Buku biografi yang saya tulis bersama Mas Priyo Suwarno berjudul Letkol dr. RM. Soebandi, Jejak Kepahlawanan Dokter Pejuang diangkat jadi film dokumenter oleh TVRI. Tentu, kami berdua sangat surprise. Tak menyangka buku yang dilaunching pada tahun 2019 di Jember diapresiasi, kemudian diangkat menjadi sebuah film.
Film yang akan ditayang di TVRI Nasional pada 13 Mei, pukul 14.30 siang dengan judul Jalan Sunyi Letkol dr. Soebandi tersebut, berkisah tentang perjuangan seorang residen militer, dokter tentara sekaligus wakil komandan Divisi Damarwulan yang gugur ditembak tentara Belanda dalam sebuah penyergapan di Desa Karang Kedawung, 8 Februari 1949, kemudian dimakamkan pada 26 Maret 1950.
Melalui proses pencarian yang cukup panjang, akhirnya jenazah dokter kelahiran Klakah, Lumajang, 17 Agustus 1917 tersebut, baru berhasil diketemukan dan dievakuasi 13 bulan kemudian, tepatnya 23 Maret 1950.
Meski sudah dilaunching tiga tahun silam, tetapi saya ingin berbagi cerita sekilas isi biografi sekaligus proses penulisan yang saya lakukan. Supaya tidak bosen karena kepanjangan akan saya tulis menjadi dua seri.
Yang menjadi narasumber dalam film dokumenter tersebut selain saya, juga Bu dr. Widorini, putri bungsu almarhum. Untuk memberi gambaran utuh tentang kronologi pertempuran sengaja dilakukan adegan rekonstruksi atau reka ulang oleh para penggiat sejarah, dari Mas Achmad Zaki Yamani dari Begandring Soerabaia, Reenactor Bangilers, Death Rail Hunter, Mojokerto Heritage Community, Djombangsche Reenactor serta Penggiat Sejarah Malang.
Untuk pengambilan gambar dilakukan di beberapa tempat. Selain di Desa Karang Kedawung, yang menjadi lokasi pertempura juga rumah sakit DKT Jember, rumah sakit tentara di mana Letkol dr. Soebandi menjabat sebagai kepala rumah sakit pertama ketika didirikan tahun 1946.
Untuk melengkapi cerita pengambilan gambar juga dilakukan di Museum Brawijaya Malang, yang memajang mantel yang dikenakan dr. Soebandi saat ditembak Belanda dengan beberapa lubang peluru dan bercak darah yang masih terlihat jelas.
Untuk merekontruksi sesuai dengan kejadian aslinya lokasi pengambilan gambar dilakukan di sebuah rumah gedhek di pinggir ladang tebu di Desa Bejijong, Trowulan, Mojokerto. Serta sebuah rumah kuno, di Jalan Makam Peneleh, Surabaya yang disetting menjadi rumah sakit darurat di masa revoulusi di mana dr. Soebandi tengah menjalankan perannya sebagai dokter tentara.
“Karena film ini based on true story jadi, saya berusaha merekonstruksi atau mereka ulang sesuai kejadian yang sesungguhnya termasuk lokasinya,” kata Andre Arisotya, penulis naskah dan sutradara TVRI.
Cerita awal pembuatan biografi dengan editor sahabat saya Mas Henry Ismono itu, berawal dari keinginan Bu dr. Widorini, putri bungsu almarhum yang minta agar sejarah perjuangan ayahnya dibuatkan sebuah catatan. Sekecil apa pun catatan tersebut tidak masalah yang penting ada.
“Bapak saya ini kan pejuang yang gugur ditembak Belanda, di makam di Taman Makam Pahlawan, namanya diabadikan menjadi nama RSUD Jember dijadikan, nama perguruan tinggi sampai nama jalan di Jember. Tetapi catatan sejarah perjuangannya nyaris tidak tidak ada. Bagi saya catatan sejarah itu penting supaya generasi muda tahu perjuangan dr. Soebandi untuk republik ini,” kata Bu Rini, tahun 2014-an.
Tapi karena saat itu saya masih aktif bekerja kantoran sebagai wartawan sehingga sulit mewujudkan keinginan Bu Rini, yang waktu itu menjabat sebagai direktur RS Bedah Surabaya (sekarang berganti nama menjadi Manyar Medical Center).
Karena untuk membuat biografi orang yang sudah meninggal sekian puluh tahun lalu maka dibutuhkan riset cukup lama dan tentu hal itu tak bisa saya lakukan karena harus meninggalkan pekerjaan.
Baru setelah saya pensiun dari Kompas Gramedia di medio 2017, di akhir tahun 2017 saya menyambangi rumah Bu Rini untuk menyampaikan kalau memang masih ada keinginan untuk membuat biografi saya bersedia karena saya sudah punya waktu yang cukup.
Wajah Bu Rini berbinar-binar. “Kedatangan Pak Gandhi ini benar-benar pada saat yang tepat. Saya sekarang ini lagi berpikir bagaimana caranya buku sejarah bapak saya itu bisa dibuat.”
Singkat cerita, malam itu saya resmi mendapat mandat. Di malam yang berbeda saya datang lagi ke rumah Bu Rini. Lalu, saya disodori tumpukan kertas-kertas yang sudah usang berisi data-data primer tentang bapaknya. Mulai ijazah kedokteran, dan surat-surat lain termasuk beberapa lembar buku harian Rr. Soekesi, almarhumah ibunya yang sudah protol tercerai berai. Bu Rini, menyodorkan dengan mata basah. Ia terharu melihat foto mendiang ayahnya.
Lalu saat itulah saya mulai melakukan riset. Biografi tersebut saya buat dengan pendekatan biografi jurnalistik. Artinya, saya mencoba me-capture sosok dr. Soebandi di setiap masa dengan mewawancarai orang-orang mengetahui sosoknya.
Di awal riset sebenarnya Bu Widyastuti, putri kedua dr. Soebandi, yang tinggal di Bandung meragukan apakah saya bisa membuat buku tentang ayahnya yang sudah gugur 68 tahun silam itu.
Sebenarnya, keraguan tersebut tidak sepenuhnya salah. Sebab, jangankan orang lain, Ibu Widyasuti sendiri dan adiknya Ibu dr. Widorini (putri almarhum tiga orang tapi putri pertamanya Ibu Widyasmani sudah tutup usia), saja sama sekali tidak tahu sejarah ayahnya. Karena ketika dr. Soebandi gugur ditembak Belanda pada 8 Februari 1949, ketiga putrinya masih balita. Demikian, pula ibu Soekesi, tidak banyak menceritakan tentang sosok suaminya kepada anak-anaknya.
Kalau pun ada, data-data sangat standar. Misalnya, data diri dan keluarga, serta jenjang kepangkatan. Itu pun hasil pemeriksaan Kodam kepada ibu Rr. Soekesi.
Tapi entah kenapa saya punya keyakinan, bahwa saya bisa melakukan. Patokan saya sederhana saja. Kalau Pak Soebandi, gugur 69 tahun silam, maka saya akan mencari narasumber yang saat ini usiannya 80-an. Karena kalau sekarang usia 80 maka, narasumber tersebut ketika itu sudah berumur 10 tahun. Dan bagi anak usia 10 tahun tentunya sudah bisa menceritakan apa yang mereka lihat di saat itu.
Ternyata keyakinan saya tidak meleset. Meski perlu perjuangan yang tidak mudah, tetapi saya bisa menemukan dan mewawancarai orang-orang yang mengetahui secara persis tentang sosok dr. Soebandi sebelum ditembak Belanda dalam sebuah penyergapan di pagi hari di Desa Karang Kedawung, Mumbulsari, Jember.
Mereka adalah Bu Srinem dan kakaknya Bu Misjeni, Bu Benih ketiganya bertempat tinggal di Dusun Plalangan, Desa Karang Kedawung, serta Pak Syaiful Akbar tinggal di Mayang, Jember, yang di masa revolusi adalah seorang intelijen. (*)