Nama Jalan sebagai Narasi Sejarah Kota

11 November 1743 adalah penanggalan penting bagi Mataram dan VOC. Ini karena penanggalan itu menandai adanya penandatanganan suatu perjanjian antara kedua belah pihak.

Dengan perjanjian itu, Pakubuwana II akhirnya dapat naik tahta kembali sebagai Raja Mataram setelah dibantu oleh VOC dalam upaya penumpasan pemberontakan yang dipimpin Raden Mas Garendi.

Bantuan itu adalah berupa penguasaan dan perebutan Ibu Kota Kartasura oleh VOC dari tangan pemberontak. Berdasarkan perjanjian itu, maka secara resmi Pakubuwono II atas nama Mataram menyerahkan wilayah Madura Barat, Surabaya, Rembang, Jepara dan Blambangan kepada VOC.

Wilayah Jawa inilah yang disebut wilayah Pantai Utara Jawa bagian Timur atau disebut Java van den Oosthoek. Ibukotanya adalah Surabaya.

Jadi secara de facto dan de jure, berdasarkan perjanjian Mataram dan VOC, akhirnya VOC berkuasa atas Surabaya dan Java’s van den Oosthoek.

Sementara VOC sendiri sudah masuk Surabaya pada 1612 ketika Gubernur Jendral Hendrik Brouwer anjang sana ke Surabaya dalam rangka mencari potensi dagang di wilayah Timur Jawa. (GH Von Faber: Oud Soerabaia).

Lima tahun kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen pada 1617 yang kemudian ditandai dengan pendirian Pos Dagang (Trading Post) di sisi barat Kalimas dan langsung berseberangan dengan kampung Pecinan – Melayu (Vreemde Oosterlingen).

Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan perubahan yang terjadi, Pos Dagang ini berubah fungsi menjadi Pos militer (military post) yang selanjutnya berfungsi sebagai benteng.

Sejak itu, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada komoditi rempah rempah, Surabaya sebagai kota administratif ikut berkembang. Fasilitas dan utilitas kota dibangun untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan kota.

Jalan jalan dan jembatan dibangun, perkantoran administrasi dan perumahan disiapkan. Ada fasilitas publik seperti taman kota atau Alun Alun. Pun juga ada dermaga sungai sebagai sarana perhubungan, transportasi, komunikasi dan pembangunan, selain sebagai urat nadi perekonomian.

Surabaya, memasuki tahun 1740-an, sudah terbentuk anatomi kotanya. Ketika pada saat ada penyerahan kekuasaan atas wilayah Pantai Utara Jawa bagian Timur (Java’s van den Oosthoek) dari Mataram ke VOC pada 1743, maka Surabaya dipilih sebagai ibukota administrasi Pantai Utara Jawa bagian Timur dengan pertimbangan kelengkapan kota yang telah dimilikinya.

Di sanalah, di Surabaya, manajemen wilayah Pantai Utara Jawa bagian Timur dikelola. Wilayah ini dikepalai oleh penguasa dengan jabatan Gezaghebber. Warga lokal mengatakan Sakeber.

Pada saat itu Gezaghebber Pantai Utara Jawa bagian Timur ini tunduk kepada seorang gubernur yang berkantor di Semarang Jawa Tengah. Secara hirarki, Gubernur di Semarang tunduk kepada seorang gubernur jendral yang bertempat di Batavia.

Sejak berfungsi sebagai ibukota wilayah Pantai Utara Jawa bagian Timur pada 1743, Surabaya semakin berkembang. Infrastruktur serta fasilitas dan utilitas semakin melengkapi kota administrasi ini. Bahkan jalan jalan diidentifikasi dengan nama-nama yang menunjukkan pernah adanya infrastruktur, fasilitas dan utilitas kota.

Baca Juga  H.P. Berlage dan G.C. Citroen Untuk Surabaya, Apa hubungannya?
Nama Jalan sebagai Narasi Sejarah Kota
Jalan Prenjak dulunya adalah Jalan Berbau. foto: begandring

Penanda Historis

Tidak disangkal jika nama jalan adalah sebuah penanda. Tapi sering ditemui bahwa nama jalan tidak memiliki kaitan historis dengan tempat di mana jalan itu berada. Misalnya, Jalan Bromo di kota Surabaya, tidak ada kaitannya dengan Gunung Bromo. Ada juga nama Jalan Cendrawasih di dekat Kantor Polrestabes Surabaya, tidak ada kaitannya dengan burung Cendrawasih asal Papua.

Masih banyak nama-nama jalan yang tidak memiliki latar belakang historis dengan pemakaian nama-nama itu. Seperti Jalan Soekarno, Jalan Salak, dan Jalan Porong di Kota Surabaya.

Berbeda dengan bagaimana orang orang Belanda di jaman Hindia Belanda dalam memberi nama-nama jalan, khususnya mereka yang hidup pada masa VOC. Kota-kota di Jawa di era VOC, umumnya adalah kota yang secara struktur masih dibatasi oleh tembok kota. Kota Surabaya sendiri pernah mengalami itu. Kotanya diberi tembok sebagai batas kota. Karenanya kotanya disebut Kota Bertembok (Walled Town).

Batas teritorial kota Surabaya sangat jelas. Batas kotanya adalah tembok yang di berapa titik terdapat gerbang dan pintu kota.

Di kawasan dalam dari Kota Bertembok inilah terdapat infrastruktur kota. Selain ada bangunan bangunan fungsional, di sana juga ada jalan jalan sebagai sarana perhubungan dan komunikasi.

Yang menarik adalah penamaan jalan jalan disesuaikan dengan pernah adanya fungsi di sekitar jalan jalan itu. Misalnya, nama Willemkade yang secara harafiah berarti Dermaga Willem, karena di sepanjang jalan ini pernah ada Dermaga di Sungai Kalimas. Jalan Willemkade ini sekarang Jalan Jembatan Merah yang kebetulan dekan sebuah jembatan.

Contoh lain, Jalan Roomsche Katolijkkerk Straat, yang secara harfiah berarti Jalan Gereja Katolik Roma, karena di ujung barat jalan pernah ada sebuah Gereja Katolik Roma. Jalan itu sekarang menjadi Jalan Cendrawasih.

Ada juga Oude Hospital Straat, yang sekarang menjadi Jalan Mliwis (bagian Barat) karena di ujung Barat jalan pernah ada sebuah rumah sakit lama di era VOC. Sampai sekarang sebagian infrastruktur bangunan rumah sakit masih ada. Kala itu berupa gudang yang dipakai menyimpan opium yang berfungsi sebagai bahan anastesi atau pembiusan. Bekas gudang opium ini kini dipakai sebuah kamar. Bentuk arsitektur gudangnya khas bangunan VOC.

Tidak jauh dari kompleks rumah sakit lama itu adalah lahan kuburan. Namanya Kuburan Belanda Krembangan. Kuburan ini ada sebelum Kuburan Belanda Peneleh. Bukti bahwa di Krembangan pernah ada kuburan Belanda, persis di samping lahan yang kini menjadi aset PDAM itu terdapat Jalan Krembangan Makam.

Berikut nama nama jalan lama di era VOC yang menunjukkan pernah adanya fasilitas dan utilitas kota di eranya.

Jalan Gelatik, Stadhuizsteeg yang artinya Gang (jalan kecil) Balai Kota. Di sana pernah ada Balai Kota.

Baca Juga  Nguri-Uri Budaya Bengawan Solo

Jalan Branjangan, Boomstraat yang artinya Jalan Pabean, yang menunjukkan di sana pernah ada kantor Kepabeanan.

Jalan Mliwis (bagian Timur), Dwarsboomstraat yang artinya Jalan Pabean Samping, yang menunjukkan pernah adanya Pabean di sungai Kalimas.

Jalan Merpati, Zuresteeg yang artinya Gang Parade, yang menunjukkan pernah adanya lapangan parade militer di depan Gang. Yaitu lapangan parade militer dari Tangsi Militer Jotangan yang kini jadi markas Polrestabes Surabaya.

Jalan Jalak, . yang artinya Gang Nonik yang menunjukkan bahwa Gang itu pernah dihuni para Nonik Nonik Belanda. Mereka ini adalah para artis yang sering manggung di gedung pertunjukan yang sekarang menjadi gedung PTPN XI.

Jalan Merak, Comedistraat yang secara harfiah berarti Jalan Komedi, yang menunjukkan bahwa disana pernah ada gedung pertunjukan. Gedung itu sekarang berdiri gedung PTPN XI.

Jalan Kedali, Heerensteeg yang secara harfiah berarti Gang Tuan (Pejabat) yang menunjukkan bahwa di kampung itu adalah kawasan permukiman yang dihuni oleh pejabat kota, yang salah satunya adalah petinggi (pastur) gereja Katolik. Kampung ini dekat dengan lokasi Gereja Katolik sebelum Gereja ini dibongkar dan berpindah ke Kepanjen.

Jalan Prenjak, Benaudesteeg yang artinya Gang Bau yang menunjukkan bahwa tempat ini berbau karena persis di bagian belakang pabrik yang bisa jadi menjadi akses pembuangan limbah pabrik.

Jalan Garuda, Schoolstraat dan Bankstraat yang berarti Jalan Sekolahan dan Jalan Bank. Jalan Schoolstraat lebih awal dibandingkan Bankstraat. Ini menunjukkan pernah adanya sekolahan yang letaknya di lahan gedung Telkom. Kemudian begitu ada bank, De Javasche Bank 1829, maka nama jalan berubah menjadi Bankstraat. Kini jalan itu berubah menjadi Jalan Garuda.

Jalan Jayengrono, dulunya adalah Willemplein yang artinya Alun-Alun Willem. Karena di sana ada sebuah Alun alun antara Balai Kota (Stadhuiz) dan Gereja Protestan pertama (bersebelahan dengan gedung internatio).

Berikutnya adalah Jalan Elang, yang dulu bernama Elbowstraat. Elbow artinya siku. Jalan ini secara fisik berbentuk “L” atau siku. Karenanya bernama Elbowstraat.

Nama Jalan sebagai Narasi Sejarah Kota
Jalan Mliwis (sisi Timur) yang dulu bernama Dwarsboomstraat menunjukkan pernah ada Kepabeanan di Kalimas. foto: begandring

Papan Nama 

Menyimak nama nama jalan tempo dulu di kawasan Kota Eropa Surabaya sangatlah informatif. Setiap jalan menginformasikan adanya infrastruktur, utilitas dan fasilitas kota. Jadi nama nama itu tidak hanya menjadi petunjuk suatu tempat, tapi sekaligus menunjukkan keberadaan fasilitas kota bahwa Surabaya di abad 18 sudah selengkap itu.

Dari nama-nama jalan dapat diketahui bahwa kota ini pada pertengahan abad 18 sudah memiliki kantor Balai Kota, alun-alun, rumah sakit, sekolah, kepabeanan, gereja, pelabuhan, tempat pertunjukan, fasilitas militer, perumahan dan lainnya. Padahal luas kota ini kala itu hanya 4 hektar!

Sekarang kita tidak bisa menemui dan bahkan mengenal jejak kota secara jelas bahwa Surabaya pada pertengahan abad 18 sudah selengkap itu. Di masa itu Surabaya sudah maju dan keberadaan kota bagaikan struktur kota kota di Eropa. Karenanya kota Surabaya pada 1743 ditunjuk sebagai ibukota wilayah Pantai Utara Jawa bagian Timur (Java’s van den Oosthoek).

Seiring dengan rencana Pemerintahan Kota Surabaya sekarang, yang akan menata dan merevitalisasi kawasan Kampung atau Kota Eropa, kiranya menjadi gagasan yang baik jika publik Surabaya diajak untuk mengintip bagaimana fakta sejarah Kota Surabaya di era itu. Ini menjadi ranah Pemerintah Kota Surabaya untuk menginformasikan bagaimana sejarah kota melalui media papan nama jalan.

Baca Juga  RS Kelamin Dibongkar dengan Syarat, Apa Saja?

Pembuatan papan nama jalan dengan menuliskan nama jalan sekarang, yang di bawahnya tertulis nama lama dan terjemahan nama jalan lama, maka papan papan nama itu akan menjadi sarana edukasi yang informatif tentang sejarah kota Surabaya.

Misalkan nama Jalan Jembatan Merah, yang di bawahnya tertulis nama lama Willemskade dan di bawah nama lama tertulis terjemahan dalam kurung (Dermaga Willem), maka semua orang dapat mengetahui bahwa di Jalan Jembatan Merah pernah ada pelabuhan sungai yang bernama Willem (nama Raja Belanda).

Demikian dengan nama-nama jalan, yang ada di wilayah kota Belanda yang batas teritorialnya sudah jelas, menjadi sarana informasi sejarah. Penulisan papan nama dengan menggunakan nama sekarang, nama lama dan terjemahannya, sekaligus sebagai tanda teritorial kawasan Kampung Eropa Surabaya.

Dengan cara ini, maka secara fisik dapat menambah narasi keberadaan sejarah Kampung Eropa Surabaya. Walikota Surabaya, Eri Cahyadi mengatakan. konsep penataan kawasan heritage di Kota Surabaya harus dibuat tematik. Ketika menata kawasan Kota Eropa, maka temanya adalah Eropa yang dalam hal ini adalah Belanda.

Secara khusus, terkait dengan papan nama jalan, selain tertulis tiga unsur (nama sekarang, nama lama dan terjemahan), design tiang papan juga harus dirancang bersifat Belanda. Misalnya bentuk tiang dan warna tiang. Jika di kawasan pecinan, warna tematik adalah merah, maka untuk tematik Belanda di Kampung Eropa adalah oranye.

Dengan begitu dalam rangka merevitalisasi kawasan Kampung Eropa, juga perlu membangun narasi. Narasi dapat dibangun salah satunya melalui simbol simbol yang menghiasi kawasan itu. Selain papan nama sebagai salah satu simbol, sebetulnya masih ada lainnya yang bisa digunakan untuk menandai kawasan Kampung Eropa.

Berangkat dari penyediaan sarana publik, yang murah meriah (papan nama jalan) tetapi sangat edukatif dan efektif, pemkot Surabaya dapat mulai memperkenalkan sejarah Surabaya kepada masyarakat.

Kota-kota lain telah menghiasi jalan jalan mereka dengan menggunakan dua identitas. Misalnya kota Malang, selain tertulis nama sekarang juga ada nama lamanya. Kota Jogjakarta, selain tertulis nama jalan dengan menggunakan aksara Latin, dia juga menuliskan dalam aksara Jawa.

Bagaimana dengan kota Surabaya? Maka saatnya tampil beda dari mereka. Surabaya menggunakan tiga identitas: nama sekarang, nama lama, berikut terjemahannya. (nanang purwono)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *