Kerajaan Majapahit memang terpusat di pedalaman Jawa, namun kekuasaannya se-Nusantara. Kerajaan Majapahit menguasai pulau-pulau yang terpisahkan oleh laut luas, bahkan wilayahnya hingga ke Asia.
Ada semboyan yang kini digunakan oleh Angkatan Laut Republik Indonesia, yaitu “Jalesveva Jaya Mahe” (Di Laut Kita Menang). Ternyata semboyan ini pernah didengungkan Panglima Armada Angkatan Laut Majapahit, Laksamana Mpu Nala.
Laksamana Mpu Nala memang memiliki strategi kemaritiman yang kuat, hingga akhirnya Majapahit mampu menguasai lautan Nusantara, khususnya di masa Prabu Hayam Wuruk. Kekuatan maritim Majapahit Ini didukung oleh lima gugus armada laut yang berjaga di perairan nusantara.
Keberhasilan Kerajaan Majapahit dalam mengarungi dan merengkuhi Nusantara ini, tidak lepas dari semangat besar yang diwarisi cita-cita Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari. Yaitu, cakrawala mandala atau perluasan wilayah ke seluruh Dwipantara.
Satu dari lima gugus armada Mpu Nala adalah gugus armada yang berjaga di Laut Jawa, hingga ke arah timur di kawasan kepulauan rempah-rempah Maluku.
Gugus armada laut Jawa inilah yang menjadi kekuatan terbesar. Karena bertanggung jawab menjaga pusat Kerajaan Majapahit dan jalur sungai hingga ke laut Jawa yang menghubungkan ke jalur distribusi laut.
Selain rempah-rempah dari pedalaman Jawa, Kerajaan Majapahit juga memaksimalkan hasil alamnya seperti beras dan garam sebagai komoditas dagang yang dibutuhkan dunia. Mereka membuat regulasi perdagangan, perpajakan, dan mengoptimalkan pelabuhan-pelabuhan di dua sungai besar: Sungai Brantas dan Bengawan Ciwilayu (Bengawan Solo). Dua sungai besar ini menjadi penghubung hasil bumi di pedalaman dengan perdagangan maritim di pantai-pantai.
Ferry Charter
Ferry Charter adalah istilah keren untuk pemahaman global. Istilah umumnya, Piagam Penyeberangan. Istilah yang tidak kalah kerennya adalah Prasasti Canggu atau disebut Trowulan I. Prasasti Canggu adalah Piagam Kerajaan yang dikeluarkan oleh Raja Hayam Wuruk pada 1358 M.
Prasasti Canggu berisi tentang peningkatan status desa-desa penyeberangan di seluruh Mandala Jawa dan aturan-aturan yang ditetapkan berkenaan dengan aktivitas penyeberangan yang dilakukan. Desa-desa di tepian sungai yang memberi jasa layanan penambangan atau penyeberangan (ferry) ini disebut Naditira Pradeca.
Menurut HM Yamin dalam buku Tata negara Majapahit Sapta Parwa yang dikutip dari buku Hari Jadi Kota Surabaya 682 Sura ing Baya (1975), diceritakan bahwa Prasasti Canggu menggambarkan Canggu sebagai nama suatu desa penyeberangan, di mana Panji Marggabhaya disebutkan sebagai petugas penyeberangan atau lebih tepat disebut sebagai pengelola Pelabuhan Canggu.
Pesan prasasti ini seperti tertera di dalam kutipan prasasti Canggu sebagai berikut:
“ ….. makādi mahādwija. I pingsornyājñā pāduka çri mahārāja. Kumonakěn ikanang anambangi sayawadwipamandala. Makādi pañji marggabhaya. Makasikasir ajaran rata. Sthatita. Munggwi canggu pagawayakna sang hyang ājñāhaji praçasti. Rājasanagaralañcana. Munggwe salah sikining tāmra. Riptopala. Kapangkwa denikang anāmbingi sayawadwipamandala.. ”
Terjemahan menurut HM Yamin adalah sbb: “Adapun isi pertulisan perintah Raja itu, setelah diturunkan kepada para pegawai rendah, ialah supaya segala orang di segenap mandala Pulau Jawa diseberangkan, terutama sekali Panji Marggabhaya yang bertempat tinggal di Canggu. Semua harus melaksanakan pertulisan perintah Raja (dalam) menjadi piagam perunggu, (yang) bertanda lencana Rajasanegara dan digariskan atas piagam perunggu atau di atas batu. Piagam itu harus dipegang teguh oleh segala orang yang menambang penyeberangan di segenap mandala pulau Jawa”.
Dimanakah letak desa desa yang memberi jasa penambangan atau penyeberangan itu?
Dari pembacaan prasasti yang berupa lempeng tembaga bertuliskan aksara Jawa Kuna tersebut, secara berurutan nama-nama desa di tepian dua sungai besar (Kali Brantas dan Bengawan Solo), dimulai dari Kali Brantas bergerak ke hilir hingga Curabhaya (Surabaya), lalu berpindah dari hilir melalui Ci Wulayu (Bengawan Solo) yang diawali dari Bedanten di Bungah, Gresik (Jatim) bergerak ke hulu menuju Wulayu, Kartasura (Jateng).
Ada pun nama-nama desa yang kemudian disebut Naditira Pradeca di aliran Sungai Brantas (dari hulu ke hilir) adalah Nusa, Temon, Parajengan, Wunglu, Rabutri, Bantu Mredu, Bocor, Tambak, Punut, Mireng, Demak, Kelung, Pegedangan, Mabuwur Godong, Rumasan, Canggu, Randu Gowok, Wahas, Nagara, Sarba, Bringin Tijuh, Lagada, Pamotan, Tulangan, Panumbangan, Jeruk, Kembang Sri, desa di pinggir sungai tempat penyeberangan, yaitu berturut turut: Madan Teda, Gesang, Bukul dan Surabaya.
Kemudian Piagam Naditira Pradeca di aliran Bengawan Solo (dari hilir ke hulu) adalah Bedanten, Wringin Wok, Brajapura, Sambo, Jerebeng, Pabulangan, Balawi, Luwayu, Ketapang, Pagaran, Kamu di, Prijik, Parung, Pasirwuran, Kedalam, Bankkal, Widang, Pekebonan, Lowara, Duri, Rasyi, Rewan, Tegalan, Dalagara, Sumbang, Malo, Ngijo, Kawangan, Sudah, Kikitu, Marebo, Turan, Jipang, Ngawi, Wangkalan, Penuh, Wulung, Barang, Pekatalan, Wareng, Ambon, Kembung dan Wulayu.
Selain sebagai penyeberangan, sebagian Naditira Pradeca ini juga difungsikan sebagai dermaga kecil yang menjadi gerbang pedalaman untuk akses transportasi sungai atas komoditas Majapahit seperti beras dan rempah-rempah.
Ekspedisi Bengawan Solo
Bengawan Solo adalah sebuah etalase peradaban kuno, termasuk peradaban maritim Kerajaan Majapahit. Banyak hal yang bisa diungkap dari etalase peradaban kuno yang membujur dari barat sampai ke timur ini. Sesuai arah aliran sungai, Bengawan ini bermula dari Wonogiri Jawa Tengah kemudian mengalir ke Bungah, Jawa Timur, menempuh jarak sekitar 500 km dan melintasi 12 kabupaten.
Bengawan Solo tidak hanya menjangkau lintas daerah, tetapi juga lintasmasa. Sebagai sungai purba, berbagai peristiwa terjadi dan berlangsung di dalamnya, mulai dari lembah di kawasan pegunungan hingga ke dataran rendah. Bengawan Solo menjadi saksi bisu peristiwa dari zaman prasejarah, zaman kerajaan Hindu dan Buddha, kerajaan Islam, Perang Diponegoro, zaman revolusi sampai pendaratan darurat pesawat Garuda.
Bengawan Solo yang menjangkau lintas masa ini, secara gradual juga mengalami perubahan perubahan baik secara alami juga karena perilaku manusia. Yang memprihatinkan adalah jika perubahan itu membawa dampak buruk terhadap alam maupun manusia.
Sebuah ekspedisi “Ekspedisi Bengawan Solo 2022” akan menjelajah Bengawan Solo untuk memetakan potensi, tantangan dan harapan. Menurut ketua Tim Ekspedisi, Ermiko Efendi, ada tiga sasaran besar dari kegiatan ini, yaitu lingkungan, sosial dan ekonomi.
Semua sasaran ini dapat tercapai, jika muncul kesadaran bersama oleh stakeholder terkait mulai dari daerah hulu hingga hilir.
“Ekspedisi ini akan dimulai dari bulan Juli dan berakhir pada peringatan Hari Proklamasi pada bulan Agustus 2022”, jelas Ermiko.
Output-nya adalah rekomendasi yang berisi temuan-temuan lapangan yang bisa dijadikan pijakan pembangunan daerah dalam rangka pelestarian, perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan nilai-nilai dan potensi Bengawan Solo.
Bengawan Solo yang mengaliri dan menjadi sumber kehidupan 12 kabupaten di dua provinsi ini, diharapkan menjadi sabuk pengikat antar daerah dalam wujud kerja sama yang bertumpu pada peradaban Bengawan Solo. (*)