Pluralisme Dalam Sila Pertama Pancasila

*) Oleh: Nanang Purwono

“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Selamat Siang, Salam Sejahtera, Salom, Om Swastiastu, Namo budaya, Salam Kebajikan, Rahayu Rahayu Rahayu”.

That’s the longest greeting in the world and it belongs to Indonesia. That is because of Pancasila, the five basic principle of Indonesia’s life. (Begandring Soerabaia).

Tidak ada salam yang diucapkan sepanjang itu di dunia. Adanya hanya di Indonesia. Ini menunjukkan keberagaman yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.

Pancasila sila pertama, yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, telah mengidentifikasi pluralisme agama di Indonesia.

Dalam sila pertama, kita dapat mengetahui bahwa setiap orang berhak memiliki kepercayaan dan Tuhannya masing-masing dengan menghormati satu sama lain dan juga mendapatkan perlakuan yang setara.

Menghormati antar agama itu sudah lama ada di Surabaya, bahkan sebelum Pancasila itu sendiri dilahirkan. Pernyataan saling menghormati itu tertulis pada sebuah gapura di Kelenteng Hong Tiek Hian di Jalan Dukuh, Surabaya.

敬 = Jing = Menghormati
宗 = Zong = Keyakinan agama

Kelenteng Hong Tiek Hian adalah salah satu klenteng di kawasan Pecinan Surabaya. Kelenteng lainnya adalah Hok An Kiong di Jalan Coklat.

Pecinan adalah salah satu klaster permukiman etnis di Surabaya. Lainnya ada klaster Melayu, Asia, Arab dan Eropa. Pengklasteran ini sengaja dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda melalui Undang Undang Wilayah, Wijkenstelsel.

Wijkenstelsel adalah aturan yang menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.

Sejak pembantaian warga Tionghoa di Batavia tahun 1740. Dengan Undang undang itu, orang Tionghoa tidak dibolehkan bermukim di sembarang tempat.

Di Surabaya ada pengklasteran permukiman etnis itu. Letaknya di kawasan Jembatan Merah. Meski demikian, dalam keseharian ternyata mereka ini masih tetap membaur antaretnis.

Baca Juga  Napak Tilas Perjalanan HP Berlage di Nusantara

Secara fisik, permukiman mereka disekat. Tetapi secara sosial budaya, mobilisasi warga antar etnis bagai beragam unsur yang tertuang dan lebur dalam satu mangkuk yang sama. Melting pot.

Salah satu contoh yang masih eksis hingga sekarang adalah seni dan budaya pecinan Barongsai dan Liang Liong. Kita bisa perhatikan bahwa para pemainnya adalah campuran. Ada Cina, Jawa dan Madura. Mereka sangat harmonis.

 

Pluralisme Dalam Sila Pertama Pancasila

 

Berlatih Barongsai di Klenteng Boen Bio

Perlu disadari bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat melekat dengan kata “keberagaman” yang disebabkan oleh wilayah Indonesia yang sangat beragam dan memiliki berbagai pulau.

Dari keberagaman itu maka tercipta banyak perbedaan atau keberagaman; agama menjadi salah satunya. Kebebasan beragama dalam perspektif Pancasila sendiri merupakan hal yang sangat jelas.

Pancasila sendiri merupakan dasar negara yang perlu diikuti dan juga diimplementasikan oleh bangsa Indonesia. Pada pasal 29 ayat (2) UUD 1945 bicara mengenai negara yang menjamin kemerdekaan rakyatnya untuk memeluk agama yang dipercaya.

Keberagaman dan Alkulturasi dari produk sejarah

Bahwa di Surabaya sudah ada keberagaman sejak lama. Di kompleks Masjid Ampel misalnya, alkulturasi budaya masih bisa disimak hingga sekarang. Masjid yang bersifat Islami ini terpadu dengan sifat Hinduisme. Mereka pemeluk agama Hindu adalah orang orang yang telah bermukim di sana, Ampel Denta, sebelum Raden Rachmad tiba pada 1440-an.

Pada struktur bangunan masjid, pada bagian atap, berbentuk Meru (tiga trap berundak) dengan mahkota hiasan Hindu Majapahit. Sementara tata ruang dimana komplek masjid berdiri berada pada ruang dengan konsep Hindu, Tiga Berundak.

Tiga berundak adalah tata ruang yang terdiri dari Ruang Jaba (luar), Ruang Tengah (tengah) dan Ruang Jero (dalam). Pada bagian ruang dalam inilah yang dianggap sakral karena disana terdapat pelinggih. Di ruang jero ini ada zat yang dianggap sakral. Misal ada makam yang didoakan. Ada makam Sunan Ampel.

Baca Juga  Ketua Begandring Beri Kuliah Filsafat Pancasila di UKWM Surabaya

Konsep tata ruang dan bangunan di sana adalah konsep Alkulturasi antara Islam dan Hindu. Hingga sekarang Alkulturasi itu masih ada dan bahkan dalam kehidupan sehari hari dimana antar etnis bisa saling menghormati dalam aktivitas bersama.

Secara umum di kawasan Kota tua Surabaya dimana antar etnis bisa saling berkomunikasi dan beraktivitas dalam nafas perdagangan dan perekonomian. Surabaya sejak dulu tercipta sebagai kota perdagangan. Kawasan etnis ini adalah kawasan yang dibentuk oleh pemerintahan kolonial melalui Undang Undang Wijkenstelsel sejak 1740 an.

Di kawasan itu tidak hanya sosial budaya yang bisa lebur jadi satu, keberadaan rumah rumah ibadah pun bisa berdiri berdampingan dan langgeng. Ada masjid, Klenteng dan gereja.

Hanya satu etnis yang lenyap dari kawasan wijkenstelsel Surabaya itu. Yaitu etnis Eropa.

Pluralisme Dalam Sila Pertama Pancasila

 

Apresiasi

Keberadaan dan peninggalan keberagaman itu menjadi media menarik di sebuah negara yang semakin beragam dan semakin modern.

Keberagaman yang semakin beragam dengan balutan modernisasi menjadi tantangan dalam keberagaman itu sendiri. Akhirnya ada dua opsi dalam keberagaman dewasa ini.

Keberagaman akan menjadi 1). tantangan dan 2). kekuatan

Soekarno mengatakan Jas Merah. Jangan sekali sekali melupakan sejarah. Begandring mengatakan sejarah adalah pijakan dalam menatap pembangunan masa depan.

Mereka, yang mengerti sejarah, akan bijak dan dewasa dalam bertindak dan berpikir dalam konteks sosial. Mereka akan memiliki cakrawala pandang yang luas. Mereka akan mampu menganalisa dampak baik dan buruk atas tindakan yang mereka lakukan.

Untuk bisa apresiatif, Begandring sebagai komunitas berpartisipasi dalam memperkenalkan sejarah dengan tujuan dapat membantu publik untuk apresiasi keberagaman sesuai sila pertama Pancasila.

Salah satunya adalah melalui program Jalan Jalan Sejarah ke tempat tempat yang menjadi wadah keberagaman. Misalnya jalan jalan sejarah ke rumah rumah ibadah di Surabaya, seperti di Ampel dan masjid Kemayoran serta klenteng klenteng dan gereja.

Baca Juga  Opini: Taman Aksara Dari Surabaya Untuk Bangsa.

Pesertanya beragam dalam keyakinan dan beragama. Melalui narasi sejarah yang disajikan, mereka bisa mengenal perbedaan dan akhirnya bisa apresiasi perbedaan itu.

Pluralisme Dalam Sila Pertama Pancasila

Tak kenal maka Tak Sayang

Siapa tidak mengenal lainnya akan terjadi gap yang akhirnya menjadi acuh tak acuh baik terhadap sesama maupun lingkungan di mana mereka berada. Kebersamaan dalam keberagaman akan melahirkan nakhoda yang sangat mengerti ke mana kapal itu hendak pergi.

Ajang silaturahmi antarumat beragama adalah sebuah melting pot yang disebut Pancasila. Di Surabaya melting pot melting pot itu telah tercipta. Ada kegiatan silaturahmi antar umat beragama, ada forum antar beragama dan ada pula tempat tempat ibadah di satu lahan taman yang indah.

Alangkah indahnya kebersamaan dalam keberagaman itu. (*)

 

*) Ketua Perkumpulan Begandring Soerabaia

(Gagasan dan pemikiran ini dipresentasikan dalam kuliah Filsafat Pancasila di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *