Bung Karno, Cinta Pertama, dan Rumah di Gang Peneleh

Saya ingin berbagi cerita kepada Anda dari sebuah rumah sederhana. Tepatnya di dalam lorong Peneleh Gang VII, Surabaya. Bangunan ini sebenarnya jamak diceritakan, tentang sang pemiliknya, Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.

Tentang gerakan politiknya zaman kolonial yang ngidap-idapi. Tentang murid-murid politiknya yang kelak saling bersimpangan jalan. Namun ada cerita yang sering luput. Yaitu tentang romansa cinta pertama Bung Karno.

Adalah Siti Oetari Tjokroaminoto, gadis pertama yang memikat hati proklamator ini dan berlanjut ke pelaminan.  Dia anak mbarep (sulung) Pahlawan Nasional, HOS Tjokroaminoto. Usianya terpaut lebih muda enam tahun dari Bung Karno.

Saat petama kali Bung Karno ngenger (indekos) di rumah ini, usia Bung Karno 16 tahun dan Oetari masih 10 tahun. Semula memang tidak ada perasaan apa pun. Karena Bung Karno muda memang hanya seorang anak kos seperti anak-anak lainnya yang kos di rumah ini.

Selain sekolah di HBS  (Hoogere Burger School) setingkat SMA, hari-hari Bung Karno disibukkan dengan nyatrik mengikuti aktivitas politik Pak Tjokro.

Rumah ini sebenarnya tidak terlalu besar. Ukurannya 6 x 10 meter. Dulu, ketika kisah ini terjadi, rumah ini memiliki halaman di belakang. Selain untuk kebun, ada dapur, kamar mandi, gudang. Termasuk di beberapa literatur menggambarkan bagian belakang rumah induk ini ada beberapa kamar kos. Sayang, halaman belakang itu sekarang sudah tidak ada karena berdiri sebuah sekolah.

Masuklah di pintu utama. Kalian akan disambut ruang tamu yang tidak begitu luas. Kira- kira ukurannya 6×3 meter. Dari ruang tamu ini terlihat lorong ke belakang, lorong yang memisahkan dua kamar, kamar Pak Tjokro dan kamar anak-anak Pak Tjokro.

Lorong ini menuju halaman belakang. Ini termasuk satu-satuya akses ke tangga menuju ‘kamar’ besar di lantai dua yang ditinggali Bung Karno serta beberapa pemuda lain.

Itulah mengapa, cinta itu lama-lama muncul dari seorang remaja kepada bocah perempuan anak induk semangnya sekaligus guru politiknya.

Setiap saat Bung Karno lewat depan kamar Oetari dan adik-adiknya. Bahkan lama-lama Bung Karno juga memiliki panggilan ‘sayang’ ke Oetari, yaitu Lak.

Ada yang yakin ini hanya sayang kakak kepada adiknya, Namun jika membaca buku Istri-istri Soekarno’ (Reni Nuryanti dkk/2007), Bung Karno sempat menyatakan cinta. Ketika si Bung berusia 18 tahun, dan Oetari 12 tahun.

Suatu sore Lak sempat ‘diculik’ dan diajak jalan ke luar rumah oleh si bung. Sesuatu yang tidak lazim saat itu.  Jalan ke mana? tidak jauh sebenarnya, hanya di atas Jembatan Peneleh.

Ya, lokasinya hanya 100 meter di ujung gang rumah Pak Tjokro. Senja itu suasananya tentu romantis. Persis di atas jembatan, langkah keduanya terhenti, keduanya mepet pagar jembatan. Bung Karno pun mulai mengeluarkan jurus rayuannya.

Baca Juga  Surabaya 1945 Dalam Lensa Sineas Belanda
Kamar kos yang ditempati Bung Karno. foto: rachmad

“Lak, tahukah engkau bakal istriku kelak?”

Oetari, tertunduk. Dia terdiam dan hanya menggeleng kepala menanggapi pertanyaan itu.

“Kau ingin tahu?” dedas si Bung.

Penasaran, Oetari pun bertanya, “Di mana?” matanya tidak mau menatap Bung Karno. Namun dia mencoba melirik sekitarnya.

“Kau ingin tahu? Boleh… Orangnya dekat sini.  Kau tak usah beranjak karena orangnya ada di sebelahku…” gombal Bung Karno

Oetari lama tertegun, menelan ludah, menoleh sejenak, dan tertunduk lagi. Hingga sebuah kalimat lirih terucap, “Aku juga mencintaimu.”

Jembatan Peneleh 1924. Tampak Peneleh gang 7 tepat di ujung jembatan (KITLV Leiden)

***

Di catatan sebelumnya, Bung Karno nembak Oetari di Jembatan, dan Oetari menjawab. lantas setelah itu?  Ya, itu saja. Tidak ada kelanjutannya. Keduanya kembali lagi ke rumah, dan suasana seperti tidak terjadi apa-apa.

Perasaan keduannya ini disimpan rapat di depan Pak Tjokro. Mereka seolah berhubungan backstreet.

Dalam catatan Bung Karno dalam Buku Penjambung Lidah Rakjat tulisan Cindy Adams (1964) menyebutkan, alasan segan kepada Pak Tjokro lah yang membuat hubungan ini disimpan.

Bung Karno muda dan Oetari sama-sama takut Pak Tjokro murka. Tidak hanya memarahi anaknya yang masih bocah, Bung Karno juga takut kalau-kalau Pak Tjokro melaporkan ke R Soekemi, bapak Bung Karno yang juga sahabat Pak Tjokro itu.

Hari-hari berlangsung seperti biasa. Setiap pagi, Bung Karno berangkat sekolah ke daerah Kebonrojo (sekarang Kantor Pos Besar). Jaraknya kira- kira satu kilometer.

Sepulang sekolah, Bung Karno membaca buku-buku, menulis di surat kabar yang dikelola Sjarekat Islam, organisasi pimpinan Pak Tjokro.

Kadang ikut nimbrung bersila di lantai menemani Pak Tjokro menemui tamunya. Bung Karno semakin larut dengan kesibukan Pak Tjokro yang bersafari politik ke luar kota. Jika hari libur, Bung Karno pasti diajak.

Nyaris tidak ada catatan lagi tentang romansa cinta Bung Karno-Oetari. Misalnya, ngedate lanjutan pascapernyataan cinta itu. Atau diam-diam sering mojok. Bahkan jalan-jalan malam minggu.

Bung Karno begitu segan dengan sang guru. Hingga sebuah peristiwa menyedihkan terjadi, setahun kemudian. Pada 1919, Soeharsikin, istri Tjokro sekaligus ibu Oetari meninggal dunia karena sakit.

Tjokro sangat terpukul. Dia mengalami kedukaan yang sangat lama. Seperti kehilangan semangat berlarut-larut. Singa podium yang suaranya lantang setiap pidato itu kini menjelma seperti bebek lumpuh.

oto semasa muda Bung Karno dan Oetari. foto: rachmad juliantono

Akibat ini, suatu hari, paman Oetari, bertanya kepada Bung Karno, “Apa kamu punya perhatian ke Oetari”.

Tentu Bung Karno kaget, sedang hubungan itu tidak pernah diungkapkan ke siapa pun.

Spontan Bung Karno menjawab jujur, “Iya”.

Kata sang Paman, jika Oetari dinikahi Bung Karno, menjadi obat Pak Tjokro melupakan kesedihannya. Bung Karno menyanggupi. Karena dia begitu sayang dengan Pak Tjokro yang belakangan tidak bergairah.

Singkat kata, pernikahan itu benar-benar terjadi ketika si Bung berusia 20 tahun dan Oetari 14 tahun.  Dalam kultur Jawa, jika orang tua meninggal dunia, pernikahan boleh dilakukan setelah berganti tahun.

Baca Juga  Kolaborasi Merawat Sejarah Lamongan

Ruang tamu rumah ini menjadi saksi sejarah. Acara sakral itu sempat terancam batal karena masalah sepele.

Pernikahan itu akhirnya terjadi. Namun Bung Karno sudah tidak tinggal di rumah Pak Tjokro lagi ketika pernikahan itu. Si bung muda sudah lulus HBS di Surabaya dan sudah diterima di Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB Bandung).

Dia harus kembali sejenak ke Surabaya menunaikan janjinya pada paman Siti Oetari tahun lalu untuk menikahi anak mbarep Pak Tjokro.

Dalam beberapa catatan, Oetari tidak pernah ‘disentuh’ Bung Karno. Dia suci hingga perceraian terjadi dua tahun kemudian. Lho kok?

Setidaknya itu pengakuan dari mulut Bung Karno sendiri yang ditulis Cindy Adams, dalam buku otobiografi Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat.

Keduanya seolah ‘kawin gantung’. Sebuah tradisi lama di Jawa tentang perkawinan pada anak perempuan yang tidak boleh ‘disentuh’ sampai yang perempuan akil baligh (dewasa).

Bung Karno tampak belum siap menikah muda. Dia belum berniat hidup seperti lazimnya suami-istri. Keduanya pun secara usia sejatinya belum matang.

Dia terlanjur menyayangi keluarga besar Pak Tjokro. Tidak tega melihat si bapak larut dalam kesedihan sepeninggal istrinya. Dan anaknya tidak ada yang mengurus.

foto: rachmad juliantono

“Bila aku perlu menikahi Oetari guna meringankan beban orang yang kupuja itu (Tjokroaminoto), itu akan kulakukan,” cetus Sukarno.

Tetapi kenyataanya, apakah Bung Karno tidak sayang? Dia tegas menjawab dalam catatan Adams itu, “Tidak, aku sayang, tetapi seperti perasaan kakak ke adik, bukan berahi.”

Dia meyakinkan betapa wujud sayangnya itu digambarkan ketika Oetari suatu hari sakit. “Berkali-kali aku mengelap tubuhnya yang panas dengan alkohol dari ujung kepala sampai ke ujung jari kakinya. Namun, tidak sekali pun aku menjamahnya,” tuturnya.

“Kami tidur berdampingan di satu tempat tidur. Tetapi secara jasmaniah kami sebagai kakak beradik,” tukasnya.

Namun, pengakuan itu diragukan penulis buku biografi Bung Karno lainnya, Lambert Giebels. Menurutnya, Oetari  secara fisik memiliki daya tarik, karena sedang tumbuh menjadi remaja. Sedangkan Bung Karno memiliki selera tinggi atas kecantikan dan keindahan. Sehingga mustahil, seorang pemuda tidak tertarik, setidaknya secara fisik, terhadap seorang gadis yang juga tumbuh dewasa, dan secara personal kenal baik.

“Bahwa apa yang dikatakan (Bung Karno) pada otobiografi itu adalah penghinaan bagi Oetari yang manis dan menarik itu,” ucap Giebels, dikutip dari buku Istri-istri Soekarno.

Tempat tidur di rumah Pak Tjokro. foto: rachmad juliantono

***

Kita kembali ke ruang tamu rumah bersejarah ini. Saksi bisu pernikahan pertama Bung Karno. Tidak ada terop, tidak ada pelaminan. Hanya tikar menghampar ruang tamu. Semuanya yang duduk di sini laki-laki. Tamu perempuan di dapur, namun ada juga yang menemani Oetari di dalam kamar.

Baca Juga  Ekspedisi Bengawan Solo Punya Peran Strategis, Seperti Apa?

Namun suasana suka cita ini mendadak berubah perselisihan. Gara-gara Bung Karno berniat membatalkan akad nikah. Ceritanya, pagi itu, rombongan keluarga Bung Karno tiba. Saat melihat penampilan Bung Karno dalam iring-iringan masuk ke rumah, senyum para undangan berubah kecut.

Si Bung datang mengenakan jas dan dasi. Sebuah pakaian yang tidak lazim dikenakan pribumi saat itu. Sampai ketika Bung Karno duduk bersila di depan penghulu, sang penghulu menyatakan sikapnya tidak berkenan.

Kardi, sang penghulu, meminta jas dan dasi itu ditanggalkan sebelum akad nilah dimulai. Alasannya, gaya pakaian ini dianggap meniru penampilan Belanda. Tidak sesuai adat Islam atau Jawa pada masa itu.

Karuan saja Bung Karno menolak. Senyum bahagia berubah menjadi perdebatan.

“Tuan Kardi, saya menyadari bahwa dulunya mempelai hanya memakai pakaian Bumiputra, yaitu sarung. Tetapi, ini adalah cara lama, aturannya sekarang sudah diperbarui,” ucap Bung Karno dalam buku karya Adams.

Sang penghulu dibela seorang imam masjid yang juga menolak cara berpakai si Bung. Suasana panas karena si Bung lama-lama meninggikan volume suaranya. Rumah ini pun heboh.

Semua undangan panik. Keluarga Bung Karno yang sebagian besar berdiri di depan rumah malah mendekat. Oetari yang ada di dalam kamar menggigil ketakutan mendengar teriakan pemuda ini.

Bung Karno bukannya menurut, tetapi malah mengancam membatalkan akad nikah, jika harus menanggalkan jas dan dasinya.

“Persetan tuan-tuan semua. Saya pemberontak dan akan selalu memberontak. Saya tidak mau didikte di hari pernikahan saya,” teriaknya.

Semua orang kemudian melerai. Keluarganya merangkul Bung Karno dan menariknya keluar ruang tamu menuju depan rumah. Niatnya agar emosinya tenang.

Di luar rumah, satu dari banyak orang yang melerainya, kemudian memberi segelas air. Kemudian menyodorkan rokok. Bung Karno mengambil satu batang, memasukkan ke mulutnya, dan menyalakan korek api. Namun, entah apa penyebabnya, api di tangan itu tiba-tiba besar dan menyambar hingga jari tangannya melepuh terbakar.

Pernikahan itu akhirnya tetap dilanjutan dengan penampilan Bung Karno ala barat ini. Soal melepuhnya tangannya, belakangan Bung Karno memaknai sebagai firasat buruk dalam rumah tangganya kelak.  Dia yakin pernikahannya tidak langgeng.

Inilah kesimpulan beberapa peneliti jika Bung Karno akhirnya memilih tetap menjaga ‘kesucian’ Oetari sampai keduanya cerai 1923.

Karena keyakinan itu jugalah yang menjadikan hubungannya dengan Oetari tidak bertambah mesra. Setelah pernikahan itu, Bung Karno justru makin sibuk berpolitik.

Di tahun yang sama si Bung diterima kuliah di Bandung. Jadilah pernikahan LDR. Apalagi di Bandung, Bung Karno kesengsem ibu kosnya, Inggit Ganarsih. Wanita ini diakui cinta sejatinya meski pun bukan cinta pertama. Klop.

Dua tahun kemudian Oetari ‘dikembalikan’ baik-baik ke Pak Tjokro, dalam keadaan tetap suci. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *