Inilah Jejak Asli Keraton Surabaya

Sudah lama ada yang menanyakan, apa benar di Surabaya pernah ada keraton?

Dari adanya kampung yang bernama Kampung Keraton di wilayah Kelurahan Alun-Alun Contong, Kecamatan Bubutan, maka mulai dipercaya bahwa di Surabaya pernah ada keraton. Selanjutnya tersiar kabar bahwa Keraton Surabaya itu di Kampung Keraton.

Selain Kampung Kraton, di sekitarnya juga terdapat kampung=kampung yang memakai nama para punggawa keraton, seperti Kampung Temenggungan, Kampung Kepatihan, dan Kampung Carikan. Nama-nama kampung ini seolah menegaskan bahwa Kampung Keraton adalah tempat di mana Keraton Surabaya berada.

Secara fisik, di mulut gang Kampung Keraton memang terdapat semacam gapura dengan model relung (arc) sebagai pintu masuk. Diduga, karena model relung inilah, maka dianggap bahwa Kampung Keraton ini sebagai lokasi Keraton Surabaya.

Apakah demikian?

Dari penelusuran penulis di lokasi Kampung Keraton pada 29 Agustus 2022, pada bagian mulut gang memang ada bangunan tingkat dua yang bentuknya seperti sebuah gerbang masuk ke dalam kampung. Pada bagian bawah bangunan memiliki model relung (arc) seperti gerbang-gerbang di kompleks Keraton di Surakarta dan Jogjakarta.

Gegara bangunan yang sekaligus menjadi pintu masuk atau gerbang menuju kampung ini, Kampung Keraton ini dianggap sebagai lokasi Keraton Surabaya.

Padahal, bangunan di mulut gang itu adalah sebuah gardu listrik tenaga diesel, dibangun di era kolonial, untuk men-supply kebutuhan listrik sebuah perusahaan percetakan yang berada di dalam kampung.

Hingga kini, gedung bekas perusahaan percetakan itu masih berdiri tapi sudah tidak beroperasi dan kosong. Pun demikian dengan gardu listrik tenaga diesel itu. Lantai atas yang dulu dipakai tempat mesin diesel dan drum drum solar, kini sudah kosong. Mesin-mesin dieselnya juga sudah tidak ada.

Dulu, dari lantai dua ini, keluarlah instalasi pipa-pipa yang berisi jaringan kabel listrik dan masuk panel panel yang tertempel pada dinding bangunan di bagian bawah. Dari panel-panel itu, listrik didistribusikan ke gedung percetakan dan rumah-rumah di kawasan kampung. Kini, perangkat diesel, panel listrik, dan instalasi pipa distribusi listrik sudah tidak ada.

Baca Juga  Ekspedisi Bengawan Solo 2022 Sambut Kejuaraan Dunia Stand Up Paddle

Memang salah kaprah! Bangunan bertingkat, yang sebenarnya gardu listrik tenaga diesel, dianggap sebuah gerbang Keraton. Hanya karena rongga untuk keluar masuk berbentuk relung (arc), maka bangunan ini dianggap gerbang masuk ke dalam keraton.

Seperangkat gamelan di pendopo Kabupaten Surabaya

 

Kawasan Kemayoran 

Belum lama, tim peneliti Begandring Soerabaia melakukan penelusuran berdasarkan temuan kampung yang bernama Kampung Kemayoran Kauman. Sebenarnya Kampung Kemayoran Kauman sudah lama adanya. Karenanya, nama Kauman menjadi kata kunci.

Pada umumnya Kauman adalah nama kampung yang tidak jauh dari masjid besar di suatu daerah. Kauman berasal dari bahasa Arab Qaum yang berarti masyarakat atau kaum (islami) yang  mendiami kawasan di dekat dan sekitar masjid.

Hampir di berbagai daerah yang memiliki tata ruang tradisional Jawa, yang bersifat makro kosmos, di sana ada masjid, Alun-alun, kabupaten, dan Kampung Kauman. Seerti di Jogjakarta, Surakarta, Malang, Pasuruan dan Cirebon.

Yayan Indrayana, anggota tim Begandring yang arsitek yang meneliti dan mengkonservasi bangunan dan kawasan cagar budaya di wilayah Indonesia, tertarik melakukan penelusuran di sekitar Kampung Kemayoran Kauman.

“Umumnya, setahu saya, bahwa di kota-kota Jawa lama, di sekitar masjid besarnya ada Kampung Kauman. Ternyata dekat Kampung Kemayoran Kauman, masjid besarnya adalah Masjid Kemayoran yang menurut koran Soerabaiasche Handelsblad keluaran tahun 1882 adalah salah satu dari dua masjid besar di Surabaya. Masjid besar itu Masjid Alun-Alun Kabupaten dan Masjid Ampel,” terang Yayan.

Berdasarkan penelusuran kartografi Kota Surabaya tempo dulu, diketahui ada beberapa peta lama Surabaya yang menuliskan keterangan adanya Alun-Alun Kabupaten (Aloen Aloen van de Regentsewoning) Surabaya. Alun- alun ini berdekatan dengan Kampung Kemayoran Kauman.

Tidak hanya ditemukan keterangan mengenai keberadaan alun-alun, tapi juga disebut adanya kabupaten (regentswoning). Regentswoning atau rumah dan kantor bupati adalah kabupaten. Satu lagi berupa masjid, di mana umat Islam mendekat dan membuat perkampungan.

Baca Juga  Tugu Pahlawan sebagai Simbol Pengingat Masa Depan Bangsa

Kompleks tata ruang tradisional Jawa dengan konsep makro kosmos ini berada di kawasan Kemayoran, Kecamatan Bubutan. Jika ditarik garis lurus dari timur-barat dengan masjid sebagai pusatnya, maka di belakang (barat) masjid adalah Kampung Kauman. Di depan (timur) masjid adalah alun-alun. Di timur alun-alun adalah kabupaten. Tata ruang ini masih dapat dilacak keberadaannya.

Kampung Kauman masih ada. Masjid yang dulu disebut Masjid Alun-Alun Kabupaten juga masih berdiri dengan nama Masjid Kemayoran. Sementara lapangan alun-alun sudah menjadi lahan kompleks SMA Ta’miriyah dan SMPN 2 Kepanjen. Sedangkan gedung kabupaten sudah dibongkar pada 1928 dan didirikan Kantor Pos Besar Surabaya.

Jika memperhatikan tata ruang tradisional Jawa dengan konsep makro kosmos, komplek ini (Kawasan Kemayoran) adalah bekas komplek pusat pemerintahan tradisional Jawa di Surabaya zaman dulu.

Jabatan tertinggi untuk sistim pemerintah tradisional di Surabaya kala itu hanya setingkat (tertinggi) bupati. Meski demikian, tata administrasi dan tradisi lokal (pribumi) berjalan layaknya sistim kekratonan yang mengacu kepada sistim pemerintahan tradisional Mataraman.

Maklum, sejak 1625, Surabaya berada di bawah pengaruh dan kekuasaan Mataram. Karenanya, mulai sistim administrasi dan tradisi sosial budaya banyak dipengaruhi tradisi Mataraman. Bahkan bahasa Jawa yang diajarkan di sekolah sekolah secara formal adalah bahasa Jawa Mataraman.

Gedung pendopo kabupaten lengkap dengan pasebannya.

 

Pengaruh Mataram

Kantor Kabupaten Surabaya yang pernah ada di lingkungan Kemayoran (abad 19) dan beralamat di Jalan Regentstraat (sekarang Jalan Kebon Rojo) bisa dikatakan sebagai Keraton Surabaya.

Dikatakan sebagai keraton karena di tempat itu (kabupaten) pernah berlangsung aktivitas pemerintahan Surabaya klasik, layaknya aktivitas administratif dan kultural seperti yang berlangsung di sebuah keraton Mataraman.

Dalam catatan Von Faber, di kediaman Bupati Surabaya inilah pelantikan para bupati Surabaya, bupati di wilayah Karesidenan Surabaya, termasuk pelantikan para asisten residen dan residen digelar.

Dalam buku Oud Soerabaia menyebutkan bahwa tepat pada 1874 di tempat ini juga menjadi perhelatan mewah pernikahan seorang Puteri bupati Surabaya R.A.A. Tjokronegoro IV (1863-1901) dengan putera Sultan Kutei. Tradisi yang berlangsung di sana seperti halnya tradisi keraton.

Baca Juga  Bukan Cuma Pameran Foto, Ini yang Unik di Parade Event Film Soera ing Baja

Menurut pengakuan pendeta Valentijn dari Batavia (Oud Soerabaia) ketika berkunjung ke Surabaya dan sempat mendapat perjamuan makan di Ndalem Kabupaten bahwa kediaman bupati Surabaya ini sangat besar dan luas. Luasnya berukuran lebar 100 kaki (30 meter) dan panjang 200 kaki (60 meter).

Di ruang dalam terdapat area terbuka dengan sebuah pendopo yang dilengkapi dengan seperangkat gamelan Jawa. Gamelan itu untuk menghibur para tamu.

Di ruang pendopo ini beralas tikar yang indah dan dihias dengan ornamen yang indah pula dengan sebuah tempat tidur di selasar teras yang menghadap ke pendopo. Mungkin tempat tidur ini menjadi tempat penggede kabupaten untuk bisa menikmati alunan musik gamelan dan tari tarian sambil lesehan tidur.

Selain itu, ada seperangkat kursi model China yang dicat keemasan. Terlihat mewah. Di kompleks Ndalem juga tersedia kandang gajah, di mana gajah menjadi alat transportasi (kendaraan) bupati.

Dalam gelaran budaya untuk menyambut tamu-tamu resmi ini, ditampilkan tari tarian Jawa. Pendopo Kabupaten Surabaya saat itu terlihat seperti sebuah keraton, di mana sang Raja tinggal.

Tidak salah karena bupati di daerah daerah, termasuk di Surabaya, adalah perwakilan dan perpanjangan tangan seorang raja secara kultural. Apalagi setelah 1625, Surabaya sudah di bawah pengaruh dan kekuasaan Mataram.

Boleh dibilang Keraton Surabaya kala itu di kawasan Kemayoran yang tepatnya beralamat di Regentstraat yang sekarang berubah menjadi jalan Kebon Rojo. Karenanya dengan nama Jalan Kebon Rojo menjadi petunjuk pernah adanya penguasa besar di lingkungan itu. Meski penguasa besar itu adalah bupati, tapi ia berkuasa layaknya seorang Raja di sebuah Keraton.

Inilah Keraton Surabaya, yang berada dalam tata ruang tradisional Jawa bersama alun-alun, masjid dan Kampung Kauman. (*)

Artikel Terkait

Subscribe
Notify of
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x