Kisah Soekarno Lahir di Kawasan Cikal Bakal Surabaya

Soekarno alias Bung Karno lahir di Surabaya, 6 Juni 1901. Saat itu, negara ini masih bernama Hindia Belanda (Dutch Indies atau Oost Indiesch). Tepatnya di Kampung Pandean, Peneleh. Bukan di tempat lain, seperti Wonokromo, Gubeng, Darmo, Ketabang, meski semua di Surabaya.

Dibandingkan daerah lain, Kampung Pandean-Peneleh usianya jauh lebih tua. Itu ditandai temuan arkeologi Sumur Jobong, model sumur yang jamak ditemukan di eks Ibu Kota Majapahit, Trowulan.

Sumur Jobong menunjukkan bagian dari sarana peradaban manusia. Yaitu, tempat untuk mencari air untuk kebutuhan hidup.

Adanya peradaban di Pandean yang secara geografis letaknya di delta Sungai sangat logis. Sebab,  kawasan delta tidak jauh dari sumber air umumnya menjadi jujugan peradaban.

Dituliskan dalam buku Erwerd Een Stad Geboren (GH Von Faber, 1953), di kawasan Pandean-Peneleh pada 1270 M, sudah menjadi kawasan permukiman yang secara sporadis didiami orang-orang kuat dan jawara.

Selanjutnya, para jawara ini dibuatkan kawasan permukiman yang lebih tertata dan layak huni oleh Raja Kertanegara (Kerajaan Singasari) pada 1275 M atas jasa jasanya membantu raja menumpas pemberontakan Kanuruhan. Kawasan permukiman baru ini dinamakan Curabhaya (GH Von Faber). Letaknya di utara Peneleh, yakni di kawasan Pengampon dan Semut.

Pada 1358, ketika Raja Hayam Wuruk (Kerajaan Majapahit) menuliskan nama-nama desa di tepian sungai (naditira), yang berjasa atas penyeberangan sungai, desa naditira Curabhaya adalah salah satunya. Curabhaya (kini Surabaya) adalah naditira yang paling hilir, setelah Gsang (kini Pagesangan) dan Bkul (kini Bungkul). Nama-nama desa di tepian sungai ini (naditira) tersebut dalam prasasti Canggu atau Trowulan I.

Raja Hayam Wuruk dapat menuliskan nama-nama desa naditira di sepanjang aliran sungai, baik Sungai Brantas, Sungai Wulayu (kini Bengawan Solo), serta anak sungainya yang disebut Bengawan Njero karena keberadaan desa-desa yang sudah ada ketika dilawati sang raja.

Baca Juga  Soera ing Baja, Gemuruh Revolusi ‘45

Pencatatan nama-nama desa pada Prasasti Canggu oleh Raja Hayam Wuruk diikuti dengan pemberian Status Sima (desa perdikan bebas pajak) dan Swatantra (desa otonom yang mandiri).

Jika naditira Gsang diduga menjadi Pagesangan dan naditira Bkul menjadi Bungkul, maka naditira Curabhaya adalah Pandean-Peneleh yang sekarang bertransformasi menjadi Surabaya yang luas areanya mencapai 335 km2. Dugaan Curabhaya adalah Pandean-Pebeleh adalah keberadaannya yang diapit dua sungai dan bukti arkeologi berupa Sumur Jobong yang ditemukan di Pandean Gang I, Oktober 2018.

Kekunoan secara fisik ini menyimpan peradaban manusia yang selalu sigap dalam perlindungan wilayahnya. Orang-orangnya tangguh menghadapi segala kemungkinan bahaya, baik oleh alam maupun serangan binatang dan manusia. Mereka berilmu kanuragan.

Ilmu kanuragan orang-orang di tepian sungai maupun bengawan ini umum dijumpai di daerah-daerah tepian bengawan. Daerah yang ilmu kanuragan masyarakatnya masih lestari adalah di Madiun, sekarang berjuluk Kampung Pendekar.

Dari penelusuran penulis dalam Ekspedisi Bengawan Solo 2022, di beberapa daerah yang namanya tercatat sebagai desa kuno (naditira pradeca) di sepanjang Bengawan Solo didapati cerita-cerita bahwa orang orang di tepian Bengawan Solo memiliki tradisi seni pencak, seni bela diri tradisional. Pun di Pandean Peneleh, di mana pencak pernah menjadi tradisi bela diri lokal.

Curabhaya-Surabaya

Nama Curabhaya kini telah berubah menjadi Surabaya. Kedua nama ini memiliki ejaan yang hampir sama. Sering dengan berjalannya waktu dan perubahan zaman, nama Curabhaya berganti menjadi Soerabaia. Kemudian berganti Soerabaja hingga Surabaya.

Jika dulu Curabhaya adalah nama sebuah desa di tepian sungai. Sekarang, Surabaya adalah nama sebuah kota besar (metropolitan).

Begandring Soerabaia, melalui kajian literasi dan studi lapangan, menduga Surabaya yang luas dan besar ini berawal dari sebuah desa kecil di tepian  Sungai Brantas yang paling hilir. Sayang belum ada kajian ilmiah dan akademik tentang sejarah asal mula Surabaya berdasarkan sumber-sumber otentik. Bahkan, ringkas cerita, tak ada yang tahu atau belum tahu bahwa kawasan Pandean-Peneleh sekarang merupakan naditira Curabhaya. Hipotesa ini adalah hasil kajian pegiat sejarah Begandring Soerabaia.

Baca Juga  THR Bakal Dihidupkan Lagi, Pak Wali Tolong Perhatikan Masukan Ini!

Selama ini, apa yang diyakini publik Surabaya berawal dari Hujung Galuh. Padahal, berdasarkan sumber Prasasti Kamalagyan, 1037. Di mana disebutkan bahwa Hujung Galuh berada di hulu sungai dari keberadaan prasasti itu berada. Sementara fakta menunjukan Surabaya yang selama ini diyakini publik bermula dari Hujung Galuh berada di hilir sungai.

Tim Begandring Soerabaia mengkaji, berdasarkan Prasasti Canggu (1358), Curabhaya adalah naditira pradeca yang letaknya paling hilir setelah Gsang (Pagesangan) dan Bkul (Bungkul). Sehingga jika diurut berdasarkan letak daerah dengan mengikuti alur air, maka berturut-turut ada Pagesangan, Bungkul, kemudian Surabaya.

Jika Pagesangan berasal dari Gsang, Bungkul berasal dari Bkul, maka Surabaya berasal dari Curabhaya yang diduga kuat letaknya di Pandean-Peneleh.

Pandean-Peneleh (Curabhaya) inilah awal mula Surabaya. Jika Soekarno (Putra Sang Fajar) lahir di Peneleh, berarti dia dilahirkan di tempat yang menjadi cikal bakal Surabaya dengan tradisi ilmu kanuragan sebagai benteng peradabannya. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *