Istilah DNA umumnya dikaitkan dengan unsur biologis. DNA singkatan dari Deoxyribo Nucleic Acid. DNA, secara biologis, merupakan molekul, yang memuat seluruh instruksi genetik yang dibutuhkan oleh semua organisme dalam seluruh siklus hidupnya.
Informasi genetik, yang terdapat dalam DNA, diturunkan oleh orang tua atau induk ke generasi berikutnya melalui reproduksi. Dalam perkembangan kota, reproduksi ibaratnya proses kehidupan.
Dalam hal ini, istilah DNA tidak hanya dipakai untuk mengurai genetika organisme, tetapi juga dipakai untuk membedah anatomi genetika peradaban kota. Ini sebuah upaya dalam menganalogikan DNA untuk mengetahui sejarah kota itu.
Kota Surabaya misalnya, yang sekarang menjadi kota besar dengan luas sekitar 335 km persegi, tentu melalui proses yang berawal dari sebuah struktur wilayah yang kecil. Kini, Surabaya sebagai kota besar di era modern bermula dari sebuah unit wilayah yang kecil.
Sebuah perkumpulan pegiat heritage, South East Asia Cultural Heritage Alliance (SEACHA), tertarik membahas DNA perkotaan sebagai upaya mengenali sejarah suatu kota.
Pembahasan, yang digelar pada 29 April 2023 ini, membahas tema “Cooling the Earth with Cultural Wisdom” (Menyejukkan Bumi Dengan Kearifan Budaya).
Pembicaranya, Supitcha Sutthanonkul dengan sub tema “Heritage Place DNA: Holistic Approach for Sustainable Conservation of Culture and Nature” (DNA Warisan Pusaka: Pendekatan Holistik untuk Pelestarian Budaya dan Alam yang Berkelanjutan).
Menurut Undang Undang RI Nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan bahwa pelestarian nilai nilai Cagar Budaya dan Kebudayaan yang berkelanjutan masuk dalam model upaya pemajuan Kebudayaan.
Selanjutnya dalam rangka pemajuan itu, kita harus mengenal apa saja yang menjadi obyek pemajuan nya. Ada 10 objek pemajuan Kebudayaan sebagaimana tercantum pada UU Nomor 5/2027 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Sepuluh obyek itu adalah 1. Tradisi Lisan, 2. Manuskrip, 3. Adat Istiadat, 4. Ritus, 5. Pengetahuan Tradisional, 6. Teknologi Tradisional, 7. Seni, 8. Bahasa, 9. Permainan Rakyat dan 10. Olahraga Tradisional.
Sementara, ketika mau mengenal sejarah (history), warisan pusaka (heritage), budaya (culture) dan alam (nature) suatu kota berdasarkan DNAnya, setidaknya ada dua aspek yang harus dan dapat dikenali terlebih dahulu.
Yakni aspek fisik, yang menyangkut benda, struktur dan bangunan yang menggambarkan anatomi tubuh. Sedangkan aspek non fisik, yang menyangkut semangat, jiwa, serta nilai nilai yang menggambarkan ruh.
Di manakah DNA Kota Surabaya?
Kota Surabaya ada (terlahir) tidak langsung sebesar sekarang dengan luas wilayah 335 km persegi. Tetapi berawal dengan ukuran yang kecil, yang masih berbentuk desa (wanua) atau dusun/pedukuhan (thani) dan berada kala itu berada di tepian sungai.
Berdasarkan Prasasti Canggu (1358), nama Surabaya (Curabhaya) sebagai sebuah desa di tepian sungai (Naditira Pradeca) sudah tertulis di sana. Kini prasasti itu tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
Dari penelusuran Perkumpulan Begandring Soerabaia bahwa naditira pradeca Curabhaya itu diduga di kawasan Peneleh.
Ada pun sumber sumber sejarah yang menjadi dasar dan acuan mengenai letak Curabhaya adalah prasasti Canggu (1358), temuan benda arkeologi Sumur Jobong (1430), dan literasi Er Werd Een Stad Geboren (Von Faber 1953).
Ketiga sumber sejarah itu saling melengkapi dan menunjuk pada satu lokasi yang sama, yaitu Peneleh.
Setelah diketahui bahwa letak awal mula Surabaya itu diduga adalah Peneleh, pertanyaan berikutnya adalah apakah ada petunjuk DNA, yang menghubungkan Surabaya sekarang dengan asal usulnya, Peneleh?
Bukti DNA Berupa Semangat
Semangat itu adalah sesanti “Sura ing Baya”. Sesanti adalah semangat dan spirit. Semangat dan spirit ini adalah ruh. Ruh, yang hingga sekarang membuat Surabaya hidup dan ruh yang membuat Surabaya memiliki warna tersendiri dan identitas.
Secara kekinian, identitas dan semangat kota Surabaya ini adalah WANI, yang berarti berani. Bahkan holigan sepakbola Surabaya memiliki jargon Bondo Nekad (bermodal kenekatan yang singkat Bonek dan bermakna berani). Mereka berani menghadapi resiko, tantangan dan bahaya.
Ternyata semangat berani ini adalah titisan dari makna yang menjadi sesanti kota Surabaya. Sesanti itu adalah “Sura ing Baya”, bahasa Sansekerta yang berarti Berani Menghadapi Bahaya.
Sura berarti orang pemberani dan Baya berarti menghadapi bahaya atau tantangan. Jadi sesanti Sura ing Baya berarti berani menghadapi bahaya.
“Sura ing Baya” adalah sifat berani yang telah lama dimiliki orang Surabaya. Sejak kapan?
Diketahui bahwa Peneleh, yang berdasarkan sumber sumber sejarah dapat dikatakan sebagai awal mula kota Surabaya, karena keberadaannya sudah dikenal pada 1270 (Von Faber) dan 1358 (Prasasti Canggu). Peneleh yang sebelumnya dikenal dengan nama Glagah Arum, adalah tempat dimana para Jawara atau orang orang pemberani tinggal. Mereka adalah orang orang yang berani (Sura ing Baya).
Pada 1270 M mereka membantu Raja Kertanegara (Singasari) dalam menumpas pemberontakan Kanuruhan. Atas keberhasilan itu, Raja Kertanegara membuka lahan permukiman baru di utara Peneleh dengan nama Surabaya pada 1275 (Von Faber).
Di Pandean sejak kepemimpinan walikota Tri Rismaharini dibentuk sebuah komunitas yang bernama “Laskar Suramadu Jawara”. Ini menarik. Mengapa mereka menamakan komunitas ini dengan nama dengan kata Jawara?
Agus Santoso, warga Pandean I, yang tergabung dalam Komunitas Laskar Suramadu Jawara, mengatakan bahwa penggunaan nama “Jawara” bukan karena ia menyadari secara historis bahwa kampungnya adalah tempat para Jawara bermukim sejak era klasik.
Digunakannya nama Jawara hanya terkait dengan tempat dimana para penggerak bangsa pernah tinggal.
Pun demikian yang secara kultural, ternyata di wilayah Peneleh menjadi dapur pergerakan nasional. Di awal 1900-an, disanalah tokoh tokoh pergerakan berkumpul, berfikir dan berbuat demi bangsa ini.
Ada HOS Tjokroaminoto, Tjokrosudarmo, Samanhudi, Semaun, Alimin, Musso, Sukarno, Kartosuwiryo, bahkan Tan Malaka. Di kediaman Tjokroaminoto di Peneleh inilah, jiwa jiwa nasionalis tumbuh meski masing masing memiliki ideologi yang berbeda beda. Mereka menentang konialisme melalui ideoginya masing masing.
Selain itu di Kampung Plampitan yang masih masuk kelurahan Peneleh juga lahir Roeslan Abdoel Gani pada 1914. Pada awal abad 20 itu juga telah tumbuh gerakan pemuda dan cendikia dibawah komando dokter Soetomo, salah satu pendiri Perkumpan Boedi Oetomo (1908).
Para cendikiawan Surabaya itu adalah RTM. Sunario Gondokusumo, RM Soenjoto, R. Soejono dan Achmad Jais. Untuk mengenang jasa jasanya, nama para tokoh cendikia itu diabadikan dalam nama jalan jalan di wilayah kelurahan Peneleh.
Mereka, orang orang dalam lintas zaman ini, mewarisi satu semangat yang sama, yaitu berani. Semangat berani ini ternyata masih menjadi semangat kota Surabaya hingga sekarang. Sayangnya, sesanti “Sura ing Baya” tidak lagi tersematkan pada logo kota Surabaya. Berbeda dengan sesanti “Bhinneka Tunggal Eka” sebagai sesanti bangsa Indonesia yang masih tergantung di dada lambang negara, Garuda.
Untuk melestarikan nilai nilai itu, DNA Surabaya, kiranya perlu menyematkan sesanti “Sura ing Baya” pada logo kota Surabaya yang bergambar ikan Hiu dan Buaya serta Tugu Pahlawan.
Bukti DNA Secara Fisik
Kota Surabaya memang menyimpan jejak sejarah yang banyak dan letaknya sporadis. Di antara banyak tempat itu, hanya ada satu tempat yang memiliki bukti bukti dan fakta sejarah mulai dari era klasik, kolonial, pergerakan dan kemerdekaan.
Kalau disingkap bahwa setiap jejak sejarah itu berasal dari peristiwa masa lalu yang mengandung nilai nilai luhur. Bukti bukti sejarah berdasarkan eranya dapat dilihat dari peninggalan sejarah yang masih ada. Salah satunya adalah benda arkeologi Sumur Jobong di Pandean I.
Sumur kuno ini ditemukan pada 2018 dan setelah dilakukan uji karbon di Australia, diketahui bahwa sumur ini sudah ada pada 1430. Uji karbon ini dilakukan dengan mengambil sampling fragmentasi tulang manusia yang berada di dalam sumur dan di sekitar sumur. Menurut seorang antropolog Universitas Airlangga Surabaya, Delta Bayu, bahwa sumur Jobong menjadi sarana ritual penguburan.
Sumur adalah bukti nyata peradaban yang mana sumur menjadi bagian dari kebutuhan domestik maupun kebutuhan ritual masyarakat. Sumur Jobong adalah satu-satunya temuan arkeologi in situ di Surabaya. Sumur Jobong kuno itu menunjukkan pernah adanya peradaban dan permukiman di Pandean, Peneleh.
Bukti lainnya adalah makam warga Eropa di Surabaya yang membuktikan bahwa Surabaya pada saat itu, di abad 18 dan 19, merupakan kota kosmopolitan. Yaitu kota yang dihuni oleh beragam kebangsaan. Dari makam makam di Peneleh itu dapat diketahui kebangsaan apa saja yang pernah menghuni Surabaya. Ada orang Belanda, Inggris, Jerman, Italia, Perancis, Armenia, serta warga Cina.
Selain bangsa Asing, Surabaya dalam perkembangannya, yang berawal dari desa kecil di tepian sungai, terus berkembang ke utara mengikuti sedimentasi sungai secara alami. Dengan ketersediaan lahan baru yang semakin ke utara, Surabaya secara berangsur semakin multi etnis.
Dari kawasan Peneleh yang merupakan hunian warga asli lokal (Jawa), semakin ke utara datanglah imigrant Cina dan jadilah kawasan Pecinan. Di utara Pecinan ada kampung Melayu dan Kampung Arab. Di seberang Kampung Pecinan adalah warga etnis Eropa.
Dari bercokol nya Surabaya, maka semakin nyata lah Surabaya sebagai wadah meleburnya keragaman kebangsaan. Surabaya menjadi wadah multikulturalisme. Apalagi secara alami Surabaya berada di tepian air baik sungai maupun laut. Kondisi alam inilah yang menjadikan sifat orang Surabaya menjadi terbuka dan mudah bergaul serta egaliter.
Tidaklah heran apabila wujud karya arsitektur di Surabaya juga sangat beragam. Corak arsitekturnya merupakan perpaduan dan akulturasi budaya. Ada akulturasi budaya Islam dan Hindu. Ada pula alkturasi budaya Jawa dan Eropa maka jadilah budaya indies. Termasuk adanya karya arsitektur yang memadukan antara budaya (culture) dan alam (nature).
Alkultursi budaya adalah bagian dari identitas Surabaya. Karenanya rasa toleransi sekaligus menjadi keragaman sifat dari orang orang Surabaya yang berbeda beda. Keragaman lokal inilah yang selanjutnya menopang identitas keragaman bangsa. Indonesia adalah bangsa yang majemuk tetapi tetap satu.
Surabaya menjadi identitas Indonesia. Surabaya adalah DNA nya Indonesia. Sedangkan DNA Surabaya adalah turunan dari DNA, yang sudah ada di Peneleh.
Sebagai bukti otentik dan ilmiah adalah bahwa salah satu keluarga di Pandean Gang I, secara garis DNA, berdasarkan uji DNA, adalah keturunan orang pandean yang meninggal di tahun 1430. Fakta ini diambil berdasarkan hasil uji DNA antara fragmentasi tulang dan salah satu warga Pandean. Hasil uji DNA menunjukkan 99 persen identik.
Pentingnya Tahu DNA Kota Surabaya
Semua tempat tempat heritage yang terdiri dari sejarah, budaya dan kondisi alam akan menjadi suatu identitas (ciri khas) dan keistimewaan bagi mereka yang tinggal di sana.
Nilai nilai (sejarah, budaya dan bahkan alam) yang tertanam di sana dan tertransformasikan secara turun-temurun dari generasi ke generasi mengandung DNA dari tempat tersebut,
Maka dengan memahami DNA dari tempat itu (Peneleh), kita akan bisa mengenal nilai nilai lokal, kebijakan, cara cara hidup dan pengetahuan leluhur. Mengenali nilai nilai leluhur menjadi poin, yang diamanahkan oleh UU Pemajuan Kebudayaan melalui 10 Obyek Pemajuan Kebudayaan.
Dengan mengaktualisasikan 10 obyek Kebudayaan, yang notabene sudah banyak yang hilang tertelan zaman, berarti kita diajak untuk ingat dan mengenal serta menerapkannya dalam tindakan di mada sekarang untuk masa depan.
Tindakan ini semata mata untuk memperkuat ketahanan dan kapasitas suatu daerah atau bangsa agar bisa adaptif terhadap kemungkinan perubahan yang pasti terjadi. Akhirnya dengan mengetahui DNA kota Surabaya, yang merupakan dasar jati diri dan kekhasan Surabaya, kemajuan kota di masa depan masih akan diwarnai oleh DNA leluhurnya.
Ketika Surabaya masih bisa mengenali DNA-nya, maka Surabaya memberi kontribusi pada warna bangsa dan pada gilirannya ketika bangsa Indonesia menjadi bagian dari dunia internasional, bangsa Indonesia memiliki kekhasannya. (nanang purwono)