Ini Trilogi Pelurusan Sejarah Kota Surabaya

Hari kemenangan atas berbagai godaan selama bulan Ramadan (“Jaya ing Bhaya”), yang ditandai dengan Idul Fitri, telah terlewati. Orang orang yang berani bertarung melawan godaan dan tantangan bisa disebut “Sura ing Bhaya”.

“Jaya ing Bhaya” dan “Sura ing Bhaya”, sama-sama slogan yang sarat semangat. Secara filosofi, “Jaya ing Bhaya” menjadi semangat Pemerintah Kota Kediri. Sedangkan “Sura ing Bhaya” pernah menjadi semangat atau motto Pemerintah Kota Surabaya.  Namun sekarang, motto Kota Surabaya tidak ada.

Silakan bertanya secara acak kepada warga Kota Surabaya, apa motto kota? Mereka pasti kebingungan menjawab.

Silakan bertanya secara acak kepada warga negara Indonesia apa motto negara? Mereka akan menjawab “Bhineka Tunggal Eka”.

Ketika Indonesia punya “Bhineka Tunggal Eka”, Kota Kediri punya “Jaya ing Bhaya”, Surabaya justru kehilangan “Sura ing Bhaya”.

Surabaya tidak sama dengan “Sura ing Bhaya. Indonesia tidak sama dengan “Bhineka Tunggal Eka”. Kota Kediri tidak sama dengan “Jaya ing Bhaya”.

Mengapa motto “Sura ing Bhaya” hilang? Mungkin “Sura ing Bhaya” dianggap sama dengan Surabaya, sehingga “Sura ing Bhaya” dihilangkan.

Kalimas yang menyimpan sejarah panjang. foto:diskominfo surabaya

 

Anggapan itu salah besar. Akibatnya, Surabaya pun kehilangan arah. Jangan salahkan jika Arek-Arek Suroboyo menggunakan motto “Bonek” (Bondo Nekat). Berbekal nekat sebagai semangat. Kalau ditelaah mendalam, sesungguhnya arti “Bonek” ini adalah “Sura ing Bhaya”, berani menghadapi bahaya. Semangat “Bonek” itu telah ditunjukkan dalam perang Surabaya ketika Arek-Arek Suroboyo menghadapi Sekutu pada November 1945.

Kini, menyambut peringatan Hari Jadi Kota Surabaya, semangat “Sura ing Bhaya” perlu dikembalikan lagi.

Hari Jadi Kota Surabaya

Ketika diketahui secara akal sehat ada yang hilang, maka sepantasnya lambang Kota Surabaya ini disempurnakan. Layaknya lambang daerah dan negara lain. Yakni, ada nama daerah, lambang daerah, dan motto daerah. Pemerintah Kota Surabaya lambangnya Ikan Hiu dan Buaya. Sedangkan mottonya Sura Ing Bhaya.

Terkait peringatan Hari Jadi Kota Surabaya, selama ini diperingati pada 31 Mei sejak tahun 1975. Itu berdasarkan Surat Keputusan (SK) Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya No: 64/WK/75 Tentang Penetapan Hari Jadi Kota Surabaya. Maka, kiranya perlu dicermati dan dikaji ulang apakah benar Hari Jadi Kota Surabaya itu jatuh pada 31 Mei 1293.

Baca Juga  Kalimas dalam Ensiklopedia Kearifan Lokal Surabaya

Pertanyaannya sederhana, apakah pada tahun itu (1293), lebih dari tujuh abad yang lalu, Surabaya sudah berbentuk kota sehingga dikatakan Hari Jadi Kota Surabaya? Jangan-jangan masih merupakan cikal bakal. Belum menjadi kota.

Prasasti Kamalagyan di Krian. foto: begandring

 

Lantas, kapan Surabaya lahir sebagai kota? Inilah pertanyaan yang harus dijawab.

Surabaya hadir dan lahir sebagai sebuah kota lengkap yang dengan anatomi sebuah kota sebagai berikut: (1) penduduk yang tetap; (2) wilayah yang pasti; (3) pemerintahan; (4) kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan daerah lain.

Apakah pada 31 Mei 1293, tempat di mana bumi dipijak sudah bernama Surabaya? Apa buktinya? Atau jika penamaan itu datang di kemudian hari, kapan itu?

Jika semua pertanyaan itu belum jelas jawabannya, maka penanggalan 31 Mei 1293 sebagai Hari Jadi Kota Surabaya belum jelas adanya.

Hari Jadi Kota Surabaya adalah sejarah kota. Sejarah adalah fakta. Sudahkan sejarah Hari Jadi Kota Surabaya berdasarkan fakta?

Jika penentuan Hari Jadi Kota Surabaya yang disahkan DPRD Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya pada tahun 1975, tidak memiliki dasar dan fakta sejarah yang kuat, maka penetapan itu dapat ditinjau kembali. Apalagi kalau ditemukan data yang lebih kuat dan masuk akal.

DPRD Kotamadya Surabaya menetapkan alias menyetujui usul Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya untuk menetapkan Hari Jadi Kota Surabaya pada 31 Mei 1293. Namun, bila kelak terdapat kekeliruan, maka penetapan ini akan ditinjau kembali.

Penjelasan atas SK DPRD itu, khususnya pada bagian kesimpulan butir nomor 4, disebutkan: “Mengingat bahwa tanggal yang pasti secara faktuel belum bisa diketemukan, maka perlu dirumuskan bahwa persetujuan Dewan yang telah diberikan diatas, tidak menutup kemungkinan bagi peninjauan kembali Tanggal Hari Jadi Kota Surabaya, bila kelak dikemudian hari diketemukan pembuktian berdasarkan data data Sejarah.”

Dua Alternatif

Sejatinya, ada alternatif yang dihasilkan Tim Hari Jadi Kota Surabaya yang dibentuk pada 1973. Salah satunya memiliki data kesejarahan yang kuat, jelas, dan otentik. Yakni, tanggal 17 Juli 1358. Data faktualnya adalah Prasasti Canggu, dibuat oleh Raja Hayam Wuruk pada 1358. Prasasti Canggu adalah dokumen otentik yang memuat berbagai informasi mengenai transportasi air di mandala Jawa, khususnya mengenai tambangan (penyeberangan sungai).

Baca Juga  Kisah Marga Han, Penguasa Ujung Timur Jawa

Pada prasasti ini, nama Surabaya tertulis dan tersebut untuk kali pertama. Nama Surabaya tertulis “i Curabhaya”, artinya “di Surabaya”. Tetapi, anehknya alternatif itu tidak dipilih. Yang dipilih tanggal 31 Mei 1293.

Tim Begandring melakukan penelusuran sejarah. foto: begandring

 

Lantas, apa yang ada “di Surabaya”? Jawabannya adalah perahu tambangan yang memberikan jasa penyeberangan sungai. Atas jasa ini, Raja Majapahit Hayam Wuruk, mencatat nama Surabaya dalam prasasti yang umum disebut Piagam Penyeberangan (Ferry Charter).

Dari Prasasti Canggu dapat diketahui, Surabaya sudah ada pada tahun tersebut (1358). Bahwa di Surabaya sudah ada peradaban. Warga Surabaya telah berjasa memberikan layanan penyeberangan. Meski ketika Surabaya kala itu belum berbentuk kota, tapi sudah terbukti secara faktual dan historis tentang keberadaannya.

Kapan Kota Surabaya Ada?

Jika melihat sejarah dan fakta, kita harus fair. Jangan karena berbau kolonial, lantas diputuskan tidak dipakai.

Penanggalan yang dianggap berbau kolonial ini adalah 11 November 1743, yaitu ketika penyerahan wilayah sebagian pantai utara Jawa, termasuk Madura dari Mataram ke VOC. Dari wilayah yang begitu luas itu, Surabaya dipilih sebagai Ibu Kota wilayah Pantai Utara Jawa. Kala itu, Surabaya secara fisik sudah menunjukkan adanya anatomi sebuah kota.

Surabaya sebagai Ibu Kota Pantai Utara Jawa memiliki batas wilayah. Wilayahnya dibatasi oleh tembok (tembok kota). Penduduknya atau warganya adalah warga Eropa, khususnya Belanda.

Sistem pemerintahannya juga ada. Surabaya dipimpin seorang Sakeber (Gezaghebber), pejabat VOC yang secara administratif bertanggung jawab kepada gubernur yang bertempat di Semarang. Infrastruktur kota juga sudah terbangun seperti kantor pemerintah, gereja, jalan, alun alun, dan sarana transportasi air.

Dari dua alternatif yang memiliki bukti otentik ini, sesungguhnya sangat kuat untuk menjawab SK DPRD Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya No: 02/DPRD/Kep./75 tanggal 6 Maret 1975, di mana perlu adanya peninjauan ulang penetapan Hari Jadi Kota Surabaya pada 31 Mei 1293.

Baca Juga  Transit Jakarta, Melirik Kota Tua Batavia.

Hujung Galuh Bukan Surabaya

Ujung Galuh sudah diidentikkan dengan Surabaya. Sebelum kota ini bernama Surabaya, namanya diyakini Hujung Galuh. Nama Hujung Galuh diaktualisasikan menjadi nama sebuah jembatan di atas sungai Kalimas di kawasan Ngagel.

Dalam buku terbitan Humas Pemerintah Kota Surabaya tahun 1975 berjudul Hari Jadi Kota Surabaya 682 Tahun Sura ing Baya, menceritakan kisah Hujung Galuh sebagai sebuah pelabuhan. Sumber yang dipakai penulis buku adalah Prasasti Kamalagyan dari abad XI.

Disebutkan, Hujung Galuh berada di bagian hilir sungai atau di sebuah tempat yang berada di utara dari tempat di mana Prasasti Kamalagyan berada. Prasasti Kamalagyan berada di Dukuh Kemlagen, Tropodo, Krian. Artinya, Hujung Galuh berada di utara Dusun Kemlagen, Krian.

Padahal berdasarkan pembacan Prasasti Kamalagyan, Hujung Galuh berada di hulu sungai.

“… Kapwa ta sukhamanah nikan maparahu samanghulu manalapbhanda ri hujung Galuh… “

Artinya: “… Semuanya bersenang hati orang orang yang berperahu pergi ke hulu mengambil barang dagangan di Hujung Galuh.. “

Berdasarkan inskripsi dan pembacaan alih bahasanya, orang-orang berperahu ke hulu (dari kawasan yang terlanda banjir, yaitu Desa Kamalagyan (di mana prasasti itu berada) menuju Hujung Galuh.

Letaknya hulu sungai adalah di sebelah barat dari lokasi prasasti yang berada di Krian. Berarti letak Hujung Galuh berada di barat Krian. Jadi, Hujung Galuh bukan di hilir atau di Timur Laut (Utara + Timur) dari Krian, seperti anggapan selama ini.

Pertanyaannya, mengapa dalam buku Hari Jadi Kota Surabaya letak Hujung Galuh tertulis berada di hilir sungai? Padahal dalam Prasasti Kamalagyan tertulis di hulu.

Di manakah di bagian hulu letak Hujung Galuh? Ini perlu ada kajian sendiri. Tapi yang jelas, Hujung Galuh tidak di Surabaya yang lokasinya berada di hilir sungai.

Akhirnya, ada tiga hal penting tentang sejarah Kota Surabaya yang perlu diluruskan. Yaitu, motto Surabaya, Hari Jadi Kota Surabaya, serta letak Hujung Galuh. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *