Djawa Dipa: Pemberontakan Melalui Bahasa

Begandring.com-Sebuah gerakan yang memperjuangkan kesetaraan bagi masyarakat Bumiputera bernama Djawa Dipa pernah eksis selama kurun 5 tahun dari 1917 hingga 1922. Dalam tulisan-tulisan kontemporer tentang sejarah pergerakan menuju kemerdekaan, nama Djawa Dipa lamat-lamat terdengar, meski tak terlalu banyak.

Dalam rangkaian menyambut Hari Pahlawan 2024, Begandring Soerabaia pada 25 Oktober 2024 menggelar diskusi “Djawa Dipa: Kesetaraan Dalam Pergerakan”. Diskusi ini akan menelusuri gerakan Djawa Dipa yang banyak tak diketahui orang.

Poster diskusi Djawa Dipa. Foto: Begandring.com

Pembicara pada malam itu adalah Yayan Indrayana, penggiat sejarah dari Begandring Soerabaia dan Dr. Samidi, S.S, M.Hum, peneliti juga dosen dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga. Kuncarsono Prasetyo dari Begandring Soerabaia akan menjadi moderator diskusi.

Djawa Dipa dikenalkan sebagai salah satu organisasi pergerakan seperti Sarekat Islam dan Indische Partij. Seorang priyayi lulusan OSVIA bernama Tjokrosoedarmo mendirikan gerakan Djawa Dipa pada 11 Maret 1917, di gedung bioskop Oost Java Bioscoop, Surabaya. “Djawa Dipa ini adalah gerakan politik kebudayaan,” papar Yayan. “Djawa Dipa menggunakan bahasa Jawa Ngoko sebagai gerakan kebudayaan, agar ada kesetaraan antara kaum priyayi dan non-priyayi,” tambahnya.

Nama “Djawa Dipa” terinspirasi dari kisah pewayangan, di mana salah satu tokoh wayang Gunawan Wibisana memiliki ajian bernama “Dipa”, yang berarti “menerangi”, sehingga “Djawa Dipa” bermakna ”menerangi Djawa”

Tjokrosoedarmo mengkehendaki adanya kesetaraan antara kaum Boemiputera – dalam hal ini untuk kalangan suku Jawa – dengan penggunaan Bahasa Jawa Ngoko kepada semua kalangan, baik priyayi maupun kalangan bawah. “Sebelum mendeklarasikan Djawa Dipa, Tjokrosoedarmo sudah aktif di Sarekat Islam, bahkan di 1913 jadi pimpinan perwakilan SI di Surabaya,” terang Yayan.

Baca Juga  Kolaborasi Lintas Stakeholders untuk Revitalisasi Makam Peneleh

Beberapa bulan setelah Djawa Dipa dideklarasikan, Tjokrosoedarmo terlibat dalam sebuah insiden di gedung pengadilan. Kala itu, orang Jawa non-priyayi harus menggunakan bahasa Krama dan jalan jongkok saat masuk ruang sidang.

Saat memasuki ruang sidang, Tjokrosoedarmo tetap berjalan, tidak jongkok dan berbicara dengan bahasa Jawa Ngoko.

“Tjokrosoedarmo menegaskan di ruang sidang bahwa ia hanya berbicara bahasa Jawa Krama hanya pada orang Jawa, bukan dengan orang Belanda,” kata Yayan.

Dukungan terhadap Djawa Dipa datang dari banyak pihak. Tokoh-tokoh pergerakan seperti Tjokroaminoto, Tjipto Mangoenkusumo dan Tirtodanoedjo datang menghadiri deklarasi Djawa Dipa. Tak hanya dukungan, penolakan juga dialami Djawa Dipa.

Yayan memaparkan kajiannya. Foto: Begandring.com

Kalangan priyayi menganggap penggunaan bahasa Jawa Ngoko merusak kesusastraan Jawa dan menghilangkan budaya adi luhung. “Tjipto Mangoenkusumo, meski mendukung gagasan Djawa Dipa, mengkritik gerakan ini karena terlalu menyerang kaum priyayi dan bahasa Jawa tidak relevan untuk persatuan Ke-Nusantaraan,” terang Yayan.

Dosen sekaligus peneliti dari FIB Unair, Samidi, melihat gebrakan Djawa Dipa dalam memasyarakatkan bahasa Jawa Ngoko memberi dampak besar hingga saat ini.

“Sebelum Abad-20, penggunan Ngoko – Krama berdasarkan status sosial dan relasi seseorang tak ada masalah, Tiba-tiba Djawa Dipa menjadikan polemik,” kata Samidi.

Tjokrosoedarmo dan koleganya melihat penggunaan bahsa Jawa Krama untuk pembedaan status dan relasi, membuat masyarakat Jawa tersekat-sekat dan berjarak antar sesama.

Paham kesetaraan yang diangkat Djawa Dipa sejatinya mirip dengan Gerakan Samin pimpinan Samin Soerosentiko pada tahun 1890 di Blora, Jawa Tengah. Gerakan Samin juga memperjuangkan kesetaraan dengan menggunakan bahasa Jawa Ngoko dan melawan sistem feodal.

“Meski memiliki tujuan pergerakan yang mirip, kedua gerakan ini tidak memiliki relasi organisatoris-ideologis,” jelas Samidi, “Djawa Dipa lebih progresif dan terorganisir, mereka bahkan memiliki buku panduan organisasi bernama Soesoeloeh Djawa Dipa.”

Baca Juga  Duh, Sumur Jobong Terancam Rusak!

Djawa Dipa juga memiliki media cetak untuk menyebarkan perjuangan-perjuangan mereka bernama Hindia Dipa. “Dukungan Sarekat Islam terlihat jelas dalam publikasi koran Hindia Dipa,” terang Yayan Indrayana.

“Hindia Dipa satu kantor dengan Oetoesan Hindia di Peneleh, bahkan perusahaan percetakan pun sama.” imbuhnya.

Djawa Dipa juga menciptakan kesetaraan melalui sapaan bagi anggotanya.

“Wiro untuk sapaan laki-laki, Woro untuk sapaan perempuan dan Roro atau Loro untuk sapaan perempuan yang belum menikah. Ini berlaku untuk semua strata sosial,” papar Samidi.

Kata “Djawa Dipa” terinspirasi dari kisah pewayangan, di mana salah satu tokoh wayang Gunawan Wibisana memiliki ajian bernama “Dipa”, yang berarti “menerangi”, sehingga “Djawa Dipa” bermakna ”menerangi Djawa”

Foto bersama setelah diskusi. Foto: Begandring.com

Djawa Dipa mulai meredup di tahun 1922. Banyak hal yang menjadi penyebab meredupnya Djawa Dipa, seperti Kongres Sarekat Islam 1921, saat golongan Kiri banyak dikeluarkan dari Partai SI, padahal kalangan inilah yang menjadi pendukung Djawa Dipa dalam Sarekat Islam.

Pola perjuangan yang hanya terfokus pada kebudayaan non-politik serta gerakan yang terlalu terpusat di Surabaya ditengarai Yayan dan Samidi juga berkontribusi pada meredupnya organisasi ini.

Faktor penyebab lain adalah penyebaran Bahasa Indonesia yang secara tak terduga meluas, membuat adanya pilihan sebuah bahasa egaliter yang mampu menjadi penghubung antar strata masyarakat dan suku di Hindia Belanda selain bahasa masing-masing suku (termasuk Jawa) dan Bahasa Belanda.

Meski meredup, spirit kesetaraan yang diperjuangkan Tjokrosoedarmo dan Djawa Dipa menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan generasi setelahnya. “Soekarno saat masih menjadi murid HBS, berpidato di forum Sarekat Islam menggunakan bahasa Jawa Ngoko.” kata Yayan. Bahkan penggunaan idiom-idiom seperti “Bung”, “rakjat” dan “merdeka” sedikit banyak terinspirasi dari Djawa Dipa.

Baca Juga  Tombak Pataka Majapahit

Perjuangan Djawa Dipa dalam meruntuhkan feodalisme sebagai salah satu sendi kolonialisme, dalam bentuk kesetaraan kelas atau strata sosial masih terasa relevan hingga saat ini. (*)

 

Penulis: M. Firman. Pegiat sejarah dan budaya di Surabaya

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *