Pemasangan papan reklame di Viaduct Gubeng di pertemuan Jalan Kertajaya dan Jalan Sulawesi menjadi sorotan publik. Tak terkecuali kalangan DPRD Kota Surabaya.
Mereka mengkritik keras pemasangan yang dianggap menyalahi aturan perda cagar budaya karena Viaduct Gubeng itu telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
Sementara Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) bersikukuh pemasangan reklame di Viaduct Gubeng itu tidak merusak bangunan cagar budaya. Tidak ada kerangka papan reklame yang menempel pada bidang bangunan mulai dari pangkal bawah hingga atas.
Imam Syafi’i, anggota Pansus Penataan Reklame DPRD Surabaya, memandang pembangunan papan reklame di Viaduct Gubeng itu melanggar. Pasalnya, reklame itu telah menutupi keindahan dan estetika bangunan yang telah menjadi salah satu kriteria dalam penetapan cagar budaya.
“Hal itu sebagaimana tertuang dalam pasal 9 Perda 5/2005 tentang Cagar Budaya Kota Surabaya,” kata Imam Syafi’i.
Karenanya, imbuh politisi Nasdem itu, pemasangan reklame pada Viaduct Gubeng itu harus dikaji ulang. Ia mengkhawatirkan jika kebijakan yang bertentangan dengan aturan ini terus berjalan, bukan tidak mungkin akan ada praktik-praktik yang sama di kemudian hari.
“Ini tidak boleh dibiarkan. Karena reklame di Viaduct Gubeng itu jelas-jelas menutupi bangunan cagar budaya,” kata pria yang pernah menjadi redaktur Jawa Pos dan Pemimpin Redaksi JTV itu.
Dalam rapat TACB Kota Surabaya pada Kamis (23/2/2023) lalu, diusulkan menata ulang penempatan reklame di objek cagar budaya Viaduk Gubeng. Usulan itu adalah melepas aksesoris di depan bangunan yang menjadi peletakan tiang reklame yang kesannya seperti menancap pada badan bangunan.
Sekilas Sejarah Jaringan KA
Jaringan kereta api (KA) masuk Surabaya ditandai dengan dibukanya stasiun kereta api Surabaya Kota (Semut) pada 1878, dan dibukanya jalur Surabaya-Bangil-Pasuruan dengan jarak sekitar 60 km.
Selain untuk sarana angkut penumpang, jaringan kereta api ini juga untuk mendukung sarana angkut komoditi hasil perkebunan berupa gula, kopi, kakao, dan teh.
Di Kota Surabaya, pada jalur selatan, terdapat tiga stasiun. Stasiun paling utara (penghabisan) adalah Stasiun Kota (Semut). Di selatan Stasiun Semut adalah Stasiun Gubeng. Paling selatan adalah Stasiun Wonokromo.
Stasiun kota dibangun persis pada bekas tapal batas kota (Benedenstad) di kawasan Bibis, persis di timur sungai Kalimas. Dalam sejarahnya Stasiun Kota (Semut) ini pernah mengalami perkembangan.
Setelah pembangunan Stasiun Pertama (lama) pada 1878, kemudian stasiun ke dua (baru) didirikan pada 1898. Selanjutnya stasiun pertama (1878) dibongkar. Stasiun pertama berada di sebelah barat. Stasiun ke dua dibangun di sebelah timur.
Nama “Semut” disematkan karena lokasinya berada di Kampung Semut. Sementara nama “Kota” juga digunakan karena lokasi Kampung Semut berada dekat Kota Surabaya.
Di era yang sama, 1878, juga dibangun Stasiun Gubeng. Jaraknya sekitar 6 km di selatan Stasiun Kota. Secara arsitektur, keduanya memiliki langgam yang sama.
Sementara kampung-kampung di luar tapal batas kota belumlah disebut kota, tetapi njaba kota atau luar kota seperti Tunjungan, Ketabang, Gubeng, Darmo hingga Wonokromo.
Seiring dengan berjalannya waktu, Surabaya semakin berkembang. Pertumbuhan ekonomi semakin baik. Pembangunan semakin meluas, khususnya ke arah selatan. Kawasan permukiman di Jaba Kota kian tertata. Infrastruktur kawasan permukiman semakin lengkap.
Ada kantor kantor pemerintahan, rumah sakit, gereja, sekolah, taman taman, jalan dan jembatan. Selanjutnya kawasan njaba kota itu disebut bovenstad alias kota elit.
Lalu lintas kendaraan semakin banyak ketika memasuki abad 20. Karenanya, infrastruktur jalan semakin diperbaiki. Termasuk menata persimpangan arus kendaraan dan kereta api yang terdapat di Gubeng (Kertajaya dan Gubeng).
Rel kereta api, yang melintas jalan darat, dinaikkan dengan membuat viaduk. Namanya Viaduct Gubeng. Viaduk ini melintas di atas jalan yang menjadi pertemuan jalan Kertajaya dan jalan Sulawesi.
Viaduk dibangun pada tahun 1926. Dengan demikian, pembangunan viaduk itu dapat mengatasi terjadinya kemacetan di jalan dan menghindari potensi kecelakaan.
Dalam pembangunan viaduk yang menjadi sarana umum, secara fungsi adalah untuk menghindari persilangan kereta api dengan kendaraan darat seperti mobil, sepeda dan sebagainya dan untuk memperlancar jalannya kereta api.
Tidak kalah pentingnya adalah estetika dalam design arsitektur bangunan agar serasi dengan penataan tata kota. Seorang arsitek terkenal HP Berlage asal Belanda pada 1923, yang berbicara di depan Dewan Kota di Surabaya ketika ada proyek pembangunan jembatan Gubeng, dia mengatakan bahwa pembangunan haruslah memikirkan estetika kota, di samping juga fungsi bangunan itu sendiri (Jembatan Gubeng).
Karenanya design Viaduct Gubeng dibuat agar penumpang kereta bisa menikmati pemandangan di bawah (urban view) ketika kereta melewati viaduk. Pemandangan bawah yang dapat dilihat dari balik jendela kaca kereta adalah hiburan bagi penumpang.
Begitu pun sebaliknya, kereta yang sedang lewat di Viaduct Gubeng juga menjadi pemandangan eksotik bagi mereka yang ada di bawah. Dulu, anak-anak kecil bersama keluarga selalu menjadikan kereta lewat sebagai obyek wisata murah. Anak anak senang melambaikan tangan kepada para penumpang kereta.
“Da..da… .. Da.. da.. “, begitu sapaan anak anak kepada penumpang kereta.
Apakah aksi ini sudah hilang? Tidak. Aktivitasnya memang sudah berkurang. Tidak sesering seperti dulu lagi.
Untuk akses saling sapa antara penumpang dan warga di luar kereta, pagar viaduk dibuat rendah sehingga bagian dari roda kereta kelihatan. Minimal jendela kaca kereta tidak tertutup.
Ini semua demi akses keindahan. Keindahan adalah bagian dari estetika. Karenanya, dalam Perda 5/2005 Kota Surabaya tentang Cagar Budaya, bahwa estetika menjadi salah satu kriteria yang menjadi penetapan suatu bangunan cagar budaya.
Dalam pasal 28 ayat 1 diamanahkan bahwa pendirian bangunan baru pada lahan bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya harus menyesuaikan situasi dan kondisi bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya.
Selanjutnya, pendirian bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus serasi dengan lingkungan baik bentuk, ketinggian dan nilai arsitekturnya. (nanang purwono)
Begandring kueren, jangan kendor.
Kawal sampai tuntas, kriwikan nek dijarno iso dadi gerojokan.