensi keselarasan antara makrokosmos (manusia) dan mikrokosmos (keteraturan semesta). (Wiwien Widyawati, 2012)
Pendekatan keselarasan ini sudah pernah disinggung sebelumnya pada bagian pertama tentang Tata Rasa dalam bahasan hubungan manusia dengan kosmos; Rahayuning bawana kapurba waskitaning manungsa, yang berarti bahwa kesejahteraan dunia tergantung manusia yang memiliki ketajaman rasa. Kedua kosmos itu selalu terjadi interaksi yang saling mempengaruhi.
Untuk menjaga supaya tidak terjadi hal buruk yang bisa menimpa antara keduanya maka si manusia Jawa itu kemudian menyikapinya dengan menganggap perlunya menjaga keselarasan hidup dalam kehidupannya masing-masing yang saling menghidupi.
Kekuasaan dalam Etika Jawa
Etika Jawa menekankan sikap hormat terhadap apa saja karena segala yang ada di dunia adalah percikan kasih Ilahi. Sikap hormat semacam ini melampaui sikap hormat yang didasarkan pada hierarki jabatan dalam institusi-insitusi.
Oleh karena itu, Frans Magnis Suseno SJ. masih menambahkan bahwa penghormatan kepada seorang raja pun sesungguhnya didasarkan pada keyakinan bahwa seorang raja merupakan wakil Tuhan untuk melangsungkan tatanan dunia sesuai kehendak Ilahi, dan apabila seorang raja gagal melaksanakan mandat menyejahterakan rakyat karena lebih senang memenuhi nafsu-nafsu pribadi, maka ia akan kehilangan legitimasi kekuasaan dari rakyat.
Kendati begitu pun rakyat tetap menaruh hormat pada raja sebagai petinggi kekuasaan hirarki walau sebatas satuta strata sosial, tidak lebih. Tidak jarang acapkali timbul kasak-kusuk gosip harian sebagai ekspresi ketidaksenangan wong cilik yang tidak punya pilihan. Rakyat hanya punya harapan tinggal menunggu waktunya suksesi, yang berarti seumur raja yang sedang berkuasa.
Begitu pun tetap tidak akan pernah mengurangi tatanan derajat etika dalam interaksi ketika diperhadapkan antara rakyat terhadap raja dan orang-orang di pusaran kekuasaan meski itu dilakukan hanya setengah hati. Sokur bila raja segera menyadari lalu berubah, akan tetapi bila ia hipokrit, bisa saja akan menggunakan kekuatan kekuasaannya untuk bertindak yang tidak populis.
Sumber-Sumber Etika Jawa
Etika Jawa tertuang dalam berbagai bentuk karya peninggalan orang Jawa seperti epos Mahabarata, Ramayana, atau karya-karya mitologis lainnya. (Gede Samba, 2013). Selain itu beberapa bentuk karya lain yang merupakan sumber ajaran etika Jawa berupa tembang, cerita rakyat, peribahasa, slogan-slogan tertentu hingga petuah-petuah sederhana yang sering diucapkan masyarakat dalam hidup sehari-hari. (Frans Magnis Suseno dan S. Reksosusilo, 1983)
Selain itu, sumber etika yang lazim didapati dalam hidup keseharian dapat digali dari ritus-ritus slametan, dll. yang sarat dengan simbol-simbol penuh makna sebagai panduan hidup. (Ignas G. Saksono dan Djoko Dwiyanto, 2011). (*)