DPRD Kota Surabaya sedang menggodok Raperda Pengelolaan Cagar Budaya yang diajukan Pemerintah Kota Surabaya. Raperda ini sangat strategis karena menyangkut peleatarian bangunan bersejarah di Kota Pahlawan.
Kamis (24/3/2022), Pansus Raperda Pengelolaan Cagar Budaya mengundang para pegiat sejarah dari Perkumpulan Begandring Soerabaia dan Roode Brug Soerabaia. Mereka diwakili Nanang Purwono, Kuncarsono Prasetyo, Ady Setyawan, dan Achmad Zaki Yamani.
Para pegiat sejarah tersebut dikenal konsisten dan getol menyuarakan isu pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya melalui aktivitas edukatif.
Rapat pansus yang dipimpin Siti Mariyam ini, meminta pegiat sejarah mencermati dan memberi masukan atas Raperda Pengelolaan Cagar Budaya yang telah dibuat Pemkot Surabaya.
Nanang Purwono, Ketua Begandring Soerabaia, menyanyangkan tidak adanya pasal yang mewadahi Badan Pengelola Cagar Budaya di Raperda Pengelolaan Cagar Budaya.
“Sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya yang mengatur Pengelolaan Cagar Budaya, mestinya Raperda ini memasukkan pasal tentang pembentukan Badan Pengelola Cagar Budaya,” katanya.
Nanang lalu menyebut pada pasal 97 (3), yang mengamanatkan bahwa Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat hukum adat.
Selanjutnya pada ayat (4), disebutkan bahwa Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat terdiri atas unsur Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat.
“Anehnya, mengapa Pemerintah Kota Surabaya dalam hal pengelolaan cagar budaya justru membentuk Tim Ahli Cagar Budaya, bukannya Badan Pengelolaan Cagar Budaya sebagaimana diamanahkan Undang Undang?” ucap Nanang.
Sesuai Undang-Undang 11/2010, Tim Ahli Cagar Budaya dan Badan Pengelolaan Cagar Budaya memiliki tugas dan kewenangan yang berbeda. Hal ini ditegaskan Ketua Pansus Chusnul Khotimah, bahwa TACB lebih bertugas ke upaya pelestarian dan perlindungan cagar budaya. Sementara Badan Pengelola bertugas ke upaya pemanfaatannya.
Apalagi pada pasal 1 butir (13) sudah jelas dikatakan bahwa Tim Ahli Cagar Budaya adalah kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat kompetensi untuk memberikan Rekomendasi Penetapan, Pemeringkatan, dan Penghapusan Cagar Budaya.
“TACB bertanggung jawab memberikan rekomendasi kepada wali kota atas pengajuan warga terhadap rencana perbaikan asetnya yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Jadi, sifatnya memberikan rekomendasi,” tambah Chusnul.
Namun dalam Raperda Kota Surabaya tentang Pengelolaan Cagar Budaya, pasal 45 (1), yang berbunyi: Dalam pengelolaan cagar budaya, pemerintah daerah membentuk Tim Ahli Cagar Budaya, ini jelas tidak singkron dengan undang undang.
Hal itulah yang dikritisi Nanang Purwono. Karenanya, dia meminta kepada pansus agar instrumen Badan Pengelola Cagar Budaya dimasukkan dalam Raperda Pengelolaan Cagar Budaya.
Kuncarsono Prasetyo, pegiat sejarah Begandring Soerabaia, memberikan komparasi pengelolaan cagar budaya di Semarang dan Jakarta. Kota-kota ini dalam mengelola cagar budayanya memiliki badan pengelola.
“Di Jakarta dan Semarang, selain memiliki TACB, mereka juga memiliki Badan Pengelola Cagar Budaya. Di Jakarta, Badan Pengelolanya malah berbentuk PT,” tegas dia.
Menurut Kuncar, hal itu bisa saja dilakukan karena menurut Undang-Undanng 11/2010 Pasal 142 (3) bahwa Badan pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat terdiri atas unsur Pemerintah Pusat Dan/atau Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat.
Kuncar juga memaparkan bentuk-bentuk badan pengelola yang ada di Singapura. Ada lima model badan, salah satunya sesuai dengan yang ada di Indonesia, yaitu adanya pelibatan pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
Siti Mariyam menyampaikan, karena partisipasi masyarakat juga dilindungi Undang Undang, maka Badan Pengelola Cagar Budaya ini pas menjadi wadah di mana masyarakat. Seperti pegiat dan pemerhati sejarah dan cagar budaya juga dapat berpartisipasi.
Ady Setyawan dari Roode Brug Soerabaia, juga mempertanyakan kembalinya formasi Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Surabaya lama untuk periode baru (2022-2027) yang proses fit and proper test- nya berlangsung pada Maret ini.
Menurut Ady, ada anggota TACB lama yang patut diganti karena track recordnya yang tidak layak. “Mereka itu berlatar belakang akademisi tetapi cara kerjanya tidak mencerminkan itu. Sehingga beberapa BCB hilang dan dibongkar yang alasannya kecolongan,” tegas Ady.
Achmad Zaki Yamani dari Begandring Soerabaia, menilai banyak benda dan bangunan cagar budaya di Surabaya yang perlu diteliti oleh TACB. Misalnya, benda yang berupa emblem Kota Surabaya dan gilingan batu untuk memeras tebu di SMA Trimurti, serta bangunan-bangunan di Kebun Binatang Surabaya (KBS).
Pimpinan rapat menginvetarisasi masukan dan susulan para pegiatan sejarah terbut. Yan krsial terkait dimasukkannnya pasal yang mengatur tentang Badan Pengelolaan Cagar Budaya sebagai implementasi Raperda Pengelolaan Cagar Budaya serta turunan dari Undang Undang 11/10 dan Perpres 1/2022. (*)