Tahukah kalian dari mana asal-muasal kata Kembang Jepun? Anda pasti tersenyum jika tahu nama Kembang Jepun berasal dari memori kolektif masyarakat untuk menyebut pelacur dari Jepang. Ya, dulu, kawasan ini adalah red distric terluas di Surabaya, dipenuhi pelacur impor dari Negeri Sakura yang menjadikan Kembang Jepun populer di penjuru dunia.
Sebenarnya nama resmi jalan ini pada masa kolonial adalah Handlestraat alias Jalan Perdagangan. Sebuah area bisnis paling sibuk di Surabaya. Tidak hanya kantor-kantor bank, asuransi, dan kantor ekspor impor yang menempati area ini. Namun juga perdagangan ritel terutama hasil bumi yang dimiliki etnis Tionghoa hingga perdagangan kain yang dikelola etnis India.
Nyatanya penyebutan Handlestraat hanya milik lidah Belanda. Sejak lama pribumi lebih suka memanggilnya dengan Kembang Jepun. Penyebabnya, karena saking banyaknya berdiri Shinju alias rumah bordil yang dikelola orang-orang Jepang di daerah ini. Tempat prostitusi yang diisi pelacur impor dari Jepang.
Dulu, bahasa Melayu menyebut Jepang adalah Jepun. Hingga 1920-an, tulisan koran menyebut Jepun untuk Jepang. Sekarang hanya Malaysia yang masih memakai kata Jepun, di Indonesia setelah itu bergeser mengikuti lidah Belanda yang menyebut Japan.
Kembang Jepun kerap disinggung dalam roman-roman sejarah. Remy Sylado pada 2003 merilis novel berjudul Kembang Jepun. Begitu juga Lan Fang, pada 2006 dengan judul Perempuan Kembang Jepun. Pramoedya Ananta Toer menyinggung Karayuki-san alias pelacur Jepang di Kembang Jepun itu lewat, Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.
Menurut Oliver Johannes Raap dalam buku Kota di Djawa Tempo Doeloe (2017), Cantian dahulu adalah pusat prostitusi. Sekarang kawasan Kembang Jepun masuk dalam Kecamatan bernama Pabean Cantian. Kok ada kata Cantian? ya karena di tempat inilah tempatnya orang-orang cantik itu.
Sebenarnya tidak hanya orang orang Jepang pemilik rumah bordil kawasan ini namun juga orang-orang Tionghoa, begitu tulis Terence Hull dkk dalam Prostitution in Indonesia: Its History and Evolution (1999). Namun pelacur asal Jepang lebih tersohor karena kemolekannya. Kulitnya yang bersih, rambut hitamnya yang tebal, hingga sorot matanya yang tajam. Menjadikan nilai lebih dari pelacur lokal yang dikelola germo berdarah Tionghoa.
Perempuan Jepang yang datang ke Nusantara ingin menjadi Karayuki-san atau pelacur, mempunyai pasaran yang tinggi dan banyak permintaan,” tulis RP dalam Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial (2005).
Sejak 1868
Sejak kapan pelacur Jepang “menguasai” Kembang Jepun? Tentu tidak ada catatan detail, tetapi keberadaannya sudah lama eksis sebelum Jepang menduduki Indonesia pada 1942. Saya menduga pelacur-pelacur Jepang membanjiri kawasan ini sejak 1860-an.
Ini juga sesuai keterangan Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), Sejak 1868 hampir setengah juta perempuan Jepang diselundupkan ke Asia Tenggara untuk pelacuran, mereka terdiri dari berbagai profesi, termasuk pelacur dan germo. Ini karena masa itu di Jepang sedang mengalami kemiskinan parah akibat periode Meiji.
Hingga awal 1900-an Kembang Jepun dan pelacur-pelacur dari Jepang ini sangat tersohor, tidak hanya di Surabaya, namun hingga ke manca negara. Bagaimana tidak, lokasinya yang berada di tengah area bisnis ini, juga dikeliling tangsi militer, pelabuhan, dan stasiun kereta api. Semua market yang menjanjikan.
Tumbuh di sekitar tahun 1870, popularitas Kembang Jepun sebagai lokalisasi pelacuran mulai surut sekitar 1910. Sepuluh tahun kemudian, tidak ada satu pun rumah bordir di tempat ini.
Catatan Terence, menjelaskan, surutnya popularitas Lokalisasi Kembang Jepun karena terbitnya sejumlah produk hukum moral masyarakat di Hindia Belanda. Hukum yang melawan perzinahan itu berimbas pada dunia pelacuran yang tidak lagi terbuka. Banyak rumah bordil gulung tikar atau beroperasi sembunyi-sembunyi.
Masa suram dunia pelacuran Surabaya ini berlanjut lagi karena ada perubahan rezim di Jepang. Ketika Kaisar Thaiso naik tahtah pada 1912, dia memerintahkan membubarkan bisnis pelacuran orang-orang Jepang di seluruh Asia, termasuk di kota ini.
Jadi, hari ini, kalian tentu tidak akan menemukan satu pun bekas rumah bordil di kawasan lokalisasi terbesar era kolonial itu. Apalagi semua bangunan indah di kawasan ini telah dihancurkan karena proyek pelebaran jalan tahun 1969.
Namun yang unik, nama berbau pelacuran itu masih tetap lestari diabadikan sebagai nama jalan dan nama kecamatan di Surabaya. (*)