Bengawan Solo, Kaliagung, dan Jembatan Apung Lowayu

Ada yang menarik dari naditira pradeca Lowayu. Dari kosa kata “naditira” yang berarti “tepian sungai” saja, secara alami Lowayu tidak berada persis di tepian Bengawan seperti halnya Bedanten, Wringin Wok, Mojopuro, Jrebeng dan Pabulangan di Kabupaten Gresik. Jarak pusat peradaban (permukiman) Desa Lowayu dengan bibir Bengawan masih sekitar 2 kilometer.

Tapi mengapa Lowayu masuk dalam daftar nama-nama desa tepian sungai (naditira) yang ditetapkan Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit di pertengahan abad 14? Inilah yang menarik.

Karenanya, Ekspedisi Bengawan Solo 2022 memilih Lowayu sebagai salah satu pemberhentian (pit stop) ekspedisi. Meski titik pijakannya secara fisik tidak di Desa Lowayu, tetapi di dusun yang berada di tepian Bengawan. Dusun ini bernama Kaliagung-Tirem di Desa Tiremenggal.

Dusun Kaliagung berada di selatan Desa Lowayu. Jaraknya sekitar 1 kilometeran. Desa Kaliagung langsung menghadap ke Bengawan Solo.

Dari pengamatan dan penelusuran Tim Ekspedisi Bengawan Solo 2022, sebanyak dua kali kedatangan di Dusun Kaliagung (Desa Tiremenggal) dan Desa Lowayu, ditemukan fakta lapangan yang menarik.

Pertama, lokasi Bengawan Solo dan Desa Lowayu memang terpisah dengan jarak sekitar 2 kilometer. Kedua, di antara Bengawan Solo dan Desa Lowayu terdapat Dusun Kaliagung.

Ketiga, Dusun Kaliagung dialiri beberapa sungai. Salah satunya Kali Gedhe (sungai besar). Dari data peta Belanda tahun 1866, Kali Gedhe sudah tergambar di sana. Berdasarkan pengamatan lapangan, Kali Gedhe adalah sungai alami yang sudah ada sejak dulu. Sungainya curam dan dalam.

Waduk Lowayu yang luas dan eksotik. foto: begandring

Keempat, di antara Kaliagung dan Desa Lowayu terdapat waduk luas (Waduk Lowayu). Waduk ini terkoneksi dengan Kali Gedhe yang panjangnya sekitar 900 meter, menghubungkan dengan Bengawan Solo. Waduk ini juga tergambar pada peta 1866.

Baca Juga  Klenteng Boen Bio Dibongkar, Begini Faktanya!

Kelima, Dusun Lowayu jauh lebih besar dibandingkan Dusun Kalitengah dan Dusun Tirem (Desa Tiremenggal) yang menjadi penyangga Desa Lowayu.

Keenam, Desa Lowayu memiliki tingkat peradaban yang jauh lebih tua daripada Kaliagung dan peradaban tua itu masih bisa diamati hingga sekarang, misalnya adanya sendang banyu biru, goa, watu kenong, dan beberapa rumah tempo dulu bergaya Jawa yang cukup megah.

Ketujuh, di Dusun Kaliagung tidak diketemukan bukti peradaban kuno kecuali sebuah tempat di tepi Bengawan atau di muara Kali Gedhe yang oleh warga disebut “Ngaban”.

Sesepuh kampung Dusun Kaliagung mengatakan, tempat ini dulu digunakan sebagai area pembakaran mayat. Ada kemiripan dengan tradisi di Bali dengan adat istiadat Ngaben, upacara pembakaran mayat.

Dari kesaksian sesepuh Kaliagung, di area Ngaban ini pernah ada pohon beringin besar yang menjadi tempat pemujaan atau disebut punden. Keberadaan Ngaban tempo dulu ini juga dikuatkan dengan adanya arca.

Sekarang, tradisi Ngaban sudah sirna. Bahkan pohon besar dan arca juga sudah tidak ada. Tempat ini sempat dianggap angker dan wingit. Ketika pohon beringin besar ditebang oleh warga untuk menghilangkan kesan angker di dusun, warga sempat mengalami kesulitan. Bahkan, ada warga yang sakit akibat menebang pohon itu.

Keluarga lima generasi tinggal di rumah lama di Lowayu. foto: begandring

Tempat Peribadatan

Dari temuan lapangan itu, muncul sebuah hipotesa bahwa Dusun Kaliagung yang dianggap sebagai daerah penyangga Desa Lowayu, maka Kaliagung dengan sungainya termasuk Kali Gedhe yang menghubungkan Bengawan Solo dan Waduk Lowayu, maka Dusun Kaliagung diduga sebagai Jembatan Apung (floating bridge) Lowayu.

Istilah Jembatan Apung sesungguhnya tidak asing dalam tata konstruksi Majapahit, karena di sana pernah ada juga istilah Jembatan Apung Majapahit (Majapahit Floating Bridge).

Ketika Kaliagung berfungsi sebagai Jembatan penghubung antara Lowayu dan Bengawan Solo, wajar jika peradaban di sana tidak sebanyak di Lowayu. Keberadaan ketuaan Dusun Kaliagung dan Dusun Tirem juga sudah tergambar pada peta 1866. Kala itu, kedua dusun ini sangatlah kecil dibandingkan dengan keberadaan Desa Lowayu.

Baca Juga  Nguri-Uri Budaya Bengawan Solo

Dalam perkembangannya hingga sekarang, Desa Lowayu memang jauh lebih besar dibandingkan dua dusun di tepi Bengawan ini (Kaliagung dan Tirem di desa Tiremenggal).

Dari fakta dan data yang didapat Tim Peneliti Ekspedisi Bengawan Solo 2022 ini, maka dapat disimpulkan bahwa Dusun Kaliagung adalah Jembatan yang menghubungkan peradaban Lowayu dengan Bengawan Solo. Karena sistem perhubungan di era Majapahit masih mengandalkan perahu, maka Dusun Kaliagung merupakan Jembatan Apung Lowayu (Floating Bridge of Lowayu).

Di bibir Bengawan inilah terdapat jasa tambangan yang kemudian diapresiasi oleh Raja Hayam Wuruk dengan menyertakan ke dalam Prasasti Canggu (1358 M). Tambangan ini menghubungkan Kaliagung dengan desa di seberang Bengawan yang bernama Desa Candi.

Dari kata candi, dapat diduga bahwa di desa tersebut pernah ada tempat peribadatan atau pamujaan sebuah candi. Dari keterangan beberapa warga yang melintas Bengawan dengan jasa tambangan, mereka bersaksi bahwa pernah ada temuan batu bata kuno besar di area pemakaman yang tidak jauh dari Bengawan.

Dari temuan data dan fakta lapangan serta keterangan warga setempat, dapat diduga bahwa Raja Hayam Wuruk menghargai Lowayu karena ada warganya yang menyediakan jasa tambangan untuk menghubungkan dengan tanah suci yang ada tempat peribadatan candi. Kini, tempat itu bernama Desa Candi.

Keberadaan candi di Desa Candi zaman dulu, jika dikaitkan dengan Ngaban di Kaliagung yang menjadi tempat pembakaran mayat, bisa diduga setelah upacara pembakaran, abunya dibawa ke tempat peribadatan yang ada di seberang sungai.

Setidaknya inilah analisa Tim Penelitian Ekspedisi Bengawan Solo 2022 mengenai Kaliagung sebagai Jembatan Apung Lowayu. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *