Ketika Cheng Ho Berlabuh di Surabaya

Nama Cheng Ho sudah tidak asing bagi warga Surabaya. Karena di kota ini, terdapat sebuah masjid berarsitektur Tiongkok bernama Masjid Cheng Ho. Lokasinya di Jalan Gading, Ketabang, Kecamatan Genteng, Surabaya.

Masjid Cheng Ho didirikan atas prakarsa para sesepuh, penasihat, pengurus PITI, pengurus Yayasan Haji Muhammad Cheng Ho Indonesia Jawa Timur, serta tokoh masyarakat Tionghoa di Surabaya. Masjid ini mulai dibangun pada 10 Maret 2002 dan diresmikan pada 13 Oktober 2002.

Mengapa ada masjid Cheng Ho di Surabaya? Adakah kaitan historis antara Cheng Ho dan Surabaya? Siapakah Cheng Ho itu?

Menurut literasi Historyana.blogspot.com Cheng Ho adalah seorang Kasim, yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424) atau kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Nama asli Cheng Ho adalah Ma He, yang juga dikenal dengan sebutan Ma San Bao atau Sam Po Bo.

Cheng Ho berasal dari Provinsi Yunnan. Ketika Pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap dan kemudian dijadikan orang Kasim. Cheng Ho adalah keturunan suku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han tetapi memeluk agama Islam. Karenanya Cheng Ho pun beragama Islam.

Cheng Ho dikenal sebagai seorang pelaut dan penjelajah andal Tiongkok yang berkelana menyebarkan agama Islam. Di antara penjelajahannya adalah ekspedisi ke Nusantara antara tahun 1405 hingga 1433, termasuk ekspedisi ke kerajaan Majapahit.

Sebelum masuk Majapahit, dikisahkan bahwa kapal ekspedisi Cheng Ho terlebih dahulu berhenti di Tuban. Tuban adalah pelabuhan laut besar yang menjadi pintu masuk antarnegara.

Menurut catatan Ma Huan, seorang Tiongkok muslim yang mengikuti ekspedisi Cheng Ho, perjalanan ekspedisi Cheng Ho pada abad ke-15 termasuk memasuki Jawa.

Baca Juga  TVRI-Begandring Produksi Film Dokumenter Dr RM Soebandi

“Dari Tuban, setelah perjalanan menuju ke timur sekitar setengah hari, maka sampailah di sebuah tempat yang bernama desa baru, yang disebut orang asing sebagai Ko-erh-his (Gresik). Aslinya adalah sebuah wilayah kosong dan berikutnya orang orang dari pusat negeri datang dan membangun tempat ini. Oleh karena itu disebut ‘desa baru’, hingga sekarang dipimpin oleh seorang dari (propinsi) Kuang Tung. Ada lebih dari seribu keluarga di sini,” demikin Ma Huan menjelaskan

Dari Gresik terus mengisahkan perjalanannya mengikuti Cheng Ho. “Dari desa baru (Gresik), setelah perjalanan sejauh 20 li (sekitar 7 mil) kearah selatan, kapal Cheng HP mencapai Su-lu-ma-i, yang disebut orang asing sebagai Su-erh-pa-ya (Surabaya). Kapal Cheng Ho terlalu besar untuk masuk pedalaman dengan menyusuri sungai. Maka digunakanlah perahu perahu untuk menyusuri sungai hingga akhirnya tiba di sebuah wilayah yang diatur oleh penguasa, dihuni lebih dari ribuan keluarga asing dan di antaranya juga dari pusat negeri.”

Di sebuah wilayah yang sudah dikenal dengan nama Su-erh-pa-ya (Surabaya), Ma Huan kembali mendeskripsikan apa yang ia lihat disana.

“Orang asing dari segala penjuru dalam jumlah besar datang untuk berdagang seperti emas, segala macam jenis batuan mineral, dan segala macam barang dari luar negeri dijual dalam jumlah besar. Masyarakatnya sangat makmur.”

Setelah dari Surabaya, ekspedisi berlanjut ke tujuan, yakni ke Majapahit. Berikut catatan Ma Huan.

“Dari Su-erh-pa-ya kapal kecil berlayar sekitar 70 atau 80 li menuju pelabuhan bernama Chang-ku (Canggu) untuk berlabuh dan setelah berjalan satu setengah hari kearah barat daya, sampailah ke Man-che-po-i (Majapahit), tempat dimana sang raja tinggal. Tempat ini ada sekitar 200 atau 300 keluarga asing, dengan 7 atau 8 pemimpin untuk melayani raja.”

Baca Juga  Surabaya Kuna dan Surabaya Baru, Bagaimana Ceritanya?

Itulah catatan Ma Huan yang mengisahkan perjalanan Cheng Ho ke ibukota kerajaan di Trowulan, yang melewati Surabaya.

Relief kapal Cheng Ho. foto: ist

 

Kapal Cheng Ho di Surabaya

Secara historis, Surabaya menjadi jalur ekspedisi Cheng Ho ke Trowulan, Majapahit. Sementara, Surabaya, menurut catatan Ma Huan, digambarkan sebuah wilayah perdagangan dengan masyarakatnya  makmur. Sebagian adalah ribuan keluarga asing dan orang-orang dari pusat negeri (Trowulan). Kala itu, Surabaya sudah diatur oleh penguasa.

Dari Surabaya inilah, perahu-perahu kecil Cheng Ho melanjutkan perjalanan dengan menyusuri sungai hingga pelabuhan Canggu. Jarak Surabaya ke Changgu sekitar 80 Li. Ketika ekspedisi Cheng Ho ke ibukota Kerajaan dilanjutkan dengan menggunakan perahu perahu kecil, maka kapalnya, yang berukuran besar, harus bersandar di tepi laut. Maklum, sungainya terlalu kecil dilewati kapal besar.

Sementara itu, sekarang, jika kita berkunjung ke Klenteng Mbah Ratu di Jalan Demak, Surabaya, maka di sana ditemukan serpihan kayu kapal dan jangkar yang diyakini sebagai bagian dari kapal Cheng Ho. Konon Klenteng Makam Mbah Ratu sendiri disebut kuburan kapal karena dipercaya sebagai makam buritan kapal yang digunakan Laksamana Zeng Ho dari Negeri Cina.

Sebagaimana adatnya (kebiasaan) pelaut pelaut ketika kapal mereka sandar di suatu pelabuhan, para pelaut biasanya memanfaatkan waktu untuk memperbaiki kapal. Pun demikian kiranya dengan awak kapal Cheng Ho yang selagi menunggu Laksamana Cheng Ho bermuhibah ke Majapahit. Mereka lantas memperbaiki kapal. Dalam perbaikan itu, umumnya ada bagian bagian kapal yang harus diganti agar lebih aman sebelum melanjutkan pelayaran ke tujuan berikutnya.

Diduga, bagian dari kapal yang diganti inilah yang kemudian ditemu warga setempat di tepi laut. Wujudnya berupa kayu dengan ukuran panjang 2,5 meter dan diameter 40 sentimeter. Menurut penuturan seorang peziarah di Klenteng Mbah Ratu, kala itu warga sekitar berusaha menghanyutkan kayu itu ke laut. Namun, usaha mereka sia-sia. Kayu itu selalu kembali dan kembali lagi ke tepi pantai. Kejadian itu membuat warga meyakini bahwa kayu itu bukan kayu biasa, melainkan kayu aji (bernilai tinggi).

Baca Juga  Belajar tentang bencana, sejarah dan kemanusiaan, di konser “Kataklistik Budaya : Jawa Timur - Pertemuan Tiga Lempeng Dunia”.

Selanjutnya, kayu aji tersebut dikubur dan dikurung di sebuah perempatan jalan, yang lokasinya tidak jauh dari laut. Tempat itu kemudian dikenal warga setempat dengan sebutan Prapat Kurung.

Karena perkembangan jaman, maka kuburan kayu itu dipindahkan ke selatan yang ditandai dengan dibangunnya klenteng, yang sekaligus sebagai tempat bersemayamnya serpihan kayu kapal Cheng Ho. Klenteng ini bernama Sam Po Tay Djhien, yang juga nama lain Cheng Ho. Banyak orang mengenal tempat ini dengan nama Mbah Ratu.

Mbah Ratu adalah semacam gelar yang disematkan kepada Laksamana Cheng Ho karena berjasa dalam penyebaran agama Islam. Meski ada sifat Islami, tapi tetap dihormati oleh warga Tionghoa yang bukan Islam serta juga dihargai oleh orang Jawa. Karenanya, klenteng Sam Po Tay Djhien atau Klenteng Mbah Ratu ini didatangai oleh warga Tionghoa, Jawa dan umat Islam. Unik, menarik dan nyata adanya.

Hingga saat ini, di Klenteng Sam Po Tay Djhien atau Sam Po Kong atau Cheng Ho tersimpan sebatang kayu dan jangkar. Benda-benda itu diyakini dari kapal Laksamana Cheng Ho yang ditemui di pesisir Surabaya. (*).

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *