Masih seputar cerita Makam Peneleh Surabaya. Kompleks penguburan kolonial seluas 5 hektare ini yang tidak terurus.
Makam ini diresmikan sejak 1847 dan baru resmi ditutup tahun 1960. Tidak ada yang istimewa dengan makam ini jika kalian hanya lewat di depannya saja.
Namun sempatkanlah mampir ke sini. Masuklah! amati satu per satu nisan yang eksotis, Anda bakal menyaksikan sisa-sisa kemegahan kebudayaan penguburan Kolonial. Inilah saksi bisu penjajahan ratusan tahun itu.
Minggu pagi kemarin, saya diundang Rachmad Juliantono, fotografer yang juga pentolan komunitas Love Suroboyo untuk datang lagi ke sini. kok ‘lagi’? ya lagi, karena saya lagi-lagi datang ke sini. Kebetulan saya punya rumah untuk usaha tepat di depannya, Tentu tidak terhitung berapa kali saya masuk makam ini.
Namun tidak pernah bosan. Kali ini lebih asyik, karena datang beramai-ramai bersama puluhan anggota komunitas Love Suroboyo.
Kami berkeliling ke Makam Peneleh. Dari ujung ke ujung. Ada banyak kisah hidup yang unik pada beberapa orang yang dikubur. Di dalam bangunan makam yang masih menyimpan sisa-sisa kemewahan.
Masuk pintu utama makam, tengoklah sisi kanan, diantara ribuan nisan ada satu yang menonjol, tugu yang terbuat dari besi tempa berukir khas Eropa. Inilah makam P.J. B. de Perez, Wakil Direktur Mahkamah Agung Hindia Belanda yang juga komisaris sejumlah perusahaan besar.
Saya mengenal sosok Perez lebih utuh setelah mendampingi sejarahwan Inggris sekaligus peneliti perang Diponegoro, Prof Peter Carey, beberapa waktu lalu.
Nama lengkapnya Pierre Jean Baptiste de Perez, sebelumnya pernah menjadi Residen Surabaya. Dia menjabat Gubernur Sulawesi saat Diponegoro diasingkan di Makassar tahun 1934. Perez diam-diam berniat membebaskan Diponegoro. Dia menjanjikan akan melobi ke Kerajaan Belanda agar Diponegoro bisa kembali ke Jawa. Namun rencana itu gagal justru Diponegoro sendiri yang menolaknya halus.
Entah apa alasannya, Perez pernah berwasiat ingin dimakamkan di Surabaya jika meninggal dunia. Namun justru kisah kematiannya yang menarik disimak. Ketika menduduki jabatan tinggi di Batavia, dia diperintah memimpin ekpedisi ke Bone 1859, untuk meredakan perlawanan.
Namun dalam pelayarannya, dia meninggal karena stroke di tengah laut Bajo. Sempat ada perdebatan di manakah Perez harus dikubur. Di Bajo atau ke Surabaya? sampai akhirnya para tentara memutuskan menguburkan Perez sesuai wasiatnya.
Makanya antara tanggal meninggalnya yang 16 Maret 1859 dengan tanggal penguburannya tertulis ada selisih delapan hari kemudian. Karena ada waktu perjalanan pelayaran ke Surabaya dari Bajo.
Tentu tidak ada peti untuk menaruh mayat Perez. Kata Peter Cerey, para tentara menggunakan peti wine untuk menyimpannya. Ini setelah semua wine dikeluarkan. “Perez menjadi satu-satunya mayat yang dikuburkan dengan tidak lazim. Menggunakan peti wine,” terang Peter. (*)