Jelajah sejarah melalui program Surabaya Urban Track (Subtrack) kembali digelar, Minggu (22/1/2023) pagi. Kali ini, Subtrack yang diselenggarakan Komunitas Begandring Soerabaia dan Fakultas Ilmu Budaya Unair mengambil tema “Jejak Tionghoa Peranakan di Surabaya” ini menyisir kawasan Pecinan.
Sebanyak 35 orang mengikuti kegiatan yang dilaksanakan bertepatan dengan perayaan Imlek 2023 ini. Mereka yang mengikuti jalan-jalan sejarah berasal dari Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan sekitarnya.
Acara diawali dari Kelenteng Hok An Kiong yang berada di Jalan Coklat Nomor 2. Salah satu objek bersejarah. Kelenteng tertua di Surabaya yang dibangun pada tahun 1830.
Kelenteng ini dipenuhi ornamen khas Tionghoa kuno yang didominasi warna merah dan tulisan tinta emas. Pada dinding ruang utama terdapat cerita bergambar Sam Kok, yaitu cerita tiga kerajaan melegenda di tanah Tiongkok.
“Kelenteng Hok An Kiong cukup unik karena memiliki 22 altar dewa. Jumlah ini terbilang paling banyak dibanding kelenteng lain di Surabaya,” terang Nanang Purwono yang memandu peserta Subtrack.
Di Kelenteng Hok An Kiong, patung-patung dewa tersebar di dua ruang utama dan ruang samping. “Kelenteng ini sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Surabaya pada tahun 2012,” jelas Nanang.
Jelajah berikutnya mengunjungi Pasar Bong. Pasar ini dulunya bekas kuburan China. Para peserta diajak blusukan di pasar yang menjadi jujukan masyarakat yang ingin membeli oleh-oleh untuk haji dan umrah.
Di Pasar Bong, para peserta agak surprise setelah melihat ada beberapa kuburan dan bekas kuburan yang sudah ditindih bangunan. Juga ada satu makam yang masih dipelihara, yakni Makam Buyut Tonggo atau Syech Sin Abdurrahman.
Makam Buyut Tonggo ini berada di sebuah bangunan di lorong sempit. Bangunanya dari batu bata. Ada dua patok nisan yang membujur utara-selatan. Tidak ada kesan makam ini sebagaimana model leluhur makam etnis Tionghoa yang berbentuk bong.
“Kenapa dinamakan Buyut Tonggo, konon menurut cerita masyarakat Syech Sin Abdurrahman ini suka nonggo (datang ke tetangga),” ujar TP Wijoyo, pemandu yang dikenal pakar perpundenan ini.
Dari sana perjalanan dilanjutkan ke jalan Kembang Jepun yang dikenal sebagai pusat perdagangan dari zaman ke zaman. Di sana, Subtrack memasuki gedung kolonial yang dulu pernah dipakai Uni Bank dan kini ditempati Radar Surabaya.
Bagunan gedung eks Uni Bank masih kokoh dan eksotik. “Dulu, tempat ini menjadi kantor redaksi Jawa Pos. Masa itu, Pak Dahlan Iskan sering tidur-tiduran di meja besar di bawah. Banyak yang gak tahu kalau beliau adalah bos Jawa Pos,” ujar Agus Wahyudi yang pernah belasan tahun menjadi jurnalis Radar Surabaya.
Selanjutnya Subtrack menyisir Jalan Karet, jalan tertua di kawasan Pecinan. Letaknya ditepian Kalimas yang dikenal sebagai jalur urat nadi perekonomian, perdagangan, perhubungan dan pembangunan.
Di Jalan Karet inilah, para peserta diajak mengunjungi rumah-rumah peradaban kuno etnis Pecinan. Di antaranya Rumah Abu Han, The dan Tjoa.
Khusus di Rumah Abu Han, digelar kelas sejarah. Ada sesi presentasi yang berisi materi-materi sejarah terkait yang tematik. Presentasi ini disampaikan tim Begandring Soerabaia yang dikomandoi Yayan Indrayana.
“Bagus sekali. Melalui cara ini belajar sejarah jadi lebih menyenangkan. Belajar sejarah sambil ngamati objek-objek bersejarah,” tutur Ali Budiono, ketua Numismatik Jawa Timur yang baru kali pertama ikut Subtrack. (tim)
kegiatan ini sangat bagus sekali apalagi dengan tujuan mengetahui dan memahami pluralisme sehingga membuat rasa persatuan dan ke bhinekaan kita semakin tinggi
Keren pak… Terus dikembangkan lagi pak..
Biar anak² muda pengetahuan nya bertambah tentang sejarah keren keren….
Mengunjungi rumah abu leluhur menjadikan daya tarik bagi para keturunan yg ingin mengetahui sejarah dan perkembangan turunan, karena menghormati leluhur bisa menjadi pelajaran yg baik bagi ketrurunannya