Dr Soetomo, Pelopor Pemberdayaan Rakyat Era Kolonial

Jamak diketahui jika kesadaran politik pribumi Hindia Belanda mulai tumbuh sejak awal abad 20. Semua tahu jika kesadaran ini efek Politik Etis, banyaknya pemuda pribumi bisa sekolah tinggi, kemudian mendirikan organisasi politik, hingga melakukan gerakan-gerakan politik.

Namun tahukah Anda jika kesadaran politik masa-masa awal itu hanya milik elite? Hanya jadi isu kaum terpelajar.

Kita harus berterima kasih dengan Dr Soetomo, salah satu tokoh pergerakan Boedi Oetomo. Inilah yang pertama men-delivery ide pembebasan milik para elite pemuda ke rakyat banyak.  Menerjemahkannya dalam kegiatan kongkret, justru tidak dengan aktivitas politik. Namun dengan kegiatan kegiatan pemberdayaan.

Soetomo memilih cara baru dalam visi politiknya pasca Boedi Oetomo 1908. Cara-cara pengajaran dan pemberdayaan sosial baginya lebih baik dari sekadar aktivitas politik. Setelah mendapatkan diploma dokter penuh di Belanda, ia menetap di Surabaya pada 1923, dan mengajar di Nederlandsch Artsen School (sekarang Fakultas Kedokteran Unair).

Di kota ini, dia mengesekusi gagasannya yang paling sederhana. Yaitu, mengajarkan Bahasa Indonesia kepada khalayak. Didirikan pada 11 Juli 1924 lahirlah Indonesian Study Club (dalam bahasa Belanda Indonesische Studie Club atau Kelompok Studi Indonesia).

Dr Soetomo muda. foto: goodnewsfromindonesia

Menurut catatan GH Von Vaber dalam Nieuw Soerabaia, 1936, Saat itu hampir semua pribumi tidak ada yang bisa berbahasa Indonesia. Dan cara mengajarkan bahasa Indonesia ini dianggap paling efektif merebut hati rakyat sekaligus membangun kesadaran sosial paling dasar. Maklum, pasca semakin merosotnya Sjarekat Islam, para elite kehilangan kepercayaan di mata publik.

Gedung klik pribumi di sayap selatan GNI. Hingga kini masih menjadi klinik. | Dok Pribadi

 

Soetomo bahkan khusus meminta anggota Sjarekat Islam dan Partai Komunis bergabung. Kata Soetomo, jalan yang berbeda harus diambil jika ingin berguna untuk kepentingan rakyat. Dengan demikian kehilangan kepercayaan harus diperoleh kembali. Dengan cara membuat ikatan batin antara intelektual dan rakyat. Banyak elite makin memiliki kesadaran mengorganisasi masyarakat dengan cara sosial untuk melanjutkan jalan politik.

Baca Juga  Menelisik Jejak Pecinan di Jalan Karet Surabaya

Soetomo mendirikan Organisasi Dewan Klub Studi dengan dia sebagai ketua, RP Singgih (sekretaris), M. Soendjoto (bendahara), RM Hario Soejono dan R. Gondokoesoemo (anggota).

Klub Studi ini menempatkan diri di atas dan di luar partai dan organisasi keagamaan dengan cara memasukkan para pemimpin dari semua asosiasi politik yang ada di Surabayake dalam kepengurusan dewan studi klub. Dengan cara ini, kontak terus-menerus bisa dilakukan dengan organisasi-organisasi seperti PKI, Sjarekat Islam, Mohammadijah, Sjarekat Ambon, Sjarekat Minahassa.

Gedung Nasional Indonesia (GNI) di Jalan Bubutan, Surabaya | dok pribadi

Belakangan, Klub Studi ini makin terkenal, sebuah aktivitas sosial untuk kaum pribumi paling berpengaruh Hindia Belanda saat itu. Begitu menonjolnya gerakan ini, bahkan di beberapa tempat mengadopsinya. Sukarno yang saat itu tengah kuliah di Bandung mendirikan sekaligus pemimpin Klub Studi Indonesia untuk Umum di Bandung, di Semarang, klub serupa didirikan Tuan Singgih dengan nama Soerya Ngalan.

Soetomo semakin berpengaruh dengan gerakan non politiknya. Dia bahkan ditunjuk menjadi Volksraad atau anggota rakyat (sekarang DPRD Kota Surabaya) untuk mewakili pribumi pada 1927.

Klub studi ini mampu mencuri perhatian umum karena menawarkan solidaritas dan kesadaran bersama. Koch DMG menjelaskan, Soetomo sebenarnya tidak buta terhadap makna aksi massa sebagai alat memberikan tekanan politik, tetapi tidak seperti Sukarno yang memilih jalan politik. Soetomo lebih konservatif.

Dalam perkembangannya, Klub Studi ini membentuk sejumlah layanan sosial. Antara lain perkumpulan mengendalikan riba dan pembentukan asosiasi koperasi. Dibentuk juga kantor pengaduan semua masalah masyarakat. Antara lain masalah dengan pemerintah kota, pemecatan tanpa kompensasi, masalah pajak, kesulitan di tanah pribadi, keluhan tentang perlakuan kasar oleh polisi, masalah dengan pengusaha, dan kasus yang melibatkan rentenir.

Atas dasar prinsip klub studi bahwa kemerdekaan adalah hal utama, diupayakan, warga-warga yang berhimpun dengan Studi Klub agar saling membantu sesamanya, untuk mengatasi masalah di lingkungannya.

Baca Juga  Sejarah Kota Perlu Divisualkan untuk Pertegas Kebenaran

Klub telah mengeluarkan pedoman yang sangat sederhana untuk memerangi buta huruf, panitia Klub Studi juga memberi kursus malam di beberapa gedung sekolah di Surabaya, membaca, Belanda, Melayu, bahasa Inggris dan pembukuan.

Kemudian setelah dirasa sudah banyak masyarakat yang sudah bisa membaca dan menulis, lahirlah Majalah berbahasa Jawa rendah, Soeara Oemoem, pada April 1930. Semula terbit tiga kali seminggu, kemudian muncul setiap hari. Tujuannya sederhana: untuk membuat orang awam suka membaca.

Majalah itu disiapkan memang tidak untuk menjadi corong politik, namun hanya menyediakan informasi, terutama di bidang ekonomi. Tujuannya memang agar mendorong motivasi dan pengetahuan, sehingga orang berdaya atas dirinya sendiri.

Sayangnya, prinsip awal itu tidak ditaati. Karena faktanya, pemimpin redaksi majalah itu pernah ditangkap polisi pada Februari 1933, akibat mengkritisi peristiwa pemberontakan di atas Kapal Zeven Provinciën. Oktober 1930.  Di era itu, Soeara Oemoem, sudah beroplah 6.700 eksemplar, telah membeli dua mesin press berkecepatan tinggi yang digerakkan secara elektrik.

Klub Studi tidak berhenti melakukan pengejaran, mendirikan majalah, hingga membuat sentra pengaduan publik saja, namun pada periode 1929, Klub Studi ini mendirian Sekolah Asrama untuk anak laki-laki, Poetri Boedi Sedjati.

Mendirikan Asosiasi Perempuan sekaligus sekolah asrama anak perempuan. Setelah persiapan yang lama, Rumah Wanita dibuka di Plampitan pada Juni 1929 dengan nama Gedung Vrouwentehuis. Di tempat ini juga ada sekolah tenun.

Sebelumnya, pada Juli 1927, Klub Studi mendirikan Bank Bamipoetra untuk melawan Bank Belanda. Namun  pada 1 Januari 1930 Bank itu bangkrut dan diambil alih oleh oleh Bank Nasional Indonesia. Tiga koperasi baru didirikan tidak lama setelah pengembilalihan itu, diikuti oleh tujuh koperasi lainnya,

Baca Juga  Lomba Story Telling Lahirkan Anak Anak Berkarakter Soekarno. 

Klub Studi ini juga mendirikan Pusat Industri Pertoekangan, yang modalnya disuntikkan oleh Soetomo, M Soendjoto dan RP Soenario Gondhokoesoemo.  Ini memiliki tujuan memberikan informasi kepada masyarakat adat di bidang industri, meningkatkan kualitas dan mempromosikan penjualan produk.  Perusahaan ini telah mendirikan toko di sebuah bangunan di Baliwerti 10, yang disebut Kunsthandel Java Art Studio.

Pada akhir 1930, reorganisasi Klub Studi dilakukan. Ini setelah 6 tahun organisasi ini dibentuk dianggap berhasil memberdayakan masyarakat.  Elite politik yang enam tahun lalu tidak dipercaya berhasil mendapatkan kembali kepercayaan setelah menjadi bagian dari upaya ini. Meraka sudah memiliki komunitas warga yang berdaya.

Sampai pada akhirnya Klub Studi memperluas cakupannya dengan mengubah namanya menjadi Persatoean Bangsa Indonesia (PBI). PBI  melanjutkan arah gerakan Klub Studi yang melakukan politik moderat dan bergerak terutama di bidang sosial-ekonomi. Berkembang selain mendirikan rumah wanita, sekolah tenun, juga klinik rawat jalan, rumah siswa, dan koperasi kredit.

Pada tahun 1932, mendirikan badan payung ekonomi, Kahoeripan. Mendirikan untuk pertama kalinya Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Bank Nasional Indonesia, koperasi nelayan prauwvoerder, pusat pembelian untuk koperasi penjualan, serikat petani, berafiliasi dengan Roekoen Tani. Semua itu dikelola dari sebuah kompleks bangunan bernama Gedung Nasional Indonesia (GNI) di Jalan Bubutan, Surabaya. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *