Mengungkap kisah dan cerita klasik Surabaya sungguh menarik. Sebab, banyak warga kota, utamanya kalangan milineal, tidak tahu dan terputus dari sejarah klasik kotanya. Terlalu sedikit dari mereka yang tahu tentang masa lalu Kota Surabaya, terlebih mengenai sistem pemerintahannya.
Wujud dari sistem pemerintahan suatu daerah, misalnya, Surabaya adalah abstrak. Tidak kelihatan. Dari keabstrakan itu setidaknya akan bisa menjadi nyata bila kita dapat melihat peninggalan-peninggalan bersejarah.
Lantas, apakah masih ada wujud peninggalan dari sistem pemerintahan masa lalu Surabaya yang bersifat klasik? Jawabannya ada. Seberapa banyak warga kota mengetahui itu? Tidak banyak.
Dengan makin sedikitnya atau bahkan tidak adanya warga kota yang mengerti sejarah kotanya, cepat atau lambat warga kota terhempas dari sejarah kotanya.
Mereka tidak bisa lagi mengenal sejarah kotanya. Mereka kehilangan jati diri kotanya. Kota Surabaya akan menjelma menjadi sebuah kota baru yang tidak memiliki ruh kearifan lokal dan sejarah. Warga kota tidak tahu bahwa Kota Surabaya pernah memiliki sistem pemerintahan yang berbentuk kabupaten.
Bentuk pemerintahan kabupaten bagi Surabaya adalah salah satu atau secuil dari bentuk sejarah klasik Surabaya. Bentuk penerintahan kadipaten adalah cuilan lain.
Jika sekarang sistem pemerintahan Surabaya adalah Pemerintah Kota Surabaya, maka sebelumnya pernah menjadi Kabupaten Surabaya dan yang lebih tua, Kadipaten Surabaya.
Selain itu, Surabaya juga pernah berbentuk karesidenan. Tetapi, untuk bentuk karesidenan ini umumnya dikepalai orang Belanda. Sementara kadipaten dan kabupaten dikepalai oleh bangsa pribumi (binnenbestuur) atau pemerintahan pribumi.
Adipati dan Bupati Surabaya
Pada abad 15, Sunan Ampel pernah disebut sebagai seorang bupati. Ini karena dia memimpin suatu daerah yang bernama Ampel Denta, seiring dengan upaya penyebaran ajaran agama Islam.
Namun, sejarawan Belanda H.J. De Graaf dalam risalah sejarah dan budaya “Soerabaya in de XVII Eeuw van Koninkrijk Tot Regentschap” atau Surabaya dalam abad ke XVII dari kerajaan sampai kabupaten, menyebut bahwa keberadaan seorang bupati di Surabaya baru ada pada abad ke 17.
Abad 17 adalah era ketika Surabaya mulai dikuasai Mataram yang ditandai dengan takluknya Surabaya pada 1625. Adipati Jayalengkara adalah Adipati terakhir Surabaya (1580 –1630). Lima tahun pascakejatuhan Surabaya, 1630, Adipati Jayalengkara wafat dan selanjutnya digantikan anaknya, Pangeran Pekik.
Namun, Pangeran Pekik dipaksa untuk tinggal di Mataram dan dinikahkan dengan saudari Sultan Agung, Ratu Pandan Sari. Menurut De Graaf, Pangeran Pekik berperan besar dalam memperadabkan Keraton Mataram.
Masih dalam catatan De Graaf, para penguasa Surabaya kala itu memiliki gelar adipati sebagai pimpinan wilayah yang berbentuk kadipaten.
Di awal abad 16, para penguasa Surabaya yang sudah menjadi muslim sejak penyebaran Islam oleh Sunan Ampel, mengaku sebagai keturunan dari Sunan Ampel (1401-1481), salah satu dari Sembilan Wali (Wali Songo) yang terkenal dengan penyebaran Islam di Jawa.
Pasca kadipaten dengan penguasa yang disebut Adipati adalah kabupaten dengan kepala daerah yang bernama bupati. Ada sejumlah nama bupati Surabaya yang jejaknya dapat diketahui dari makam-makam yang tersebar di Surabaya. Di antaranya, makam Bibis, Boto Putih, dan Ampel.
Salah satu bupati Surabaya yang terkait dengan pembangunan Masjid Alun Alun (Kemayoran) adalah Bupati Raden Tumenggung Kromojoyodinoro yang makamnya ada di Bibis, Surabaya. Dari bukti bukti fisik itulah, yakni makam, masjid, prasasti dan eks lapangan Alun Alun Pendopo Kabupaten, jejak keklasikan Surabaya dapat ditelusuri, dikenali dan diungkap.
Dari kronologi sistem pemerintahan masa lalu itulah awalnya Surabaya berbentuk Kadipaten, kemudian Kabupaten, sebelum menjadi Kota Surabaya sampai sekarang. (*)