Naditira Pradeca, desa tepian sungai, Wulayu dan Surakarta adalah nama-nama kuno yang pernah berada dalam satu kawasan yang menjadi titik pusat peradaban Jawa, mulai dari era Kerajaan Majapahit (abad 15) hingga Kerajaan Surakarta (abad 18-20).
Wulayu adalah nama kuno Solo berdasarkan Prasasti Canggu (1358 M). Jika sekarang sungai terpanjang di Jawa, yang berhulu di Jawa Tengah dan bergilir di Jawa Timur, dikenal dengan nama Bengawan Solo, dulu disebut Bengawan Wulayu.
Wilayah Wulayu sekarang adalah Surakarta, bahkan lebih luas dari wilayah administratif Surakarta sekarang. Diduga, Sukoharjo yang berada di selatan Surakarta dan berada di tepian Bengawan Solo, juga masih masuk wilayah Wulayu di abad 14.
Berangkat dari kawasan historis arkeologis inilah seremonial keberangkatan Ekspedisi Bengawan Solo 2022 akan dilakukan. Meski secara fisik, arung Bengawan (kick off paddling) di mulai dari outlet di Wonogiri, Jawa Tengah.
Menandai event seremonial keberangkatan itu akan digelar sejumlah kegiatan di kawasan kuno Wulayu. Misalnya, di Pesanggrahan Langgenharjo, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah akan digelar sarasehan mulai yang bertema sejarah budaya hingga tema ekologi dan lingkungan.
Sementara kegiatan publik lainnya akan digelar di Taman Bengawan Solo, yang tidak jauh dari Jembatan Lama Bengawan Solo di Surakarta.
Dari Wulayu, Jawa Tengah inilah nama-nama naditira pradeca berjajar di sepanjang Bengawan Solo hingga Bedanten di muara Bengawan Solo di Gresik, Jawa Timur.
Selain Raja Hayam Wuruk (1358) dari Kerajaan Majapahit yang pernah mengarungi Bengawan, keluarga Kerajaan Surakarta, Pakubuwono IV pada abad 18, juga pernah hilir mudik di sepanjang Bengawan menggunakan Kapal Rojomolo.
Kini, Rojomolo tinggal cerita sejarah yang masih populer di lingkungan keluarga Kerajaan Surakarta. Cerita sejarah ini juga populer di lingkungan pemerintahan Kabupaten Gresik. Rojomolo seolah menjadi pengikat dan penjembatan kekerabatan antar kedua pemerintahan.
Namun, publik khususnya di kedua wilayah ini, ternyata tidak banyak mengetahui. Padahal Rojomolo menjadi sejarah bersama bagi Kabupaten Surakarta (Jateng) dan Kabupaten Gresik (Jatim).
Kisah Pembuatan Kapal Rojomolo
Rojomolo, yang dulu berwujud kapal Bengawan, diibaratkan sebagai jembatan apung yang menghubungkan desa-desa di sepanjang tepian Bengawan Wulayu (Solo). Kapal Bengawan ini merangkai desa paling hulu dengan desa paling hilir. Panjang sungai mulai Wulayu (Surakarta) hingga Bedanten (Gresik) sekitar 450 kilometer.
Rojomolo terlahir pada masa pemerintahan Pakubuwono IV (1788-1820), yang dibuat oleh putera Pakubuwono IV, sebelum ia naik tahta bergelar Pakubuwono V (1820-1823).
Pembuatan kapal Bengawan Rojomolo sendiri dilakukan setelah keluarga kKerajaan Surakarta menerima hadiah kapal dari Gubernur Jendral Hindia Belanda, HW Daendels (1808-1811) atas nama Pemerintah Kerajaan Belanda. Dikutip dari raymondvaliant.blogspot, perahu pemberian Gubernur Hindia Belanda ini dinamakan Rajapati.
Meski pun telah diberi kapal, pemberian ini belum memuaskan hati Raja Pakubuwono IV. Dia masih ingin memiliki kapal sendiri dengan ukuran yang lebih besar dari Rajapati. Maka dibuatlah Kapal Rojomolo.
Kapal Rojomolo dibuat lebih besar dengan ukuran panjang 59 meter dan lebar 6,5 meter, jika dibandingkan dengan kapal hadiah dari Pemerintah Hindia Belanda. Pada bagian ujung depan dan belakang kapal dipasang patung kayu berupa kepala wayang Rajamala.
Pembuatan kapal ini selesai pada Jumat Wage, 19 Juli 1811 (atau dalam penanggalan Jawa relevan dengan 27 Jumadilakhir Tahun Be 1738).
Perahu Rojomolo berjasa terhadap Raja Pakubuwono IV hingga Pakubuwono IX. Kapal ini digunakan keluarga kerajaan untuk mengarungi Bengawan mulai dari kegiatan sosial hingga kegiatan sakral (pernikahan).
Rojomolo terakhir kali digunakan secara resmi oleh Raja PB IX (masa pemerintahan 1861-1939) pada acara klangenan di Pesanggrahan Langenharjo–yang terletak di pinggir Bengawan di Kabupaten Sukoharjo– pada 1871.
Pemajuan Kebudayaan
Jika dimaknai dengan seksama, Kapal Rojomolo (awal abad 19) adalah sebuah cara pemajuan nilai-nilai budaya yang ada pada saat itu di sepanjang Bengawan Solo. Pemajuan ini dilakukan oleh Raja Pakubuwono IV (1788-1820) secara natural melalui aktivitas sosialnya.
Aktivitas ini adalah membagi-bagikan makanan kepada rakyatnya yang sedang tertimpa musibah banjir di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo.
Pembagian bantuan bencana itu sebagai gambaran kemurahan hati raja kepada rakyatnya yang selanjutnya disebut udik-udik. Dalam tradisi pernikahan Jawa gaya Surakarta, udik-udik ini masih diperagakan dengan menyebar uang receh dan beras ke arah tamu.
Sekarang, di era milenial, melalui ekspedisi Bengawan Solo 2022, desa-desa naditira yang dulu pernah berjaya, didorong pemajuannya. Yaitu pemajuan atas nilai-nilai kebudayaan. Diharapkan desa-desa di tepian sungai dapat menggali potensi lokalnya dan sekaligus melestarikan, mengelola, mengembangkan dan memanfaatkan potensi mereka untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan sesuai amanat UU Nomor 10/2010 tentang Cagar Budaya dan UU Nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Bengawan Solo dari zaman ke zaman telah membentuk hadirnya peradaban maritim, yang dari era ke era berikutnya ada upaya upaya pemajuan di bidang kemaritiman, khususnya meritim berbasis sungai.
Jika Raja Pakubuwono IV hingga Pakubuwono IX (abad 18 hingga abad 20) turut memajukan nilai peradaban maritim di Bengawan Solo yang telah diawali Raja Majapahit (abad 15), maka melalui Ekspedisi Bengawan Solo 2022, nilai dan potensi kearifan lokal dapat dimajukan. Diaktualisasikan dengan cara menggali, melestarikan, mengelola, mengembangkan dan memanfaatkannya. (*)