DARI RADIO PEMBERONTAKAN KE RADIO GERILYA MOBBRIG BESAR JAWA TIMUR

Dengan persetujuan Residen Sudirman dan Cak Doel Arnowo, RRI Surabaya memberikan bantuan kepada perintisan Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia. Bung Tomo berpidato di Studio Simpang RRI Surabaya pada tanggal 17 sd 19 Oktober 1945 yang dibuat seolah-olah RRI merelay suara Bung Tomo dari Radio Pemberontakan, “Di Sini Radio Pemberontakan” suara Sumiati telefonis RRI yang juga adik kandung Bung Tomo mengudara. Namun sebelum Bung Tomo berpidato, RRI diminta untuk memberikan intro musik mars sebelum mulai, namun musik yang dimaksud tidak ada, kemudian ditawarkan musik instrumental Hawaiian “Tiger Shark” gubahan Felix Mendelssohn and his hawaiian serenaders 1911.

Bung Tomo

Nada ritmis instrumental dari lagu Tiger Shark diputar sebagai penanda akan dibukanya siaran Radio Pemberontakan yang kemudian dipancarkan dari jalan Mawar no 10 Surabaya mengudara di seluruh Indonesia bahkan dapat ditangkap di San Fransisco dan Melbourne yang direlai oleh Radio Surabaya di jalan Pemuda mulai Oktober 1945, melalui radio bekupon dan corong corong pengeras suara yang ada dikampung kampung arek-arek Suroboyo langsung mendengarkan pidato pidato Bung Tomo. Kehadiran Ketut Tantri yang kemudian dikenal dengan sebutan Soerabaia Sue semakin menambah kekuatan perjuangan Radio Pemberontakan, perhatiannya kepada Radio Pemberontakan sangat besar sekali.

Hasan Basri dirangkul Bung Tomo

Para Angkasawan Radio Pemberotakan terdiri dari Hasan Basri, Ali Urip dan Sumadi, meraka menggunakan pemancar bekas Kaigun dengan kekuatan 250 watt. Ketika pertahanan Surabaya tidak dapat ditegakan lagi, maka pemancar diungsikan ke beberapa tempat, yaitu ke Wonocolo, Bangil, Pacet dan Malang. Saat Agresi Militer Belanda 1 pada 21 Juli 1947, Radio Pemberontakan digunakan untuk menjalin komunikasi dengan Sumatera, namun kemudian Menteri Setiadjit dengan alasan hendak “melayani” Belanda agar situasi lebih kondusif dikarenakan telah ada perjanjian dan persetujuan yang telah tercapai, maka pemerintah melarang Radio Pemberontakan mengudara lagi.

Baca Juga  Gedung Pengadilan Tinggi
Radio Pemancar milik Kaigun 250 Watt.

Sebuah berita kawat diterima Bung Tomo dari Presiden Soekarno yang isinya agar beliau tidak berpidato lagi, saat itu beliau berada di Tawangmangu sedang mempersiapkan pertahanan Lawu Complex, sebagai seorang Mayor Jenderal yang terikat disiplin maka Bung Tomo tunduk kepada perintah itu, maka sejak pertengahan Desember 1947 Radio Pemberontakan sudah tidak mengudara lagi.

Saat terjadi peristiwa Madiun 1948, bekas pemancar Radio Pemberontakan yang saat itu berada Sarangan Magetan dapat diselamatkan. Selanjutnya selama Agresi Militer Belanda 2 yang dimulai 19 Desember 1948 pemancar tersebut digunakan untuk “Radio Gerilya” oleh Mobiele Brigade Besar Polisi Jawa Timur yang dipimpin oleh Moehamamad Jasin di Gunung Wilis yang dioperatori oleh Hasan Basri.

Moh Jasin Komandan Mobbrig Besar Jawa Timur

Radio Gerilya Mobbrig Besar Jawa Timur berada di Desa Seran pada ketinggian 1.200 Mdpl kurang lebih 2,8 km dari Markas Gerilya Mobbrig Besar Jawa Timur di Afdeling Jeladri. Pada bulan April 1949 Operator Hasan Basri sudah berhasil menghidupkan pemancarnya kembali, yang menarik pemancar ini ditempatkan oleh beliau di ruangan bawah tanah seluas 2,5 X 2 M persegi dengan kedalaman 2 meter dengan atap dari pelepah daun kelapa, antena disamarkan diantara pepohonan. Untuk mengusir hawa dingin di “studio” bawah tanah ini dipasang alat “bediang” berupa tong dan didalam tong itu kayu dibakar sehingga panasnya memancar ke seluruh ruangan, aliran listrik diperoleh dari diesel milik pabrik kopi Kempo yang masih berfungsi.

Kedudukan Pemancar Radio dan Markas Mobbrig Besar Jawa Timur

Pemancar gerilya milik Mobbrig Besar Polisi Jawa Timur berfungsi dengan baik dan mampu berkomunikasi dengan pemancar gerilya lain, pemancar ini selain bisa digunakan untuk siaran juga bisa menggunakan kode morse, zender berkekuatan 250 watt dengan pengiriman kode morse mampu diterima hingga jarak 130 km diwilayah Semeru Selatan, namun siaran dengan menggunakan suara hanya mampu diterima hingga radius 30 km. Setiap dua hari sekali dilakukan siaran, saat Gubernur Samadikoen berada di Seran beliau sering sekali mengisi siaran disana, beliau berpidato yang isinya memberikan motivasi untuk tetap berjuang sampai berhasil mengusir Belanda dari seluruh wilayah Republik Indonesia.

