Perlunya Penulisan Sejarah Lokal

Kekayaan nasional berangkat dari kekayaan lokal. Tapi aset yang berskala nasional seolah dipandang lebih superior dari yang bersifat lokal. Orang boleh saja mengenal sesuatu yang bersifat nasional, tapi mereka juga perlu didorong untuk lebih mengenal apa yang ada di lingkungannya.

Aset ini adalah sejarah. Sejarah sangat penting karena bisa dijadikan sumber inspirasi. Ya, inspirasi untuk meraih masa depan. Banyak peristiwa-peristiwa dalam sejarah yang dapat dijadikan pelajaran untuk mengambil keputusan di masa depan.

Sejarah bukan sekadar media untuk melihat masa lalu yang bersifat klangenan. Tapi sejarah bisa menjadi pijakan untuk menatap masa depan. Dengan sejarah, seseorang akan mengenal arah ke masa depan.

Setiap bangsa pasti menuliskan sejarahnya. Hal ini sebagai perwujudan dari identitas diri yang sarat dengan berbagai dinamika dalam mendirikan maupun membangun bangsa. Untuk itu, sejarah nasional menjadi sangat penting sebagai identitas kebangsaan.

Meskipun begitu, dalam perjalanan waktu, disadari bahwa kecenderungan penulisan sejarah yang nasional sentris ternyata berpotensi mengabaikan realitas dinamika sosial yang majemuk, yang ada di masing-masing bagian wilayah (daerah) Indonesia yang bersifat lokal dan kedaerahan.

Yang dikhawatirkan, seseorang tidak akan bangga dengan daerahya, di bumi yang ia pijak dan dilahirkan. Padahal ada peristiwa penting di daerah itu. Dari alasan inilah, kiranya perlu ada dorongan untuk menggali sejarah lokal dan mendokumentasikan melalui karya tulis atau menulis sejarah lokal.

foto: begandring

Untuk lingkup daerah (lokal) misalnya, penulisan sejarah lokal dapat dimanfaatkan antara lain sebagai sumber kreativitas atau pandangan optimistis masyarakat lokal, muatan lokal (mulok) kurikulum sekolah, dan media untuk membangkitkan pembangunan daerah.

Baca Juga  Asal Usul Nama Polisi Istimewa

Karenanya, sejarah lokal memiliki potensi penting. Karena hanya dengan sejarahlah kepribadian daerah dapat ditemukan. Jadi, betapa pentingnya penulisan sejarah daerah (lokal) dalam rangka ikut memberikan sumbangan untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi oleh daerah.

 

Empat Klasifikasi Sumber

Universitas Negeri Surabaya (Unesa) menggelar Pelatihan Penulisan Sejarah Lokal untuk guru guru sejarah tingkat SMA, SMK, MA se Jawa Timur.  Kegiatan ini digelar 4 kali pertemuan, yakni pada 10, 11, 17 dan 18 September 2022.

Ada lima pembicara dalam pelatihan yang digelar secara hybrid ini. Mereka, Dr. Agus Suprijono, M.Si., Drs. Sumarno, M.Hum., Dr. Wisnu, M.Hum., Drs. Antono, M.Hum. dan Eko Satria H, S.Hum., MA.

Selama ini, disadari bahwa penulisan sejarah lokal, utamanya di lingkungan perguran tinggi, memang sudah mulai dilakukan. Namun sayangnya masih dalam bentuk laporan penelitian dosen, dan penelitian mahasiswa yang meliputi skripsi, tesis, maupun disertasi.

Sebagain besar hasil penulisan itu masih tersimpan di perpustakaan masing-masing perguruang tinggi dan jarang diterbitkan agar hasil penelitian tersebut dapat dibaca secara luas oleh publik.

Sementara di lingkungan sekolah, misalnya, baik SMA, SMK maupun MA, dalam proses pembelajaran sejarah, penggunaan sumber belajar masih terbatas pada penggunaan buku teks, baik oleh guru maupun siswa. Buku teks dianggap satu-satunya sember belajar paling tepat yang dapat memenuhi tuntutan kurikulum. Masih jarang dijumpai adanya tulisan tentang sejarah lokal yang disusun sebagai bahan bacaan bagi siswa setempat.

Dalam pelatihan Penulisan Sejarah Lokal inilah guru-guru sekolah diharapkan dapat menulis sejarah berdasarkan sumber-sumber lokal yang ada, yang selama ini tidak pernah diangkat.

foto: begandring

Menurut Dr Sumarno, dalam pelatihan itu ada 4 klasifikasi sumber-sumber sejarah lokal. Pertama, jejak material seperti artefak dan benda benda yang dianggap memiliki nilai sejarah.

Baca Juga  Peneleh, Mata Kuliah Toleransi Bagi Mahasiswa Australia. 

Kedua, jejak non material seperti cerita, dongeng, adat, tradisi, ritual dan teknologi.

Ketiga, jejak tertulis seperti naskah, manuskrip, prasasti; dan keempat, representasional seperti potret, lukisan dan litografi.

Sebenarnya, cerita-cerita lokal (tak benda) dan benda atau artefak dapat ditemui di suatu tempat yang dimaksud dengan lokal. Diungkap dalam pelatihan, yang dimaksud lokal adalah meliputi lingkup desa (kelurahan), kecamatan, kota atau kabupaten. Bahkan bisa berupa unit keluarga jika di dalam keluarga itu memiliki potensi kesejarahan.

Sebagai contoh sejarah lokal dari lingkungan sekolahan, seperti di SDN Alun-Alun Contong I – 87 Surabaya. Di sana terdapat gedung sekolah dari awal abad 20, di mana orang tua Soekarno, Raden Soekeni Sosrodihardjo, mengajar. Di gedung sekolah ini masih tersimpan seperangkat bangku bangku kuno, papan tulis kuno, buku-buku induk sekolah dan lebih dari itu adalah yang Bung Karno pernah mengajar disitu.

Cerita dan kisah sekolah ini, baik dari sisi sumber material dan non material, sudah layak digali, ditulis dan bahkan dijadikan materi pembelajaran muatan lokal. Karena nilainya yang besar, maka meteri pembelajaran ini tidak selokal sekolah itu sendiri, tapi bisa dijadikan lokal setingkat Kota Surabaya.

Dalam kasus potensi muatan lokal (mulok) di SDN Alun-Alun Contong I-87 Surabaya ini, kiranya seorang guru tidak akan bisa memberikan materi pengajaran kepada siswa secara formal melalui kurikulum sekolah jika dinas terkait, Dispendik kurang mendukung.

Kenyataannya, potensi sejarah lokal di SD ini tidak bisa berjalan karena kurang di dukung dinas terkait. Artinya, untuk mendukung pelaksanaan kegiatan penulisan dan pemanfaatan hasil penulisan melalui kurikulum formal.

Sejarah harus ditulis untuk menjadikan “kebakuan” dan agar tidak menguap. Penulisan sejarah harus menerus dan berkelanjutan, khususnya, jika ditemukan temuan  baru atas sejarah yang sudah ada sebelumnya.

Baca Juga  Akhir Tragis WR Soepratman di Rumah Tambaksari

Sejarah itu dinamis dan senantiasa mengikuti perkembangan jaman. Dengan melalui penulisan oleh berbagai pihak dan pada khusuanya oleh guru guru sejarah, maka hasil temuan lapangan bisa langsung diajarkan ke siswa siswanya.

Guru sejarah harus aktif, tidak sekedar menggunakan buku-buku acuan atau pelajaran sejarah yang sudah ada. Apalagi era sekarang adalah era Merdeka Belajar.

Komunitas-komunitas sejarah di Surabaya seperti Begandring Soerabaia, Roodebrug Soerabaia, Sjarikat Poesaka Soerabaia, dan Old Soerabaia Hunter adalah komunitas mandiri yang turut menggali potensi sejarah lokal di berbagai perkampungan yang luput dari perhatian publik. Potensi itu adalah potensi lokal yang dapat digunakan sebagai pembelajaran muatan lokal.

Topik topik yang bisa diangkat dalam penulisan sejarah lokal pun sangat banyak. Ada topik pribadi, keluarga, komunitas, transportasi, perdagangan, sosial, ekonomi, perumahan dan lainnya yang menjadi hal penting bagi masyarakat. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *