Penulis: Nevy Eka Pattiruhu*
Bangunan depo dirancang poligonal setengah lingkaran dengan 23 pintu masuk ruang simpan lokomotif. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai Los Bunder.
Penelusuran komunitas Begandring Soerabaia terhadap jejak dan bukti sejarah terkait perkeretaapian di Indonesia kali ini telah sampai ke Yogyakarta, wilayah yang dahulu pernah menjadi sebuah area sentral layanan bagi sebuah perusahaan kereta api swasta pertama era Hindia-Belanda bernama Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).
Perusahaan partikelir tersebut juga masih berkaitan dengan kota Surabaya, di mana NIS-lah yang membangun jalur lintas utara Jawa antara Semarang – Surabaya via Gundih sejak akhir dekade 1890 dan diselesaikan keseluruhannya tahun 1903.
Begandring Soerabaia mengawali aktivitasnya di Yogyakarta dengan mengunjungi sebuah bangunan bekas depo lokomotif yang cukup monumental dan unik secara bentuknya, yang berlokasi dekat St. Lempuyangan. Pada 1916, depo lokomotif ini telah direncanakan akan dibangun oleh NIS.
Depo Los Bunder. Foto: Dok. Begandring Soerabaia
Adapun Yogyakarta telah berhasil dilewati jalur kereta api milik NIS sejak diresmikannya segmen lintas Solo – Yogyakarta (58 km) tanggal 10 Juni 1872. Jalur tersebut merupakan bagian dari proyek pembukaan jalur kereta api pertama di Indonesia dari Semarang ke Vorstelanden.
Saat itu semua pusat kegiatan kerja dan layanan perusahaan ditempatkan di Semarang, seperti stasiun utama, balai yasa/bengkel, dan depo induk lokomotif.
Seiring berjalannya waktu, perusahaan NIS yang kemudian berkembang pesat mengalami berbagai permasalahan soal aktivitasnya di Semarang. Mereka tidak cukup jeli memperhitungkan tatkala membuka lahan di tengah rawa-rawa sebagai lokasi sentral perusahaan.
Imbasnya persoalan muncul belakangan, banjir selalu rutin menghantui tiap tahunnya, kondisi lingkungan yang buruk sehingga berdampak mengurangi produktivitas kerja.
Kondisi interior bangunan Los Bunder. Foto: dok. Begandring Soerabaia
Di luar itu mereka juga sebenarnya memandang Semarang tak lagi strategis utamanya perihal lokasi balai yasa atau bengkel sarana. Mereka cukup kesulitan mengakses bengkel di Semarang akibat dari kepemilikan 2 ukuran lebar jalur rel, yaitu 1435 mm (Semarang-Yogya) dan 1067 mm (Yogya-Magelang dan Solo-Wonogiri).
Dipilihlah Yogyakarta karena di sinilah 2 jalur berbeda ukuran itu bertemu, atau dengan kata lain aksesibilitasnya dipandang lebih baik. Itulah alasan mengapa Yogyakarta kemudian dikembangkan menjadi kawasan penting bagi NIS.
Balai yasa ‘baru’ yang kini dikenal sebagai Balai Yasa Pengok dibangun di utara St. Lempuyangan, sementara depo induk lokomotif yang baru menyusul ditempatkan di timur stasiun.
Potret lawas depo Los Bunder tahun 1927. Foto: Delpher.nl
Bangunan depo dirancang poligonal setengah lingkaran dengan 23 pintu masuk ruang simpan lokomotif. Karena ditujukan untuk menampung 2 jenis lokomotif dari ukuran jalur berbeda (1435 & 1067 mm), maka dipasangkan jalur rel dual gauge dalam 1 lintasan.
Alokasi penyimpanan pun terbagi peruntukannya: 8 pintu serta ruangan bagi lokomotif jalur 1435 mm, 8 lainnya untuk lokomotif jalur 1067 mm dan 7 sisanya dapat digunakan menampung 2 jenis lokomotif beda ukuran (1435 & 1067 mm) secara bersamaan.
Tak ketinggalan di luar muka bangunan dipasang satu meja landasan pemutar (turntable) lokomotif dengan panjang ± 20 m sebagai akses keluar dan masuknya lokomotif. Karena bentuknya yang unik, masyarakat setempat menyebutnya sebagai Los Bunder.
Bekas meja putar lokomotif non-aktif yang masih utuh. Foto: dok. Begandring Soerabaia
Sewaktu kunjungan, didapati temuan menarik. Yakni masih adanya bekas-bekas dari jalur rel 1435 mm di sini. Jalur yang telah tidak lagi digunakan di Indonesia sejak masa pendudukan Jepang. Secara keseluruhan bangunan ini masih sangat terpelihara dengan baik walau kini fungsinya tidak lagi sama seperti pada awalnya. Program penghapusan pemakaian lokomotif-lokomotif uap di masa PJKA-PERUMKA ikut berperan dalam mayoritas penutupan serta alih fungsi prasarana pendukungnya, salah satunya depo lokomotif.
Bekas potongan rel 1435 mm (lingkaran merah) di atas turntable. Foto: dok. Begandring Soerabaia
Sebenarnya depo Los Bunder Yogyakarta bukanlah satu-satunya bangunan depo lokomotif berbentuk setengah lingkaran. Bangunan serupa pun sekarang masih bisa dijumpai di PG Jatibarang dan pernah pula ada di St. Kertosono yang telah dirobohkan puluhan tahun silam. Hari ini, bangunan eks depo lokomotif yang akrab disebut sebagai “Los Bunder” di Yogyakarta itu telah berganti fungsi sebagai gudang perbekalan berupa suku cadang kereta api dan sejenisnya milik PT. KAI.
Tim kunjungan dari Begandring Soerabaia di Yogyakarta. Foto: dok. Begandring Soerabaia
*Nevy Eka Pattiruhu. Pegiat Sejarah di Komunitas Begandring, spesialisasi di bidang sejarah perkeretaapian.