Pelestarian Cagar Budaya Tematik di Surabaya, Seperti Apa?

Kabar menggembirakan datang dari Pemerintah Kota Surabaya. Dalam waktu dekat, pemkot segera merevitalisasi bangunan-bangunan kuno di Surabaya.

Keberadaan banguna kono itu akan dikategorikan secara tematik. Tujuannya untuk mempermudah pelestarian bangunan kuno yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Sudah selayaknya bangunan-bangunan kuno itu dimanfaatkan untuk memberi nilai tambah, baik untuk tujuan edukasi, ilmu pengetahuan, penelitian, sosial, kebudayaan, ekonomi maupun pariwisata.

Surabaya termasuk kota yang kaya akan bangunan lama. Tidak sekedar lama, tapi menyimpan nilai sejarah. Tentu sayang jika bangunan lama yang bernilai itu tidak dimanfaatkan.

Belum lama Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi berdiskusi dengan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB), mencari terobosan dalam pemanfaatan aset sejarah berharga itu. Lalu muncullah gagasan untuk pemanfaatan dan pengembangan cagar budaya secara tematik.

Sekretaris TACB Surabaya Prof Purnawan Basundoro menjelaskan, yang dimaksud tematik itu adalah pola pengembangan yang tidak lepas dari akar sosial dan kultural historis dari suatu kawasan.

“Misalnya, pengembangan kawasan Pecinan. Yang dikembangkan adalah dengan menonjolkan unsur budaya Tionghoa-nya. Bahkan sampai ke pilihan warna cat, seperti merah dan kuning,” terang Purnawan.

Dari pengembangan berbasis sejarah budaya dan sosial setempat (local social and cultural history) yang menjadi kekhasan kawasan itu, akan memberi daya tarik publik yang selanjutnya dapat menumbuhkan geliat potensi ekonomi kreatif.

Tidak hanya memperkuat aksentuasi kekhasan Pecinan berdasarkan bangunan dan ornamen yang eksisting, tapi juga menambahkan ornamen pendukung yang serasi dengan lingkungan.  Seperti pemasangan lampion dan pemasangan papan nama jalan yang dikondisikan.

“Juga design papan namanya dan tulisan nama jalan yang bersifat Chinese. Apalagi kalau aktivitas yang disuguhkan di kawasan ini bercorak Chinese sesuai dengan kawasannya (ala Pecinan),” terangnya.

Pola pengelelolaan yang bersifat tematik ini sudah mulai diterapkan di kawasan Kembang Jepun dengan nama “Wisata Pecinan Kembang Jepun”. Tidak hanya jajanan, makanan dan minuman (kuliner), di sana juga tersaji hiburan, pembenahan lingkungan mulai: jalan, PJU, lampion, bangunan hingga becak wisata. Endingnya adalah pertumbuhan ekonomi.

Banyak tema tema yang bisa diangkat di Surabaya berdasarkan kekhasan di suatu kawasan. Tidak jauh dari Kampung Pecinan terdapat Kampung Eropa (Belanda), lalu Kampung Melayu, Kampung Arab, Kampung Kebangsaan Peneleh dan masih banyak lagi.

Semua kawasan ini memiliki bangunan lama dan lingkungan yang mendukung sesuai tema masing masing. Selama ini, tidak semua bangunan lama sudah berstatus cagar budaya.

Baca Juga  Konser Dewa 19 di JIS dan Pesan Persahabatan

Menurut Ketua TACB Dr Retno Hastijanti, di Surabaya ini tercatat ada sekitar 250 bangunan cagar budaya. Umumnya dalam kondisi yang relatif baik dan dimanfaatkan. Mulai dari perkantoran, tempat usaha hingga fasilitas publik.

“Ada juga bangunan bangunan yang tidak terawat dan itu adalah milik swasta,” katanya.

Karena banyak bangunan yang kurang dan tidak terawat itu ukurannya besar dan luas, kondisinya mempengaruhi pendapat publik yang seolah melihat banyak bangunan cagar budaya tidak terawat.

Dalam hal pelestarian nilai cagar budaya di Surabaya sebagaimana didiskusikan oleh wali kota Surabaya dan TACB, maka harus dapat diidentifikasi dengan jelas berdasarkan tema. Misalnya tema cagar budaya terkait peristiwa 10 November dan tema cagar budaya sesuai arsitekturnya.

“Dengan begitu, maka dalam melaksanakan pelestariannya bisa dibedakan, tegas Hasti,” panggilan karib Retno Hastijanti.

Jika pelestarian itu diarahkan pada tema pelestarian nilai peristiwa 10 November, maka langkah yang diambil adalah menentukan lokasi peristiwanya. Sehingga bila ada restorasi dan rehabilitasi, mungkin material untuk proses restorasi pada bangunan bisa tidak harus asli.

“Namun dari hasil restorasi itu (secara fisik) akan semakin memperkuat dan melanggengkan memori publik akan nilai nilai peristiwa yang terjadi di tempat itu,” jelasnya.

“Tetapi, untuk pelestarian cagar budaya karena nilai nilai arsitekturnya, maka tindakan restorasi dan rehabnya perlu pertimbangan lebih detail dan cermat terkait unsur unsur material bangunan,” imbuh Hasti yang mengkomparasikan pelestarian bangunan atas pertimbangan nilai peristiwa dan nilai arsitektur.

Rombongan dokter mata Surabaya berwisata sejarah di Kampung Eropa Surabaya. foto: begandring

 

Kampung Eropa

Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar) Wiwiek Widayati mengatakan, setelah wisata Pecinan berjalan, maka tahap berikutnya adalah menata kawasan Wisata Kampung Eropa (Belanda).

Dari pengamatan lapangan bahwa Taman Sejarah yang berada di kawasan Kampung Eropa sudah mulai dibenahi dan ditata ulang. Taman Sejarah ini menurut sumber sumber sejarah adalah bekas taman kota dari Kota VOC Surabaya yang bernama Willemplein (Taman Raja Willem).

Willemplein adalah utilitas publik yang letaknya bersebelahan dengan Balai Kota Surabaya (Stadhuis van Surabaya) dan gereja protestan pertama serta dermaga besar Surabaya (Groote boom).

Willemplein dan kota bertembok Surabaya (walled town) merupakan kawasan permukiman dengan segala infrastruktur dan kelengkapan kota setelah pendirian benteng di sisi utaranya. Benteng Belvedere, yang lokasi nya, ada di sebagian gedung JMP (menghadap sungai).

Baca Juga  Sulung, Kawasan Penting Lintas Zaman

Menurut Asia Maior “Soerabaja 1900-1950”, kota ini tercatat memiliki kelengkapan (organ) sebagai sebuah kota pada pada 1750-an sebagaimana dilukis oleh artis Johannes Rach dan didukung oleh keberadaan ilustrasi kota pada 1787.

Sebelum kota bertembok ini ada, terlebih dahulu telah berdiri sebuah pos dagang (trading post) VOC untuk menandai kehadiran perusahaan dagang Hindia Belanda di Surabaya.

Dalam buku Oud Soerabaia karya GH Von Faber, dijelaskan bahwa pada 1612 datanglah seorang penguasa VOC dari Batavia, Hendrik Brouwer, yang bertransaksi komoditas dengan seorang penguasa (pangeran) Surabaya di sebuah pelabuhan sungai.

Lima tahun kemudian, 1617, datanglah Gubernur Jendral VOC Jan Pieterszoon Coen, untuk menindaklanjuti misi dagang Hendrik Brouwer. Kemudian di tepi barat Kalimas, berseberangan dengan Pecinan, dibangun sebuah pos dagang VOC.

Bermula dari sebuah pos dagang (trading post) untuk mendukung kepentingan perdagangan VOC, kemudian berkembang menjadi sebuah pos pertahanan (millitary post) yang selanjutnya disebut benteng karena di sini ditempatkan seperangkat persenjataan militer berupa artileri.

Mulanya sangat sederhana, tapi seiring dengan perkembangan, benteng yang kemudian bernama Belvedere ini semakin komplet. Formasi bentengnya pun semakin sempurna. Di setiap sudut benteng (empat sudut) dibentuk bastion lengkap dengan meriam meriam, di depan Kalimas terdapat gerbang masuk benteng.

Surabaya Urban Track (Subtrack), wisata sejarah Begandring yang banyak diminati. foto:begandring

 

Oud Soerabaia juga menuliskan bahwa penyerahan kekuasaan wilayah Ujung Timur Jawa (Java’s Oost Hoek) dari Mataram kepada VOC jatuh pada 11 November 1743. Surabaya menjadi Ibu Kota Ujung Timur Jawa. Pemilihan sebagai Ibu Kota ini tidak lepas dari kesiapan Surabaya sebagai sebuah kota.

Jika dilihat ke belakang, sejak kedatangan penguasa VOC pada 1612 hingga penyerahan kekuasaan pada 11 November 1743, selama 131 tabun, kiranya sudah banyak perubahan dan perkembangan yang terjadi di Surabaya, perubahan itulah yang membentuk Surabaya sebagai sebuah kota yang secara administratif dan fungsi telah siap menjalankan fungsi Ibu Kota.

Sebagai sebuah kota yang dibatasi oleh tembok, disanalah tumbuh dan berkembang segala isinya baik secara fisik maupun manusia dengan sistim pengelolaan kotanya.

Surabaya semakin maju dan berkembang seiring dengan perubahan pemerintahan yang terjadi di penghujung abad 18. Yaitu dengan kebangkrutan VOC pada 1799 yang kemudian diganti dengan pemerintahan Hindia Belanda. Pada awal abad 19 ini, pengaruh Perancis dan Inggris sempat mewarnai Surabaya.

Baca Juga  PTPN XI Terima Penghargaan Cagar Budaya

Meski abad telah berganti, kini di abad 21, bekas kota bertembok ini masih kentara. Struktur jalan jalannya sama. Hanya gedung gedung di jalanan yang selalu mengalami perubahan sesuai dengan tren dan gaya pada masing masing jaman.

Kini, di abad 21, gaya arsitektur pada bangunan didominasi oleh langgam peninggalan abad 20 dengan kekhasan garis garis horizontal dan vertikal nya.

Tapi di area bekas Kota (Kampung) Eropa Surabaya ini, ternyata, masih menyimpan bebarapa bangunan dari abad 18 dengan ciri ciri fisik berupa: beratap tinggi meruncing ke atas, terdapat piron di ujung kiri dan kanan atas atap, tampak depan simetris dengan satu pintu di tengah yang diapit oleh dua jendela besar. Rumah langsung menghadap jalan.

Dalam penelusuran tim Begandring Soerabaia, di rumah rumah model seperti ini ditemukan struktur lantai segi enam yang terbuat dari bahan terakota seperti umumnya rumah rumah tradisional lokal dari era Majapahit di Trowulan.

Secara umum design rumah VOC di Surabaya ini sangat sederhana. Mereka dibangun ketika belum memiliki orientasi arsitektur. Mereka masih meniru gaya rumah lokal baik dari sisi bentuk dan bahkan sumber materialnya.

Sebagai referensi gaya arsitektur dari abad 18 ini dapat dilihat pada lithografi karya Johhaness Rach yang kemudian dilukis kembali oleh A Nelly, yang masterpiece-nya tersimpan di Rijkmuseum, Amsterdam. Bangunan sederhana dari abad 18 itu masih berdiri di kota (Kampung) Eropa di Surabaya.

Tidak cuma bangunan lama peninggalan dari abad 18 yang jumlahnya tinggal segelintir (rawan dibongkar karena alasan ekonomi), tapi juga ada 3 unit bangunan dari abad 19 yang pada bagian terasnya ditopang oleh pilar pilar. Satu bangunan ada di pojokan jalan Rajawali-Branjangan, dan dua lainnya ada di Jalan Mliwis. Ini bangunan langka.

Secara praktis, di Kampung Eropa Surabaya masih terdapat bangunan bangunan dari langgam abad 18, 19 dan tentu saja abad 20. Kawasan ini menjadi laboratorium hidup arsitektur perkotaan di Surabaya. Kawasan ini layak menjadi kawasan edukasi, ilmu pengetahuan, penelitian dan kajian ilmu arsitektur dan sipil.

Karenanya, jika pengembangan dan pengelolaan kawasan Kota Eropa, tema yang bisa diangkat sudah jelas. Yaitu, tema arsitektur perkembangan kota di bekas kawasan kota bertembok. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *