“The more you know, there you get lost (the more you want to know).”
Semakin Anda thau, di sanalah Anda tersesat (semakin banyak yang Anda belum tahu).
Kata-kata mutiara tersebut nyata maknanya. Bahwa sesuatu yang berhasil diketahui ternyata semakin menuntun tim Begandring Soerabaia untuk mengeksplor lebh jauh karena masih ada keberlanjutan yang belum diketahui.
Dari pengalaman penelusuran, baik yang bersifat kepustakaan maupun empiris, akhirnya menginisiasi Begandring untuk melahirkan The Begandring Institute. Dalam wadah inilah kegiatan penelusuran (investigasi) lebih terlembagakan. Termasuk pemanfaatan hasil hasil penelusuran untuk dasar dasar kegiatan oleh divisi-divisi lain di bawah Begandring Soerabaia.
Salah satu tema yang selama ini ditelusuri adalah awal mula Surabaya. Sebenarnya sudah ada beberapa petunjuk tentang awal mula (cikal bakal) Surabaya. Secara otentik adalah Prasasti Canggu (1358), yang menyebut nama Surabaya dalam ejaan Jawa Kuna, yang kalau ditranskrip tertulis Curabhaya.
Bahkan letaknya pun juga dideskripsikan bahwa posisinya di hilir sungai setelah desa B’kul (sekarang Bungkul). Sesuai aliran sungai (Brantas, Kalimas) bahwa setelah Bungkul ada desa di tepian sungai lagi (naditira pradesa) yang bernama Curabhaya, dekat muara.
Bentuk otentik lainnya adalah benda arkeogi berupa Sumur Jobong di Kampung Pandean. Dari hasil tes karbon pada tulang-tulang yang ditemukan di dan sekitar sumur, bahwa usia kematian manusia (tulang manusia) tertua adalah 1430.
Sumur Jobong yang dipakai sebagai bagian dari tata cara atau ritual kubur manusia, diduga sudah ada sebelum tulang manusia diletakkan di sumur. Namun tidak diketahui kapan Sumur Jobong itu dibuat. Yang jelas pada 1430 sumur sudah ada.
Selain dua sumber otentik itu (Prasasti Canggu 1358 yang berupa lempeng tembaga dan Sumur Jobong, 1430), banyak sumber kepustakaan lain yang mengilustrasikan letak Surabaya. Di antaranya, Archaeological Reseach in Asia: Mongol Fleet on the Way to Java – First Archaeological Remains From the Karimata Strait in Indonesia); Groenneveld: Notes in the Malay Archipelago and Melacca”, compiled from Chinese Sources” (1876); Ying-Yai Sheng-Lan, The Overal Survey of the Ocean’s Shores, yang diterjemahkan dari the Chinese text yang diedit oleh Feng Ch’eng-Chiin dan di terbitkan oleh Cambridge University Press (1970) dan W. Fruin – Mees: Geschiedenis van Java (1922).
Semua sumber itu mendeskripsikan letak Surabaya yang berada di dekat muara sungai Kalimas (Pa-Tsih-Kan). Surabaya menjadi tempat berhenti sebelum melanjutkan ke pedalaman Jawa seperti Canggu dan Dhaha.
Ilustrasi letak Surabaya oleh GH Von Faber pada buku Erwerd Eenstad Geboren (1953) menggambarkan bahwa Surabaya yang secara alami berada di antara sungai Kalimas dan Pegirian itu dibuka oleh Raja Kertanegaya pada 1275 Masehi.
Posisi Surabaya, sebagai desa di tepian sungai (naditira pradeca) sebagaimana ditulis oleh Raja Hayam Wuruk (1358) pada Prasasti Canggu, lokasinya berada di utara kampung Pandean-Peneleh yang ternyata sudah dihuni pada 1270 M. (Von Faber).
Dasar Kuat dan Otentik
Bicara tentang sejarah Surabaya dan apalagi jika ingin mengetahui awal mula Surabaya (untuk dikaitkan dengan Hari Jadi Surabaya), maka yang lebih masuk akal bila melacak berdasarkan sumber-sumber yang sudah jelas adanya.
Nama Surabaya sudah jelas keberadaannya. Bahwa nama Surabaya disebut secara nyata dan otentik pada Prasasti. Nama Surabaya juga disebut dalam banyak sumber-sumber sejarah berupa buku dan bahkan kitab (Negara Mertagama 1365). Dari sumber sumber itu diketahui bahwa Surabaya memang ada dan jelas keberadaannya.
Bagaimana dengan nama Hujung Galuh? Nama Hujung Galuh juga disebut pada Prasasti Kamalagyan (1037) yang letaknya ada di Krian. Yang menjadi pertanyaan,apakah nama Hujung Galuh itu adalah Surabaya?
Para ahli epigrafi (epigrafer) yang membaca isi inskripsi mengatakan bahwa Hujung Galuh tidak di Surabaya, tetapi di hulu sungai, bukan di hilir sungai. Surabaya memang di hilir Sungai. Tetapi Hujung Galuh di hulu sungai.
Akhirnya, letak Hujung Galuh, jika dikaitkan dengan Surabaya, menjadi perdebatan panjang yang hingga sekarang belum kelar. Akibatnya, sejarah Surabaya menjadi suram dan bermasalah.
Apa memang ada nama Hujung Galuh di daerah pesisir (dekat laut)? Berdasarkan sumber sumber buku sejarah, nama Hujung Galuh di tepian laut memang ada. Misalnya buku Geschiedenis van Nederland Indie (1932) menyebut Hujung Galuh berada di tepi laut. Bahkan NJ Krom dalam buku itu menuliskan Hujung Galuh adalah Sidayu (Gresik).
Menyimak tulisan para sejarawan Belanda dalam beragam buku yang ada menunjukkan bahwa mereka saja sudah memiliki beda pendapat tentang lokasi Hujung Galuh. Perdebatan, yang secara tidak langsung ini, bukan berdebat tentang “Surabaya adalah Hujunggaluh” atau “Hujung Galuh adalah Surabaya”. Tetapi hanya tentang letak Hujung Galuh saja.
Hujung Galuh, yang mereka deskripsikan pun juga bukan mengkaitkan Hujung Galuh sebagai pelabuhan laut di pesisir utara Jawa dengan yang disebut dalam Prasasti Kamalagyan (1037).
Justru yang mengkaitkan itu adalah sejarawan yang sedang mencari Hari Jadi Kota Surabaya dalam kurun waktu 1973-1975. Inilah yang menyulut perdebatan panjang mengenai letak Hujung Galuh.
Menurut penulis, ada nama Hujung Galuh di pantai utara Jawa. Ada juga nama Hujung Galuh di pedalaman Jawa (Prasasti Kamalagyan).
Sebetulnya yang lebih penting adalah men-tracking letak Surabaya itu di mana? Surabaya adalah nama tersendiri, bukan Hujung Galuh. Surabaya punya dasar sumber yang kuat dan otentik.
Surabaya (Curabhaya), sebagaimana tersebut dalam Prasasti Canggu sebagai sebuah kawasan permukiman, memiliki nilai nilai yang membanggakan. Rakyat Curabhaya adalah para pemberani, para Jawara. Sesanti mereka “Sura ing Baya” yang artinya orang orang yang berani menghadapi bahaya. Sesanti itulah yang sekarang justru dipakai oleh Pemerintah Kota Surabaya dalam konteks kekinian “Surabaya Wani”.
Nah, jika semangatnya (Sura ing Baya) dipakai oleh pemerintah Kota Surabaya menjadi Surabaya Wani, mengapa pemerintah kota Surabaya tidak men-tracking di mana asal usul Surabaya? (nanang purwono)