Dari waktu ke waktu, penetrasi budaya yang tak sesuai budaya dan kearifan lokal terus saja terjadi. Dampak globalisasi yang membawa serta perbedaan budaya tidak bisa dibendung. Apalagi kehadirannya ditunjang dengan kemajuan teknologi dan kemudahan mendapatkan teknologi. Anak kecil pun sudah mulai ramah teknologi. Teknologi di genggaman mereka.
Kehidupan anak milenial seolah lepas dari perlindungan penetrasi budaya yang tidak sesuai dengan budaya ibu yang berkearifan lokal. Belum ada alat pelindung hukum yang mengamankan mereka dari dari dampak masuknya budaya lain (asing) yang tidak sesuai dengan budaya lokal dan budaya bangsa.
Selama ini, hanya norma yang menjadi senjata. Selain norma sosial, juga norma agama yang digunakan sebagai tameng. Padahal degradasi budaya sangat berpengaruh terhadap karakter bangsa. Proses degradasi cepat atau lambat akan mengakibatkan hilangnya identitas budaya yang selama ini menjadi karakter bangsa.
Padahal, UUD 1945, pasal 32 (1) mengamanatkan bahwa Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
Adalah benar jika ada kebebasan kepada masyarakat untuk mengembangkan nilai-nilai budayanya. Pengembangan nilai-nilai budaya akan memicu kreativitas dan giat bekerja. Kreatif dan giat bekerja sendiri merupakan sebagian dari nilai karakter bangsa.
Tapi apakah sudah ada perlindungan terhadap nilai nilai budaya itu sendiri?
Ini yang tidak adil. Tidak seimbang. Di satu sisi, ada dorongan untuk pengembangan nilai budaya tetapi tidak ada perlindungan secara hukum terhadap hasil karya budaya itu.
Undang Undang RI Nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan mendorong adanya upaya upaya untuk memajukan nilai nilai budaya yang tersimpan pada 10 objek pemajuan Kebudayaan sebagaimana tersebut pada Pasal 5.
Sepuluh obyek pemajuan Kebudayaan ini adalah: 1) Tradisi Lisan, 2) Manuskrip, 3) Adat Istiadat, 4) Ritus, 5) Pengetahuan Tradisional, 6) Teknologi Tradisional, 7) Seni, 8) Bahasa, 9) Permainan Rakyat, 10) Olahraga Tradisional.
Jika ke 10 obyek Kebudayaan ini dirusak, dimatikan orang, apakah ada delik hukum buat mereka?
Berbeda dengan benda, bangunan, struktur serta situs dan kawasan yang masuk dalam kategori cagar budaya yang secara hukum telah dilindungi oleh Undang-undang Cagar Budaya maupun Perda Cagar Budaya, maka pelanggar nya bisa dijerat hukum. Sebagaimana telah diatur dalam UU Cagar Budaya seperti yang terperinci dibawah ini bahwa pelanggar bisa dijerat hukum.
Dianggap melanggar apabila:
- Tanpa ijin mengalihkan kepemilikan (Pasal 101).
- Tidak melaporkan temuan (Pasal 102).
- Pencarian Cagar Budaya Tanpa Ijin (Pasal 103).
- Mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan upaya pelestarian (Pasal 104).
- Merusak Cagar Budaya (Pasal 105).
- Mencuri dan Menadah Cagar Budaya (Pasal 106).
- Memindahkan Cagar Budaya Tanpa Ijin (Pasal 107).
- Memisahkan Cagar Budaya Tanpa Ijin (Pasal 108).
- Membawa Tanpa Ijin keluar wilayah NKRI maupun Luar Wilayah propins/ Kota /Kabupaten (Pasal 109).
- Mengubah Tanpa Ijin Fungsi Ruang Situs (Pasal 110) .
- Mendokumentasikan Cagar Budaya Tanpa Ijin (Pasal 111).
- Memanfaatkan Cagar Budaya dengan Cara Perbanyakan tanpa Hak (Pasal 112).
Maka, jika kita menengok obek kjebudayaan, misalnya tradisi, apa yang terjadi jika terjadi pembiaran sehingga tradisi itu mati yang akibatnya hilanglah jati diri.
Contoh nyata, jika ludruk itu mati, siapa yang bertanggung jawab?
Ini yang perlu dipikirkan jika budaya menjadi hal penting bagi negara. Apalagi negara melalui UUD 1945 pada pasal 32 (1) telah mengamanahkan.
Hayo, apa yang harus kita perbuat?
Ditulis Oleh : Nanang Purwono, jurnalis senior, ketua Begandring Soerabaia