Sebuah paguyuban budaya di Kota Surabaya tengah dipersiapkan untuk hadir sebagai garda dan tanggul budaya Nusantara, terutama budaya Jawa. Tidak mungkin, derasnya arus budaya asing yang cepat atau lambat akan meneggelamkan budaya dan kearifan lokal.
Tanda-tanda sudah tenggelamnya budaya dan kearifan lokal ini nampak di depan mata. Mulai gaya hidup, pola pikir, pola rasa dan cara hidup yang tidak sesuai dengan kearifan lokal dan budaya lokal.
Gejala-gejala itu sebagai bukti dari sebuah ramalan yang berbunyi “ Kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange” (sungai hilang kedalamanya dan menjadi dangkal), sebagaimana diprediksi Jayabaya. Pasar yang tak lagi bergemuruh sekarang karena transaksi jual beli hampir tidak ada lagi karena sudah dibandrol dengan harga pas di supermarket.
Pesan tersebut di atas adalah gambaran bahwa kearifan lokal sudah mulai terkikis. Karenanya, diperlukan tanggul budaya atau benteng budaya demi budaya itu sendiri.
Sebuah paguyuban baru di Surabaya tengah disiapkan. Namanya, Paguyuban Kusuma Handdrawina (PKH) Surabaya. Para pengurusnya sempat bertemu Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Paku Buwono XIII di Ndalem Kraton Kasunanan Surakarta Hadinibgrat pada 28 Agustus 2022 lalu.
Dari hasil pertemuan dengan GKR PB XIII, ditemukan 5 tata yang akan menjadi koridor pergerakan benteng budaya PKH Surabaya. Yakni tata rasa, tata pikir, tata krama, tata bahasa dan tata busana.
Kelima tata yang selanjutnya dirangkum menjadi Tata Panca Karsa ini akan dipakai sebagai kegiatan dasar dan arah. Sehingga jadilah Tata Panca Karsa Paguyuban Kusuma Handdrawina Kota Surabaya.
Masing-masing karsa ini memiliki nilai universal. Hal itu oleh budayawan Surabaya Christ Wibosono dalam tulisan berseri.
Tata Rasa–kecerdasan emosi (EQ)
Steiner (1997) menjelaskan pengertian kecerdasan emosional adalah suatu kemampuan yang dapat memahami emosi diri sendiri terekspresikan untuk meningkatkan maksimal etis sebagai kekuatan pribadi.
Senada dengan itu, Davis, Stankov dan Robert (1998) mengungkapkan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk menyatukan dan mengendalikan perasaannya sendiri dan orang lain, dan menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memadu pikiran dan tindakan.
Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Patton (1998) mengemukakan kecerdasam emosi sebagai kemampuan untuk mengetahui emosi secara efektif guna mencapai tujuan, dan membangun hubungan yang produktif dan dapat mencapai keberhasilan.
Inilah kemampuan seseorang untuk mengenali, memahami, mengendalikan, dan menata emosi serta perasaan, baik itu perasaan sendiri maupun orang lain. (Daniel Goleman, 1999)
Sementara itu Bar-On (2000) menyebutkan bahwa kecercasan emosi adalah suatu rangkaian emosi, pengetahuan emosi dan kemampuan-kemampuan yang mempengaruhi kemampuan keseluruhan individu untuk mengatasi masalah lingkungan secara efektif.
Dari beberapa pengertian tersebut ada kecenderungan arti bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengolah emosi dengan baik pada diri sendiri dan pada orang lain.
Dalam hal menata emosi, orang Jawa memang sudah sangat piawai. Ada Quote yang mendarah daging pada orang Jawa narima ing pandum, dan sing sabar jembar wekasane, diringkas menjadi sabar lan narima dan beberapa kalimat bijak lainnya. Menandakan bahwa dalam kesadaran “ke-Jawa-annya” orang Jawa mendapat “injeksi” batiniah sejak lahir.
Garis tegas dadiya priyayi sing utama sejak usia kanak-kanak merupakan doktrin kehidupan yang mengalir dalam darahnya. Kata utama, didalamnya mencakup mencakup banyak hal secara menyeluruh, termasuk pengendalian diri, tata rasa. Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Tidak saja untuk menjadi Tuhan, tetapi juga menuntut untuk manusia, khususnya para leluhur dan orang-orang yang dituakan.
Bukan hanya itu, etika moral masyarakat Jawa juga mengatur pada tindak-tanduk perilaku masyarakatnya dalam merespon keutamaan-keutamaan moral tercermin pada ungkapan sepi ing pamrih, rawe ing gawe. Maksudnya manusia harus bersikap ikhlas, sabar dan mau mendahulukan kepentingan publik da atas kepentingan pribadinya.
Tata hubungan itulah yang oleh leluhur kita juga disebut sebagai ajaran Tri Satya Brata atau Tiga Ikrar Kesetiaan Pengendalian Diri:
- Rahayuning bawana kapurba waskitaning manungsa, yang berarti bahwa kesejahteraan dunia tergantung manusia yang memiliki ketajaman rasa.
- Darmaning manungsa mahanani rahayuning negara, yang berarti bahwa tugas hidup manusia adalah menjaga keselamatan negara.
- Rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsane, yang berarti bahwa keselamatan manusia itu tergantung pada kemanusiaannya sendiri.
Tiga ikrar Kesetiaan Pengendalian Diri yang hendaknya menjadi pedoman hidup bagi kita agar tercipta keselaran dunia dan alam semesta. Dengan pedoman itulah diharapan agar semua penghuni dunia merasa aman, nyaman, damai, tenteram dan bahagia lahir-batin, sekaligus selamat dunia-akhirat.
Ajaran itu hendaknya menjadi rahmat bagi semesta, karena leluhur kira pun sudah meyakini bahwa segenap tubuh kita, baik jasmani maupun rohani, raga dan jiwa saling berhubugan dan berkaiitan secara seimbang dengan energi alam semesta. Membawa energi hawa dan nafsu yang ada di dalam jiwa kita, dan keduanya diyakini tak dapat dipisahkan satu sama lain selama manusia masih hidup di dunia.
Itulah falsafah Jawa yang tak lekang oleh waktu, bisa ditempatkan di segala zaman, dan oleh sebagian orang sebagai pembangunan berkelanjutan, sebagai keselarasan Vertikal dan Horisontal yang tak terputus. (*/bersambung)