Perebutan Senjata Jepang di Gedung HVA

Satu scene yang menjadi lokasi pengambilan gambar (shooting) film dokumenter kepahlawanan Surabaya November 1945 produksi TVRI Jawa Timur, Begandring Soerabaia dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair, bertempat di Handels Vereneeging Amsterdam (HVA), kini Kantor PTPN XI di Jalan Merak, Surabaya. Gedung, yang diresmikan pada 1925 ini, menjadi saksi bisu peristiwa penyerbuan untuk perebutan senjata Jepang.

Di masa pendudukan Jepang, gedung ini memang dijadikan sebagai Markas Angkatan Darat Jepang di Jawa Timur, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Iwabe. Setelah Jepang menyerah, akhirnya gedung ini dijadikan markas BKR Jawa Timur pimpinan drg. Moestopo.

Peristiwa pelucutan senjata oleh rakyat dan pejuang Surabaya inilah yang direka ulang untuk melengkapi alur cerita sejarah pertempuran Surabaya dalam rangka mempertahankan kedaulatan bangsa.

Reka adegan ini, sesuai cerita sejarah, menggambarkan serdadu Jepang, BKR dan pejuang rakyat serta serdadu Sekutu. Semua itu diperankan oleh para pegiat sejarah yang terdiri dari Komunitas Begandring Soerabaia, Reenactor Bangil, Jombangsche Reenactor, Drcreations Surabaya, Modjokerto Reenactor, Surabaya Combine Reenactor dan Green Ranger Reenactor.

Alur cerita dan reka adegan ini diarahkan oleh Kepala Bidang Pendidikan dan Latihan Begandring Soerabaia Achmad Zaki Yamani, yang tandem bersama sutradara TVRI Andre Arisotya. Penjiwaan oleh para pegiat sejarah ini menghidupkan momen penyerbuan pejuang Surabaya ke markas Jepang.

Adegan negosiasi antara pihak Jepang dan Republik. foto: begandring

 

“Saya merinding melihat momen ketika aksi penyerbuan ke markas Jepang. Mereka penuh dengan rasa emosional. Mereka menjiwai,” ungkap Zaki.

Apalagi melihat bendera Jepang, Hinomaru, naik berkibar di halaman gedung sebagai pertanda penguasaan aset oleh tentara Jepang. Kekuasaan Jepang atas Gedung HVA berikut persenjataan Jepang ini berakhir ketika wakil bangsa Indonesia di Surabaya: polisi istimewa M Yasin dan drg Moestopo menemui jenderal Iwabe.

Baca Juga  Prasasti Canggu dan Pengembangan Peneleh

Dalam reka adegan itu, Moestopo yang diperankan oleh Rudi Hartono dari Surabaya Combine Reenactor (SCR) mengatakan kepada Jendral Iwabe yang diperankan oleh Deddy Drcreation, bahwa dia meminta kepada pihak Jepang agar menyerahkan senjata kepada pihak republik. Jika tidak, maka pihak pejuang akan melakukan perlawanan.

Selanjutnya, polisi Istimewa M. Yasin, yang diperankan Deddy Angga, mengatakan bahwa senjata senjata itu tidak akan dipakai untuk menyerang Jepang tapi untuk mempertahankan kemerdekaan.

“Senjata yang kami dapat tidak kami gunakan untuk menyerang Jepang tetapi akan kami gunakan untuk mempertahankan kemerdekaan,” demikian kata drg Moestopo yang sedang negosiasi dengan pihak Jepang di Markas Tentara Angkatan Darat Jepang, HVA.

Setelah pernyataan itu, Jenderal Iwabe mengambil kain putih untuk dilambai laimbaikan dari atas balkon gedung sebagai pertanda Jepang menyerah. Senjata senjata milik Jepang yang tersimpan di ruang bawah (basement) pun mulai dilucuti. Senjata-senjata ini terdiri dari senapan arisaka, karaben, pistol, granat, pelor, dan lainnya.

 

Media Pembelajaran

Bagi para pemain, reka adegan untuk film dokumenter perjuangan Surabaya ini menjadi media pembelajaran. Mereka berasal dari beragam unsur. Ada komunitas sejarah, warga, guru, dosen dan mahasiswa. Melalui produksi film dokumenter ini, mereka dapat menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman.

“Satu lagi yaitu pelajaran sejarah dari kota Pahlawan Surabaya. Saya sebagai anak milenial bisa lebih mengetahui peristiwa bersejarah di Kota Pahlawan, khususnya bagaimana pejuang pejuang Surabaya memperoleh persenjataan untuk mempertahankan kemerdekaan,” ujar Sitti Nur Fawzhieahwati, mahasiswa Semester 3 Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FIB Unair.

Rizma Pujatirta dan Sitti Nur Fawzhieahwati yang ikut dalam film Surabaya 1945

Bagi Sitti, asal Tulungagung, Surabaya adalah kota baru yang ditinggali seiring dengan diterimanya sebagai mahasiswi di Unair. Melalui pembuatan film dokumenter ini, ia dapat mengenal Kota Surabaya termasuk lebih mengenal kiprah pejuang Surabaya. Bahwa dalam perang Surabaya yang puncaknya adalah 10 November 1945 bukanlah perang merebut kemerdekaan, tetapi mempertahankan kemerdekaan.

Baca Juga  Mengenal Orang-Orang Penting di Makam Belanda Peneleh

Oh iya ya, Indonesia kan memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sementara peristiwa perebutan senjata di HVA ini terjadi pada Oktober 1945. Berarti ini aksi mempertahankan kemerdekaan”, kata Sitti begitu menyadari isi alur sejarah yang ternarasikan dalam reka adegan ini.

Sementara Rizma Pujatirta, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair, berharap ada kegiatan pendokumentasian sejarah Surabaya melalui pembuatan film, sehingga semakin banyak sejarah Surabaya ini dapat disajikan ke publik.  Selama ini, sejarah Surabaya umumnya disajikan dalam format buku.

Rizma Pujatirta adalah cucu pahlawan Surabaya Roeslan Abdoelgani. Sebelumnya, dia pernah ikut memerankan Oetari, anak Tjokroaminoto, dalam film dokumenter drama (dokudrama) Koesno, yang dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2022 masuk nominasi film pendek terbaik.

Film-film sejarah ini akan menambah khazanah kepustakaan dan perfilman di Kota Surabaya. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *