Napak Tilas Perjalanan HP Berlage di Nusantara

Hendrik Petrus (HP) Berlage dikenal sebagai Bapak Arsitektur modern di Eropa pada awal abad 20 dan salah satu karya desain monumental dunianya berada di Kota Surabaya. Karya itu lebih dikenal dengan nama Gedung Singa.

Meski desain arsitekturnya sudah direalisasikan pada 1901, namun HP Berlage sendiri baru sempat melihat dunia Indie (Indonesia) baru pada 1923. Ia berangkat dari Eropa pada 28 Februari 1923 dengan menggunakan kapal uap selama 3 minggu dan melanglang nusantara selama 3 bulan.

Dibawah ini adalah ringkasan kisah perjalanannya di Hindia Belanda yang dikutip dari laman BerlagediNusantara yang merefleksikan perjalanan HP Berlage dan sekaligus menapak tilasi perjalanan pada 1923 itu.

Pada 2023, perjalanan bersejarah itu genap 100 tahun. Kini, napak tilas yang dilakukan oleh TiMe Amsterdam yang berkolaborasi dengan tim di Indonesia, di antaranya Konsorsium Kota Tua Jakarta; Ikatan Arsitek Indonesia; Universitas Indonesia, Faculty of Engineering, jurusan Arsitektur; Architrace Universitas Indonesia, Kampus Merdeka Indonesia Jaya dan Begandring Soerabaia, bisa menjadi sebuah refleksi untuk langkah langkah proyeksi ke depan yang bermanfaat bagi kedua negara antara Indonesia dan Belanda.

Kisah perjalanan HP Berlage ini disajikan dan dikelompokkan berdasarkan kegiatan bulanan mulai Maret, April dan Mei 1923.

 

Berikut timeline pada Maret 1923:

27 Maret 1923

Tepat pukul 17:00 pada 28 Februari 1923, Hendrik Petrus Berlage (1856 -1934), salah satu arsitek ternama Belanda, mulai mewujudkan mimpi terbesarnya. Yaitu bertualang ke timur di Hindia Belanda (sekarang Indonesia).

Perjalanan dari Belanda (Eropa) ke Hindia Belanda ditempuh dengan berlayar selama tiga minggu. Kota pertama yang disinggahi adalah Batavia. Dari Batavia ia kemudian berkeliling negeri dengan mengunjungi Jawa, Bali dan Sumatra selama tiga bulan.

Selama itu ia naik kereta, mobil dan kapal. Selama itu pula Ia mengabadikan petualangannya dalam catatan perjalanan yang memikat dan catatan itu diberi judul ‘Mijn Indische Reis’ (‘Perjalanan Hindiaku’).

Artikel yang ditulis di Begandring.com ini menceritakan perjalanan Berlage selama tiga bulan dan artikel ini ditulis bersumber dari BerlagediNusantara, sebuah proyek yang diinisiasi oleh TiMe Amsterdam sebagai apresiasi terhadap jasa jasa HP Berlage yang telah berbagi pengalaman selama kunjungannya di Hindia Belanda.

Kunjungan pada 1923 ini dicatat dan dijadikan buku yang berjudul “Mijn Indische Reis” dan diperbaharui oleh tim TiMe Amsterdam dalam napak tilas pada 2023.

Baca Juga  Koin-Koin Langka di Pameran The History of Surabaya

 

Napak Tilas Perjalanan HP Berlage di Nusantara

 

1 Maret 1923 : Di atas kapal SS Grotius

Berlage sudah berada di atas kapal SS Grotius. Ia punya banyak waktu di atas kapal. Lamanya tiga minggu.

Selama di atas kapal, waktu yang banyak itu, ia manfaatkan untuk membaca buku buku untuk menambah pengetahuannya tentang seni dan arsitektur Hindu-Jawa. Selain itu ia juga mulai belajar sedikit Bahasa Melayu.

“Dan kemudian saya merasa perlu untuk setidaknya memperoleh sedikit pengetahuan tentang bahasa Melayu, meskipun hanya sekedar untuk dapat menyapa ‘pelayan kabin’ dengan beberapa kata yang ramah.” begitu pikir Berlage.

 

5 Maret 1923 : Terusan Suez

Pada tanggal ini, kapal yang ditumpangi Berlage tengah melewati Terusan Suez,
sebuah kanal yang membelah Semenanjung Sinai dan pembangunan kanal itu dianggap sebagai mahakarya teknik pada masa itu.

Berlage begitu menikmati keindahan alam di sepanjang kanal baik siang dan malam.

“Betapa nikmatnya pelayaran ini, juga pada siang hari. Pemandangan alamnya, bagai layar panggung yang bergerak, sungguh mengagumkan. Keagungannya bahkan membuat bisu keagungan pegunungan tinggi.” begitu gumam Berlage.

15 March 1923 : Samudra Hindia

Pada 15 Maret, perjalanan Berlage sudah dua minggu. Selain membaca buku buku, ia merasa dekat dengan membaca keagungan Tuhan. Semua itu ada di depan matanya. Ia tak henti hentinya bersyukur dan mengosongkan pikiran untuk memberi ruang guna kontemplasi.

Ia sangat menikmati perjalanan lautnya, termasuk menikmati pemandangan alam, utamanya ketika matahari terbenam di ufuk barat.

“Samudera Hindia mungkin samudera yang paling indah untuk pelayaran […]. Yang paling saya nikmati adalah terbenamnya matahari, seperti yang kadang-kadang terlihat di gambar-gambar Jepang dan Tionghoa. Apakah seniman-seniman Barat pernah mampu menggambarkan alam layaknya para pelukis hebat seperti ini?” tanya Berlage dalam hati.

Napak Tilas Perjalanan HP Berlage di Nusantara

16 Maret 1923 : Colombo, Sri Lanka (lalu Ceylon)

Tanggal ini Berlage sampai di Colombo. Di sana ia berhenti sebentar. Sri Lanka adalah kota Asia pertama yang Berlage lihat. Ia tidak bermimpi melihat Asia. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Ia pun terlena dengan kerimbunan tropis.

“Tanaman, hehijaunan dan betapa indah hijaunya itu. Kehijauan itu terbentang menyelubungi semua: tiada sepetak tanah pun tampak. Bagaikan selimut di mana lubang-lubang ngengat pun tidak ditemukan. Semua tertutupi kehijauan. Pulau-pulau mengapung di atas air seperti karangan bunga hijau. Saya memahami kepenyairan sabuk jamrud Multatuli.”

 

19 Maret 1923. Sabang, Weh

HP Berlage tiba di Sabang, Pulau Weh. Pulau kecil yang terletak di utara ujung Sumatra itu adalah perhentian terakhir sebelum rute Singapura – Batavia. Disana Berlage bertemu seorang penumpang bernama Doctors van Leeuwen.

Baca Juga  Gedung Singa Berlage: Sintesis Eropa dan Nusantara

Sesama penumpang Doctors van Leeuwen mengajak Berlage untuk berjalan-jalan ke sebuah danau di gunung. Tentu ini menjadi pengalaman pertama Berlage di dunia flora dan fauna tropis. Ia menenggak air kelapa. Segar. Pernah di sebuah bar di Tiongkok, ia pertama kali mencicipi air kelapa sebagai pelepas dahaga yang menyegarkan.

“Dalam perjalanan pulang saya mencoba membuat sketsa pertama, tetapi masih belum berhasil. Pekerjaan yang sangat sulit, ketika menggambar sambil berdiri. Semakin sulit lagi karena kertas menjadi basah oleh kelembaban udara dan saya tidak biasa dikerumuni oleh sekelompok anak-anak Tionghoa yang penasaran.”

Ketika itu, anak-anak terus mengamati Berlage yang sedang membuat sketsa, sangat serius ‘seperti melihat makhluk gaib’

”Di kemudian hari saya mendapatkan perhatian diam-diam yang serupa di mana-mana. Namun perhatian itu lebih ditujukan kepada saya pribadi daripada karya-karya saya.”

 

23 Maret 1923 | Tanjung Priok, Batavia (Jakarta)

Pada 23 Maret 1923 Berlage akhirnya tiba di Batavia—ibukota dari Hindia Belanda (sekarang Jakarta), setelah menghabiskan lebih dari tiga minggu di samudra. Inilah Hari yang nyata bagi Berlage bisa melihat Nusantara. Sebuah petualangan hidup Berlage dimulai.

Saat Kapal SS Grotius akhirnya berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia, sebuah mobil telah menanti Berlage untuk mengantarnya ke Menteng, sebuah kawasan perumahan kelas atas yang baru. Di sini ia menginap di kediaman arsitek, Louk Blankenberg dan istrinya, Ernie.

Napak Tilas Perjalanan HP Berlage di Nusantara

“Jalan dari Tanjung Priok ke Batavia, di sepanjang kanal, akan terasa seperti di Belanda, andaikata di sana-sini mahkota pohon palem tidak menunjukkan ‘yang lain’ di atas semak-semak. Namun lambat laun, sambil berjalan menyusuri jalan-jalan Batavia, tiba-tiba semuanya terasa aneh, sejauh kita sebagai penduduk bumi masih bisa dikejutkan oleh hal-hal yang tidak diketahui. Sebab, sebuah perjalanan tidak lebih dari pembuktian gambar-gambar dari foto dan film; dan setelah melihat secara langsung, diam-diam tanpa sadar kita bergumam ‘oh ya.’”

 

24 Maret 1923 | Batavia (Jakarta)

Sejak menginjakkan kaki di Batavia, Berlage mulai menulis tentang Batavia, kota tua Jakarta. Di peta kota, ia melihat elemen khas Belanda seperti jembatan gantung dan kanal. Ia sangat kritis terhadap arsitektur Belanda yang cukup baru ini. Keresahan ini datang dari prinsip arsitekturnya, antara lain imitasi desain dan penggunaan ornamen budaya Timur secara semena-mena.

Baca Juga  Catatan: Chemistry Itu Mulai Bekerja. Kok Bisa? 

“Citra kota yang paling khas secara nasional adalah ‘Kali Besar’, bagian dari Ciliwung yang telah dinormalisasi menjadi kanal, dengan jembatan gantung ganda dan pintu air yang melindungi ancaman dari laut. Tipe tersebut mirip dengan gereja tua di pedesaan Portugis, yang juga digunakan gereja Belanda setelah yang aslinya di alun-alun balai kota, terbakar.

Keduanya diresapi semangat Belanda. Kanal mengingatkan kita pada Belanda. Sementara gereja – baik di luar maupun di dalamnya, pada sinagoga besar di Jonas Daniël Meyerplein, Amsterdam.”

Napak Tilas Perjalanan HP Berlage di Nusantara

26 Maret 1923 | Kawasan Pecinan, Batavia (Jakarta)

Di Batavia, beberapa rekan arsitek muda mengajak Berlage berkeliling kota. Mereka mengunjungi kawasan kolonial, kawasan Pecinan dan kawasan kampung.

“Perjalanan melalui kota yang berantakan adalah suatu kenikmatan yang aneh. Keramaian dan warna cerah yang oriental, terutama di kawasan Cina, dengan rumah-rumah yang selalu berwarna merah-hijau dan papan alamat yang selalu berwarna hitam-emas. Rasanya ingin luntang-lantung di antara kerumunan itu untuk mengamati semua dan… menggambarnya.”

 

27 Maret 1923 | Batavia (Jakarta)

Yang paling membuat gusar Berlage sepanjang perjalanan adalah penggunaan material dan furnitur Barat di dalam arsitektur Timur yang otentik. Baginya ini adalah tanda ketidakpedulian kolonial terhadap negeri ini dan budayanya.

“Dengan tujuan memberi sentuhan karakter lokal, Javaansche Bank dari Cuypers dan Hulswit menjadi lemah karena mengungkapkan Renaisans yang dimodernisasi. Ditambah upaya tidak memuaskan dengan memasukkan motif hias Hindu-Jawa”, kata Berlage.

27 Maret 1923 | Batavia (Jakarta)

Semakin hari Berlage semakin antusias menjelajah kota. Berlage menulis catatan harian tentang segala hal yang ia temui, dengan penuh semangat menyerap setiap detail dan menggambarkannya secara teliti dalam jurnalnya.

“Lambat laun saya mulai mengenali dan… mencintai Batavia. Setiap hari dilakukan beberapa kunjungan dan dibuat beberapa sketsa, sehingga saya segera mengetahui ‘jalannya’ dan mulai merasa betah di kota”, kata Berlage.

29 Maret 1923 | Batavia (Jakarta)

Perbedaan mendasar dalam sikap hidup Barat dan Timur, akhirnya memuncak pada cara merenungkan kepribadian, pada pemaknaan ‘aku’ dalam masyarakat.

Inti dari pengertian hidup Barat, yang sudah ada sejak Abad Pertengahan […] dialami oleh Timur sebagai suatu kenisbian. […] ‘Keharusan’ yang adalah suci bagi orang Barat – yang juga adalah inti dari moralitasnya; tidak ada di Timur, baik di Hindia maupun di Cina.” (nanang purwono)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *