Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair Prof. Purnawan Basundoro mengingatkan pentingnya penelusuran dan pelurusan sejarah Kota Surabaya.
Penegasan tersebut disampaikan Purnawan Basundoro saat menghadiri begandringan (diskusi ala Surabaya) yang membahas pengembangan kawasan wisata Peneleh berbasis sejarah dan budaya di Lodji Besar, Rabu (4/1/2023) malam.
“Jika dilakukan penelusuran yang berangkat dari penemuan Sumur Jobong di Peneleh dan hasilnya kuat, maka ini bisa menggugurkan sejarah Surabaya yang dikaitkan dengan jalur keluarnya Tartar di Sungai Jagir pada 31 Mei 1293,” kata Purnawan yang juga ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Timur itu.
Purnawan memang memberi perhatian serius sejak ditemukannya benda arkeologi berupa Sumur Jobong di Kampung Pandean I. Karena Sumur Jobong adalah sumur kuno, umum digunakan di era Majapahit. Sumur kuno ini banyak ditemukan di bekas ibu kota Majapahit, Trowulan, Kabupaten Mojokerto.
Ketika sumur sejenis (jobong) ditemukan di daerah tepian sungai (naditira pradeca) yang paling hilir dari sungai Brantas yang bermuara di Surabaya, maka daerah ini dapat diduga sebagai sebuah desa di tepian sungai (naditira pradeca) yang bernama Curabhaya. Data ini didapat dari sumber sejarah, yakni Prasasti Canggu (1358).
Di Prasasti Canggu tertulis nama-nama desa di tepian sungai, tiga desa di antaranya berada di wilayah administrasi Kota Surabaya. Sesuai urutan aliran sungai (Brantas-Kalimas), di ruas selatan ada Gsang (kini Pagesangan), lalu Bkul (kini Bungkul), kemudian Curabaya (kini Surabaya) yang letaknya dekat muara.
Jika sudah diketahui bahwa GSANG menjadi Pagesangan, Bkul menjadi Bungkul, lalu Curabaya dimana? Kita tidak pernah menelusuri di manakah desa di tepian sungai (naditira pradeca) Curabhaya itu.
Letak Curabhaya
Prasasti Canggu (1358) dengan tegas mencatat bahwa naditira pradeca Curabhaya letaknya di titik paling hilir dari sungai Brantas (Kali Surabaya=Kalimas). Curabhaya dekat laut. Sebagai sebuah pemukiman yang tercatat oleh Raja (Hayam Wuruk) pada 1358, kiranya bisa ditemukan bukti bukti historis yang mengacu pada pernah adanya peradaban di wilayah yang dinamakan Curabhaya.
Bila desa Curabhaya (dulu) kemudian menjadi Surabaya sebagai sebuah kota (sekarang), berdasarkan topinimi, tentunya harus ada petunjuk berupa sisa peradaban yang mengkoneksikan Curabhaya (dulu) dengan Surabaya (sekarang). Apakah ada koneksi itu?
Ternyata koneksi itu ada. Yaitu benda kuno, berbentuk sumur, yang disebut sumur Jobong. Sumur Jobong, yang umum digunakan di era Majapahit itu, ditemukan di kampung Pandean I, kelurahan Peneleh, Surabaya. Secara geografis, Peneleh adalah kawasan yang berada di tepian sungai, bahkan diapit oleh dua sungai kuno: Kali Surabaya (Kalimas) dan Kali Ampel (Pegirian).
Dengan kata lain, wilayah Peneleh berada di sebuah delta Sungai. Peneleh berada di kawasan percabangan sungai. Berdasarkan peta peta kuno, termasuk yang dimuat dalam buku Atlas Groote Atlas Van Nederlandsch Oost Indie Vol II – Java Madoera, bahwa keberadaan delta yang sangat jelas ada di kawasan Peneleh.
Selanjutnya ada dua kata kunci untuk melacak keberadaan Curabhaya, yang diduga kuat sebagai Surabaya. Yaitu Delta dan Muara.
Curabhaya atau Surabaya adalah suatu tempat yang berada di sebuah Delta Sungai dan dekat dengan muara sungai Kalimas
Muara dan Delta
Buku Notes in the Malay Archipelago and Melacca, compiled from Chinese Sources by W,P. Groeneveld (1876) menggambarkan letak suatu daerah (diduga Surabaya) yang menjadi jalur masuknya serdadu Mongol dari Tuban menuju Tumapel ketika mereka hendak menghukum raja kerajaan Singasari (Tumapel), Kertanegara pada 1293.
“At this place, Tuban, half this army was sent ashore with orders to march to the mouth of the river Pa-tsich, while the other half proceeded in the fleet towards the same destination, passing on its way the river Segalu (Sugalu), which must be the same as is called Sedayu now.
Pa-tsich is the river of Surabaya, at present called Brantas or Kalimas, which is proved beyond any doubt by Changku or Changgu (afterwards an important place for chinese trade will be treated saperately) being situated on it, whilst it led also to Neighborhood of Majapahit and to Daha in Kediri.” tulis Groeneveld.
Bila diterjemahkan akan berbunyi: di tempat ini, Tuban, separuh dari pasukan (Tartar) ini dikirim melalui darat dengan perintah untuk bergerak menuju ke muara sungai Pat-tsich. Sedangkan separo lainnya melalui laut dengan menggunakan kapal kapal menuju tujuan yang sama, melewati sungai Segalu (Sugalu), yang dipastikan sama dengan yang disebut Sedayu sekarang.
Pa-tsich adalah sungai Surabaya, saat ini disebut Brantas atau Kalimas, yang dibuktikan tanpa keraguan menuju Changku atau Changgu, yang letaknya juga mengarah ke lingkungan Majapahit dan ke Daha di Kediri.
Dalam catatan itu, Groenneveld menuliskan, “mouth of the river Pa-tscih” (muara sungai Pa-tsich) dan Pa-tsich sendiri adalah sungai Brantas atau Kalimas (Pa-tsich is the river of Surabaya, at present called Brantas or Kalimas). Jadi, perintah kepada semua pasukan Tartar, baik yang bergerak melalui darat dan laut, adalah menuju muara sungai Pa-Tsich atau muara Kalimas.
Lebih lanjut Groenneveld menyebut adanya sebuah Delta sungai, yang menjadi pangkalan militer Jayakatwang.
“Aji Kalang (Jayakatwang) was master of the Delta of Surabaya also and the Mongols found there an army”, tulis Groenneveld.
Di mana Delta Sungai?
Menurut “Groote Atlas Van Nederlandsch Oost Indie Vol II – Java Madoera”, khususnya pada peta “optogt van sourabaija na Passourouan – 1721″ diilustrasikan bahwa sebuah Delta sungai hanya ada di kawasan Peneleh, yang secara alami diapit oleh sungai Kalimas dan Pegirian. Tidak ada sebuah Delta Sungai lainnya.
Namun dalam buku Hari Jadi Kota Surabaya (1975) yang menjadi kumpulan tulisan hasil penelitian hari jadi kota Surabaya menggambarkan bahwa Delta Sungai yang dianggap bersejarah terkait dengan pangkalan militer Jayakatwang dan titik hengkangnya Tartar dari Jawa adalah Delta Sungai Jagir. Di sana digambarkan ada percabangan Kali Surabaya menjadi Kalimas (mengalir ke utara) dan Kali Jagir (mengir ke timur).
Padahal sesuai dengan peta peta lama yang dimuat dalam Groote Atlas Van Nederlandsch Oost Indie Vol II – Java Madoera, di kawasan Jagir belum ada kanal atau Sungai Jagir yang mengalir ke timur. Aliran sungai Brantas dari selatan masih satu arus mengikuti Kali Surabaya (Kalimas) dan baru terdapat percabangan di Genteng Kali menjadi Kalimas dan Kali Pegirian. Di sanalah sebuah Delta sungai itu berada.
Delta sungai itu adalah kawasan Peneleh. GH Von Faber dalam bukunya Erwerd Eenstad Geboren (1953) menggambarkan bahwa di Delta Peneleh inilah peradaban di era Singasari itu ada. Ia menggambarkan bahwa di tahun 1270 sudah ada permukiman di kawasan ini, yang disebut Glagah Arum atau Peneleh-Peneleh.
Peradaban Delta Peneleh adalah naditira pradesa (desa di tepian sungai), yang letaknya di utara dari naditira pradeca Bungkul. Kala itu (abad 13) tidak ada sebuah delta, kecuali Delta Peneleh. Jadi diduga kuat bahwa delta Peneleh adalah kawasan naditira pradeca Curabhaya (sekarang Surabaya).
Diduga juga, bahwa delta sungai, yang disebut Groenneveld sebagai pangkalan militer Jayakatwang, adalah Delta Peneleh.
Sebenarnya Groenneveld sendiri juga mengaitkan Pa Tsich Kan (kali kecil Kalimas) dengan nama sebuah kawasan di daerah Jagir, yang bernama Pacekan, di lingkungan penjernihan air Jagir. Sekarang nama itu sudah tidak ada. Itu masih asumsi Groenneveld.
“The chinese text gives this river as Pa-tsich-kan, the small river of Pa tsich, and this name we found back in the village pacekan of the present day, situated on its right bank, about nine miles from the sea. It is probably that formerly this village gives its name to the Surabaya brach of Brantas.”, tulis Groenneveld.
Perhatikan kalimat bergaris bawah yang artinya: Mungkin, dulunya kampung ini dinamai Pacekan karena nama cabang kali Brantas Surabaya (Kalimas). Kalimas sendiri adalah Pa Tsich Kan, sungai Kalimas kecil.
Gambaran alami sungai Kalimas yang kecil ini juga diilustrasikan oleh Mahuan (1420) ketika ia menyertai kunjungan Cheng Ho ke Majalahit. Mahuan menuliskan bahwa setelah perjalanan dari Tuban, Gresik dan sampai di perairan Surabaya dengan kapal besar, maka dari perairan itu, mereka menaiki perahu perahu kecil menyusuri sungai melalui Surabaya hingga pelabuhan Canggu. Kemudian mereka berjalan kaki menuju Majapahit.
Dengan menaiki perahu menyusuri sungai melewati Surabaya hingga pelabuhan Canggu, ini menggambarkan kondisi alami Kalimas yang kecil sehingga tidak bisa dilewati kapal kapal besar. Kalimas, yang kecil itu oleh Groenneveld dengan mengutip catatan China, dalam bahasa Chinanya bernama Pa-Tsich-Kan.
Peneleh adalah kawasan Delta, yang kala itu (abad 13), lebih dekat ke muara dan secara arkeologis dibuktikan dengan temuan sumur Jobong (1430) serta prasasti Canggu (1358) sebagai naditira pradeca di utara Bungkul. Delta Peneleh, berdasarkan sumber Groote Atlas Van Nederlandsch Oost Indie Vol II – Java Madoera” (1719 dan 1721) adalah satu satunya Delta di Surabaya.
Peneleh adalah kawasan Delta, yang dilewati Pa-Tsich-Kan, sungai Kalimas kecil (small river Kalimas) dan menjadi tempat bertemunya pasukan Monggol yang datang malalui jalur darat dan laut dari Tuban sebelum menuju selatan. (nanang purwono)
Sangat menarik cerita sejarah Surabaya dan semoga menjadikan semangat kita terimakasih informasinya…..
Terima kasih responnya.
Sumur jobong sebuah kawasan apakah ada rencana dibebaskan wilayah sekitar agar dapat ditemukan bekas bangunan yang terpendam seperti pandai.
Mungkin saat ini menjadi kampung padat penduduk bisa relokasi tempat. Untuk mewujudkan kawasan sumur jobong menjadi saksi sejarah kota Surabaya. Tujuan wisata baru.