Baca Juga  Ada Apa Dengan Watoe Toelis ???

Hasan Basri selaku operator dan teknisi pernah berhasil menghidupkan sebuah radio penerima dari pretelan suku cadang yang untuk orang awam merupakan kumpulan barang rosokan. Selain menggunakan Diesel, beliau juga memodifikasi dinamo mobil milik pak Jasin yang tidak terpakai, kemudian mengambil dua buah roda dari pabrik, masing-masing diamter 2 dan 1 meter. Roda pertama dibuat semacam kincir air yang berputar karena air terjun buatan, roda pertama dihubungan dengan roda kedua dengan ban berjalan, dan roda kedua yang berputar lebih cepat dihubungkan ke dinamo dengan menggunakan ban berjalan juga. Melalui tiga tahap pemutaran tersebut dinamo berputar cepat sekali sehingga mengeluarkan suara ngiiiiiiiiing dan keluarlah arus listrik yang menghidupkan radio penerima yang dibangun oleh Hasan Basri tadi, selain itu pembangkit listrik tenaga air itu juga mampu menghidupakan lampu yang juga diambil dari mobil pak Jasin tadi.

Dinamo yang saat ini masih ada di Desa Seran, sumber Google Map Yunos Arosyid
Kincir air pemutar dinamo yang saat ini masih ada di Desa Seran, sumber Google Map Yunos Arosyid
Lampu dari mobil pak Jasin, dekat dinamo dan kincir air

Saat radio penerima tersebut hidup, tepat 10 menit terdengar siaran langsung dari RRI Yogyakarta yang memberitakan laporan pandangan mata tentang kembalinya Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 6 Agustus 1949, siaran itu melaporkan proses kembalinya Ibu Kota Republik Indonesia mulai dengan penjemputan Presiden Soekarno dan rombongan dari Lapangan Terbang Maguwo oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX sampai tiba di Gedung Agung saat Presiden Soekarno bertemu dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Ibu Fatmawati.

Rumah dinamo dan kincir air di desa seran, sumber Google Map Yunos Arosyid

Suasana pertemuan itu digambarkan oleh sang penyiar begitu mengharukan, adegan Presiden Soekarno memeluk Panglima Besar Jenderal Soerdirman adalah pengambaran paling mengharukan, semua yang mendengar menangis, dari ketinggian 1.200 mdpl diatas Gunung Wilis peristiwa itu tergambarkan dengan jelas, seolah ada didepan mata mereka, semua terharu dan bangga, keyakinan kita bahwa perjuangan pasti menang telah terwujud.

Baca Juga  AKSARA JAWA PADA PLAKAT ANIEM
Posisi Radio Gerilya Mobbrig Besar Jawa Timur

Pada tanggal 17 Agustus 1949, dinaikan sang Merah-Putih tepat diatas bukit dekat Radio Gerilya Mobbrig Besar Polisi Jawa Timur, sebuah “Bendera” Merah-Putih yang terbuat dari anyaman bambu yang dicat warna merah dan putih dipasang diujung batang bambu yang panjangnya 7 meter, “eblek” Merah-Putih itu melambangkan Republik Indonesia telah kembali.

Pak Hasan Basri Operator dan Teknisi Radio Gerilya Mobbrig Besar Jawa Timur

Pak Hasan Basri kemudian tergabung dalam Dinas Perhubungan Radio Kepolisian Jawa Timur setelah pengakuan kedaulatan, namun beliau meninggal dunia pada bulan Mei 1950. Pemancar Radio Gerilya Mobbrig Besar Polisi Jawa Timur kemudian digunakan sebagai bagian dari Dinas Perhubungan Jawatan Kepolisian Negara Pusat.

Oleh : Achmad Zaki Yamani.

Musholla Tribrata Desa Seran, sumber Google Map Pratama 2024.

Sumber :

Perkembangan Kepolisian di Indonesia oleh M. Oudang, Mahabarata, Jakarta, 1952.

Pertempuran 10 November 1945 Citra Kepahlawanan Bangsa Indonesia di Surabaya oleh Blego Sumarto Dkk, Panitia Pelestarian Nilai-Nilai kepahlawanan 10 November 1945, Surabaya, 1986.

Sejarah Pemerintahan Militer dan Peran Pamong Praja di Jawa Timur Selama Perjuangan Fisik 1945-1950, Sudarno dkk, Balai Pustaka, Jakarta, 1993.

Dokumen Ripress Dalam Perang Rakyat Semesta 1948 – 1949 oleh Yayasan 19 Desember 1948, Balai Pustaka, Jakarta, 1994.

Perjuangan RRI Surabaya Dalam Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 oleh RRI Surabaya, RRI Regional I Surabaya, Surabaya, 1999.

Pertempuran 10 November 1945:Kesaksian & Pengalaman Seorang Aktor Sejarah, Sutomo, Jakarta Visi Media, 2008.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *