Subtrackers Begandring Temukan Rumah Lahir Perempuan-Pejuang Surabaya, Isbandijah Soengkono

Begandring.com-Rumah lahir Isbandijah Soengkono di Plampitan pernah menjadi Dapur Umum selama masa pertempuran 10 November 1945. Subtrackers Begandring secara tak sengaja menemukan fakta itu bersama-sama, lantas mendengarkan penuturan ahli waris.

Fakta menarik

Agenda Subtrack edisi Plampitan (14/01) menemukan fakta menarik. Ketika Kuncarsono, pemandu Subtrack, menjelaskan langgam arsitektur dan ornamen di bangunan rumah milik warga, tiba-tiba si empunya rumah menyampaikan informasi mengejutkan.

“Dulu rumah ini jadi tempat masak ibu-ibu pas perang 10 November 45.”

Seketika rombongan subtrack pun terkejut. Penjelasan tentang ornamen terhenti. Hening. Pemilik rumah, Pak Nono, kemudian melanjutkan ceritanya. Bahwa dulu Pak Sungkono dulu kerap datang ke rumah yang di fasadnya hingga kini tertulis nama pemiliknya: Ismanggoel Wirjo Oetomo.

Kuncar pun bertanya, “Pak Sungkono maksudnya Pak Mayjen Sungkono?”

Pak Nono mengangguk.

“Lho, apa hubungannya Pak Sungkono dengan rumah ini?” Kuncar semakin penasaran.

Dengan mantap Nono menjawab, “Ini kan rumahnya Bu Isbandijah, istrinya Pak Sungkono. Ismanggoel ini nama ayahanda Bu Isbandijah.”

Nono lantas masuk rumah sebentar, lalu tak lama kemudian kembali membawa sebingkai pigura foto. Yakni, foto Mayjen Soengkono dan Ibu Isbandijah Soengkono bersama dua anaknya yang masih balita.

Pak Nono menunjukkan foto keluarga Mayjen Soengkono dan Bu Isbandijah Soengkono kepada para Subtrackers yang dipandu oleh Kuncarsono Prasetyo (kanan). Foto: begandring.com
Pak Nono menunjukkan foto keluarga Mayjen Soengkono dan Bu Isbandijah Soengkono kepada para Subtrackers yang dipandu oleh Kuncarsono Prasetyo (kanan). Foto: begandring.com

Untuk diketahui, Pak Nono adalah suami dari Bu Wiwik, keponakan Ibu Isbandijah Soengkono. Keduanya masih hidup dengan sederhana di rumah tersebut hingga kini.

Achmad Zaki Yamani, Ketua Begandring Soerabaia yang juga berada di lokasi pun terkejut. Zaki yang menekuni bidang revolusi kemerdekaan 10 November itu pun lantas menjelaskan sosok Isbandijah kepada para anggota Subtrackers lainnya.

“Beliau adalah gadis pejuang yang diawali dengan keikutsertaannya sebagai anggota organisasi Joshi Seinen Shuishintai (Barisan Pelopor Wanita). Organisasi ini didirikan di Jakarta dan anggotanya merupakan para pemuda putri dikirim dari daerah masing-masing,” ujar Zaki.

Zaki menuturkan, Isbandijah salah satu pemudi putri Surabaya yang dikirim ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan tersebut. Mereka yang dikirim ke Jakarta dididik agar menjadi pembangun rasa kebanggan bagi kaum perempuan. Anggota yang hadir diberikan pendidikan persiapan mental dalam mengembang tugas sebagai pemuda putri dalam barisan pelopor.

Baca Juga  Napak Tilas Gubeng, Saksi Bisu Pertempuran Surabaya

Catatan

Dalam beberapa catatan, Zaki menjelaskan Isbandijah banyak disebut turut serta dalam Pos Palang Merah dan dapur Umum PPRI yang dibentuk dalam kota Surabaya bersama Loekitaningsih, tokoh perempuan pejuang lainnya. Isbandijah memimpin pos Palang Merah dan dapur umum yang berada di Jalan Plampitan.

Achmad Zaki Yamani (paling kanan) spontan menjelaskan sosok dan peran Ibu Isbandijah Soengkono kepada para Subtrackers. Foto: Begandring.com
Achmad Zaki Yamani (paling kanan) spontan menjelaskan sosok dan peran Ibu Isbandijah Soengkono kepada para Subtrackers. Foto: Begandring.com

“Beliau menikah dengan Kolonel Soengkono pada tanggal tanggal 8 Januari 1946, yang juga merupakan guru olahraga beliau saat bersekolah di HIS Bubutan dulu,” ujar Zaki.

Saat pertempuran 10 November 1945, Soengkono memang berpangkat kolonel. Isbandijah Soengkono lahir 25 Agustus 1924 di Plampitan-Surabaya, dan meninggal 27 Desember 2012, dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata-Jakarta.

Subtrackers edisi Plampitan. Foto: Begandring.com
Subtrackers edisi Plampitan. Foto: Begandring.com

Temuan rumah lahir Isbandijah Soengkono memperkuat fakta Plampitan sebagai kampung yang sarat dengan tokoh-tokoh penting di era pergerakan hingga revolusi kemerdekaan di Surabaya. Rumah-rumah itu masih relatif bertahan, dan dihuni oleh generasi ketiga dan keempat dari si empunya rumah.

Ayu Setya, seorang peserta Subtrack menyatakan kesannya terhadap temuan itu. “Wah, baru ini ikut jalan-jalan. Tadinya niat cuman pengen tahu kampung ini, nggak tahunya malah ikut nemuin fakta sejarah yang penting. Berasa jadi ikutan ngeriset. Ndak expect sih bakal dapat experience keren kayak begini,” ujarnya. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *