Gedung Broederschool yang terletak di Coen Boulevard 7, Soerabaia (sekarang Jalan M Jasin Polisi Istimewa, red) dibangun dengan arsitek Hulswit, Fermont & Ed. Cuypers dari Weltevreden, Batavia. Gedung ini mulai digunakan pada tahun 1923, sebagai Lagere School (SD), kemudian berubah menjadi Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO (SMP).
Pada tahun 1942, Jepang menyerbu Hindia-Belanda, tentunya juga masuk ke Kota Surabaya. Tahun 1943, Jepang menguasai Broederschool. Gedung itu kemudian digunakan untuk Sekolah Polisi Jepang Futsuka. Juga sebagai asrama Keibodan dan dijadikan Markas Tokubetsu Kaisatsu Tai Karesidenan Surabaya, Kesatuan Polisi Khusus bentukan Jepang dipimpin Keibu Moehammad Jasin.
Pada 18 Agustus 1945, Moehammad Jasin mendapatkan kepastian berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dari anak buahnya, Nainggolan. Masa itu, penyebaran informasi belum semudah sekarang. Apalagi Jepang menyegel radio-radio yang ada.
Nainggolan saat itu begitu bersemangat. Dia kemudian mengajak kawannya, Sugito, untuk merencanakan pengibaran bendera Indonesia: bendera Merah Putih.
Minggu, 19 Agustus 1945, terjadilah peristiwa bersejarah itu. Nainggolan dan Sugito sungguh-sungguh melaksanakan rencana mereka. Pimpinan Jepang marah besar mengetahui bendera Merah-Putih dikibarkan.
Sugito dan Nainggolan ditempeleng dan dimaki-maki. Bendera Merah sempat dikibarkan beberapa saat, diturunkan. Diganti bendera Jepang yang kembali dikibarkan.
Rupanya, peristiwa ini diketahui masyarakat sekitar, yaitu warga Kampung Dinoyo. Mereka kemudian membentuk kelompok perjuangan. Namanya, Pemuda 40.000 Dinoyo. Saat itu, lokasi sekolah ini sangat terbuka. Belum banyak bangunan dan pepohonan. Nampak luas dan sepi. Hanya ada tiang-tiang lampu gas di tepi jalan sebagai penerangan saat malam tiba. Tak salah bila peristiwa naiknya bendera Merah Putih itu dapat dengan mudah terlihat dan kabarnya segera menyebar ke penduduk kampung.
Para pemuda Kampung Dinoyo yang melihat dan mendengar peristiwa itu mendidih darahnya. Lima orang pemuda menghadap Inspektur Polisi Tk 1 Moehammad Jasin. Mereka menyatakan diri sebagai utusan Pemuda Dinoyo dan mendukung tindakan Polisi Istimewa mengibarkan bendera Merah Putih.
Bagi Nainggolan dan Sugito, semangat para pemuda Kampung Dinoyo ini ibarat tuangan bensin pada api. Mereka kembali terbakar dan nekat menurunkan bendera Jepang. Disusul segera menaikkan kembali bendera Merah Putih. Kali ini, para pemuda Kampung Dinoyo ikt menjaga sekeliling tiang bendera. Sementara anggota Tokubetsu Keisatsu Tai menempatkan pagar berduri di sekeliling tiang.
Melihat situasi tidak kondusif, Jepang memuutuskan tidak mengambil tindakan apa pun. Mereka membiarkan aksi itu terjadi. Jepang saat itu kondisinya sudah kalah perang. Mereka sudah menyerah. Moral mereka sudah rontok.
Bendera Merah Putih masih berkibar di tempatnya, hingga beberapa hari. Para pemuda Dinoyo ini kemudian mengirimkan perwakilan untuk menemui Jasin. Mereka menyampaikan, jangan sampai Tokubetsu Keisatsu Tai bernasib sama seperti PETA, dilucuti persenjataannya.
Esok harinya, pada 20 Agustus 1945, pukul 13.00 , Inspektur Jasin mengundang beberapa anggotanya. Di antaranya, Pembantu Inspektur Polisi Tk I Soetarjo, Komandan Polisi Surip, Komandan Polisi Abidin, Komandan Polisi Musa untuk membicarakan permintaan para pemuda Dinoyo agar Tokubetsu Kaisatsu Tai menjadi pelopor perjuangan tidak bernasib sama seperti PETA, dilucuti kemudian dikembalikan ke masyarakat.
Hasil pertemuan itu, mereka akan memutuskan jaringan kabel telepon dan menawan para pimpinan Tokubetsu Kaisatsu Tai yang berkewarganegaraan Jepang. Setelah itu, gudang senjata akan dibongkar dan seluruh senjata berat akan dibagikan.
Disusul keesokan harinya mengadakan apel pagi, di mana Inspektur Moehammad Jasin akan mengikrarkan berdirinya Polisi Republik Indonesia. Dilanjutkan dengan upaya penyebarluasan berita Proklamasi Kemerdekaan.
Semua rencana dalam rapat itu bisa terlaksana dengan lancar. Telepon diputus. Petinggi Jepang, Sindokan Takata dan Fuku Sindokan Nishimoto yang menjabat sebagai pimpinan Polisi, ditawan.
Untuk gudang senjata, bukan hanya senjata yang jatuh ketangan mereka, tapi juga truk-truk dan kendaraan lapis baja. Semua kendaraan ditulisi “Poelisi Repoeblik Indonesia” dan dipasang bendera Merah Putih.
Selasa, 21 Agustus 1945, apel dilaksanakan. Dihadiri 250 pasukan di halaman depan sekolah ini. Bendera Merah Putih yang dikibarkan Nainggolan masih di tempatnya, sehingga tidak dilakukan pengibaran ulang.
Moehammad Jasin membacakan Proklamasi Polisi. Mereka yang terlahir sebagai pasukan baru bernama Polisi Republik Indonesia melakukan unjuk kekuatan dengan berbaris ke Jalan Tunjungan, berjalan kaki dan dengan panser, meneriakkan pekik Merdeka..!!
Gedung St. Louis menjadi saksi bisu para pelaku sejarah kemerdekaan Indonesia di Surabaya. Khususnya, Tokubetsu Kaisatsu Tai yang selanjutnya menjadi Polisi Istimewa.
Polisi Istimewa merupakan cikal bakal Korps Brigade Mobil Kepolisian Republik Indonesia atau sering disingkat Korps Brimob Polri, kesatuan operasi khusus yang bersifat paramiliter milik Polri. (*)
Sumber :
Lintas Perjalanan Kepolisian RI Sejak Proklamasi-1950.
Narasi berkibarnya bendera Merah Putih di Surabaya.