Sunan Ampel dan Penguasa Kolonial Respek Kearifan Lokal

Dulu, pernah ada wacana dan rencana akan mengganti nama Jalan Raya Darmo di Surabaya, tapi gagal. Alasannya adalah nama Darmo adalah nama lokal.

Nama lokal itu menjadi penanda suatu daerah dan sekaligus sebuah identitas yang belum tentu ada di daerah lain. Selain Darmo, nama Tunjungan yang juga menjadi nama jalan di Surabaya dianggap local wisdom. Tidak ada kota lain yang memiliki nama Darmo dan Tunjungan.

Alangkah arif dan bijaksananya para penguasa kolonial ketika masih menghuni bumi Nusantara. Mereka datang dan hidup di bumi pertiwi ini dengan serasinya.

Mereka membangun tempat untuk eksistensi hidup mulai dari eksistensi dagang, kebudayaan hingga pemerintahan. Dalam eksistensi itu, mereka ramah terhadap budaya lokal.

Fakta itu mengingatkan pada jejak para wali penyebar nilai nilai hidup melalui ajaran agama. Salah satunya Raden Rachmad yang selanjutnya disebut Sunan Ampel, seorang Susuhunan di wilayah Ampel Denta.

Sunan Ampel dan Penguasa Kolonial Respek Kearifan Lokal
Jalan Bubutan dari masa ke masa.

Ia datang di Kampung Ampel Denta untuk memperkenalkan ajaran agama Islam. Penyebarannya penuh damai. Ia tidak merubah kebiasaan lokal. Berbekal kebaikan, dalam prosesnya, warga setempat yang awalnya beragama non Islam akhirnya mengikuti jejak Sunan Ampel.

Bahkan ketika ia mendirikan masjid, di sana terdapat simbol simbol Hindu yang menghiasi bangunan masjid. Bahkan hingga para pengikutnya, ketika menata kawasan masjid, masih juga membangun dengan gaya Hindu.

Mereka menerapkan tata ruang dalam mitologi Hindu, dengan struktur tiga berundak. Ada wilayah Njaba (luar), Tengah (tengah) dan Njero (dalam). Hingga sekarang sifat sifat hinduisme itu masih mewarnai kompleks Masjid Ampel. Sebuah alkulturasi budaya dan peradaban yang patut dicontoh.

Raden Rachmad dan pengikutnya ramah terhadap lingkungan budaya. Hasilnya, Islam berkembang tanpa harus menghilangkan jejak peradapan lokal yang sudah ada di sana.

Baca Juga  Bikin Replika Prasasti Kancana, Hari Jadi Pagesangan Resmi 31 Oktober

Pun demikian dengan para penguasa Kolonial, yang sebagian besar orang mengatakan bahwa mereka hidup dan bernegara di bumi Nusantara selama 350 tahun.

Selama itu, dalam bernegara dan dalam pembangunan negara itu (Hindia Belanda), dalam lingkup kecil adalah membangun kota dan daerah, mereka tidak mengubah local wisdom yang ada. Local wisdom itu salah satu bentuknya adalah nama-nama kampung dan jalan.

Sunan Ampel dan Penguasa Kolonial Respek Kearifan Lokal
Nama jalan Bubutan dengan tanda warna hijau adalah jalan kuno.

Di Surabaya, ketika pembangunan kota berkembang ke selatan (yang ketika itu pusat kotanya adalah kawasan Jembatan Merah), mereka tidak mengganti nama jalan. Apalagi nama-nama kampung. Mereka menggunakan nama baru untuk jalan baru yang memang belum ada namanya.

Di antara nama-nama lama di Surabaya adalah Jalan Bubutan. Bubutan adalah nama lokal yang kiranya tidak ada di kota-kota lain. Selain nama kampung (kawasan), Bubutan dipakai sebagai nama jalan.

Ketika Kota Surabaya berkembang, nama jalan Bubutan tetap bertengger di sana. Keberadaan nama Jalan Bubutan berikut nama-nama jalan lainnya di Surabaya terdokumentasikan dalam laman In De Archipel. Dalam keterangannya, nama jalan yang diberi kode berwarna hijau adalah jalan kuno di Surabaya. Salah satu jalan kuno itu adalah Jalan Bubutan.

Dalam perkembangannya, di kawasan kampung dan jalan Bubutan Surabaya ini menjadi tempat bercokolnya sejarah kota Surabaya. Jalan Bubutan adalah rumah sejarah Surabaya.

Rumah Sejarah Surabaya

Jalan Bubutan dan Kampung Bubutan adalah jalur pertempuran Surabaya. Sepanjang Jalan Bubutan, yang membujur utara-selatan, adalah jalur arteri. Sementara gang gang kecil dan sempit adalah jalur penyelinapan. Kampung kampung ini bagaikan jalur tikus.

Secara umum, di sepanjang jalan Bubutan terdapat titik titik penting. Di selatan jalan ada Gedung GNI. Di pertengahan ruas jalan ada kampung-kampung yang bermuara di Jalan Bubutan, termasuk Kampung Bubutan gang V, di mana terdapat kantor pusat Nahdlatoel Oelama (NO). Di Kampung Kawatan yang bermuara di Jalan Bubutan juga ada Nahdlatoel Waton (NW).

Baca Juga  Bulan Bung Karno: Warisi Apinya, Jangan Abunya

Peristiwa yang terjadi pada titik-titik itu teruntai di Jalan Bubutan. Buku Pasak Sejarah Indonesia Kekinian, Surabaya 10 November 1945 yang ditulis Tim Ahli Cagar Budaya Kota Surabaya mencatat bahwa di Jalan Bubutan terdapat peristiwa penting dalam sejarah perang Surabaya pada 1945.

Salah satu peristiwa itu terjadi pada 14 November 1945, di mana ketika pasukan Inggris telah merangsek di sekitar viaduk kereta api Bubutan dan Alon Alon, para pemuda sudah berjaga menghadang pergerakan Sekutu di jalan Bubutan.

Dari kawasan itu, para Kiai di Bubutan tidak ketinggalan dengan memanjatkan doa doa demi perjuangan anak bangsa dalam mempertahankan kedaulatan. Para pejuang rakyat itu kebanyakan dari Laskar Hizbullah.

Sunan Ampel dan Penguasa Kolonial Respek Kearifan Lokal
Gedung Nasional Indonesia di Jalan Bubutan. foto: begandring

Peristiwa penting, yang menjadi catatan nasional, terjadi di jalan Bubutan 85-90, di mana terdapat Pusat Pergerakan Nasional. Di tempat ini merupakan tempat pembentukan KNI dan BKR, termasuk tempat para tokoh mempersiapkan rapat raksasa di Tambaksari pada 21 September 1945.

Sementara pada tanggal itu, KNI sempat mengadakan pertemuan di GNI yang dihadiri oleh banyak eks Pembela Tanah Air (PETA) dari berbagai daerah, di antaranya Moestopo yang mengepalai BKR di Surabaya. Mereka secara bersama menyusun langkah guna menyerang markas di Hotel Oranje. (Pasak Sejarah Indonesia Kekinian, Surabaya 10 November 1945).

Jauh sebelum masa perang Surabaya pada November 1945, tempat ini sudah menjadi pusat pergerakan pemuda yang dikomandani oleh dokter Soetomo. Gerakan pemuda itu bergerak di bidang pendidikan, kebudayaan, dan perekonomian.

Karenanya, di kompleks itu lahirlah majalah pergerakan yang bernama Panjebar Semangat yang didirikan dokter Soetomo. Alamat penerbitan Jalan Bubutan. Entitas lain Bank Nasional Indonesia yang bertujuan untuk membantu masyarakat di bidang ekonomi. Alamatnya juga di Jalan Bubutan.

Baca Juga  Gagas Pembuatan Buku dan Film Soekarno Lahir di Surabaya

Bahkan, Pahlawan Nasional dokter Soetomo dimakamkan di Jalan Bubutan, di belakang gedung GNI.

Di lingkungan Kampung Bubutan juga terdapat Penjara Koblen (1930) dan Jalan Bubutan menjadi akses keluar masuk ke penjara.

Masih di Jalan Bubutan, di sana berdiri sebuah gereja sebagai pengganti gereja Kristen pertama di Surabaya yang berdiri di Heerenstraat (Jalan Rajawali). Sejak era kolonial, gereja yang dibangun di tahun 1920 an itu dikenal dengan Gereja Bubutan karena berdiri di Jalan Bubutan.

Menurut peta peta lama Surabaya, seperti peta Surabaya tahun 1825, 1866, 1867, 1930 dan 1943 nama jalan Bubutan sudah ada dan tidak diganti oleh Pemerintah Hindia Belanda di Surabaya. Jalan Bubutan adalah jalan lokal. Belanda menghargai nama nama lokal.

Jalan Bubutan adalah untaian sejarah lokal dan nasional bangsa Indonesia di Surabaya. Adakah di kota lain nama Jalan Bubutan? (nanang purwono)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *