Tradisi Sedekah Bumi atau Bersih Desa di Kelurahan Made, Sambikerep, Surabaya sudah dilakukan turun temurun. Diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam tradisi ini, warga bersedekah demi keselamatan bumi dan manusia. Melalui ubo rampe yang berbentuk ancak dengan susunan hasil bumi, warga diajak untuk senantiasa mengerti bahwa bumi yang mereka pijak telah memberi sarana kehidupan. Karenanya, bumi harus dijaga kelestariannya.
Sedekah Bumi pada dasarnya adalah ungkapan rasa syukur atas keberkahan dan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keselamatan. Sedekah Bumi juga menjadi potret ritual keseimbangan antara manusia dan alam.
Ritual ini tidak hanya sebagai pengingat bagi warga Made saja, tapi juga untuk semua umat manusia. Jika manusia ramah terhadap alam, maka alam akan memberi sesuatu yang bermanfaat kepada manusia. Pun sebaliknya, jika manusia jahat terhadap alam, bencana akan mengancam.
Contohnya, mengolah tanah menjadi lahan pertanian atau perkebunan. Dari tanah akan melahirkan hasil bumi yang berupa panenan. Sebaliknya jika lahan tanah dibeton, tidak ada lagi serapan air yang akibatnya menimbulkan banjir. Itulah sedekah bumi.
Selain sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sedekah Bumi juga sebagai bentuk doa bersama. Inilah wadah di mana budaya, alam, dan manusia terbalut dalam satu ritual.
Salah satu ubo rampe prosesi ritual ini adalah ancak. Ancak adalah tumpeng raksasa yang dibuat dari bahan hasil bumi berupa sayur dan buah. Ancak-ancak ini kemudian diarak dari Kelurahan Made menuju punden Singojoyo yang menjadi pusat kegiatan.
Dalam satu kegiatan Sedekah Bumi di Kelurahan Made, bisa ada beberapa ancak. Kegiatan ini diikuti empat RW yang ada di Kelurahan Made.
Menurut Ketua LPMK Made Joko Hadi, untuk membuat satu ancak biayanya bisa jutaan rupiah. Bergantung besar kecilnya.
“Satu ancak bisa menghabiskan dana Rp 5 juta dan tingginya bisa dua meter,” kata Joko.
Ancak atau tumpeng raksasa ini terdiri dari beragam buah dan sayuran. Bentuk tumpengnya pun bermacam-macam. Ada yang seperti naga, kuda, lebah, dan masik banyak lagi.
Joko menjelaskan, tumpeng-tumpeng ini dinilai dalam gelaran Sedekah Bumi. Salah satu dasar penilaian yang sangat menentukan adalah penggunaan bahan hasil bumi lokal.
“Sebagus, sebesar, dan setinggi apa pun ancak yang dibuat, jika tidak menggunakan hasil bumi yang tumbuh di bumi Made, itu semua tidak ada artinya,” jelas Joko.
Penggunaan hasil bumi asli ini dimaksudkan agar warga lebih menghargai dan mencintai hasil produksi lokal. “Nanti perkara dicarikan tambahan dengan membeli di tempat lain gak jadi masalah. Yang penting menggunakan buah dan sayur yang dihasilkan dari bumi Made,” timpal Joko.
Bumi Made secara alami masih memiliki lahan pertanian maupun perkebunan yang luas. Ada sawah, kebun sayur, dan buah buahan. Made secara administratif dulunya berupa desa, tapi sekarang sudah menjadi kelurahan. Tapi buminya secara alami masih berupa desa yang kaya akan hasil bumi.
Karenanya gelar tradisi ritual Sedekah Bumi adalah upaya menjaga ekosistem dan budaya lokal. Ritual Sedekah Bumi adalah benteng peradaban yang menjaga kearifan lokal, baik terkait budaya maupun alam agar tidak tergerus zaman. (*)