GKR Paku Buwono XIII Terima Pegiat Budaya Surabaya di Kraton Surakarta

Fatwa ramalan seorang pujangga dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Ki Ngabehi Ronggo Warsito, yang merupakan terusan dari Jangka Jayabaya, berbunyi, “Kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange”. Artinya, sungai hilang kedalamanya dan menjadi dangkal. Sementara pasar sudah tidak bergemuruh karena supermarket dan mall telah membandrol dengan harga pas.

Kalau mau silakan ambil, tidak mau silakan pergi, take it or leave it. Di sana tidak ada lagi tawar menawar yang menjadi media komunikasi dan interaksi sosial antarmanusia. Tidak lagi ada sapa menyapa. Tidak ada lagi suara gemuruh antara pembeli dan penjual dalam interaksi sosial dan ekonomi.

Ini adalah gambaran kehidupan modern yang telah mengambil alih kehidupan tradisional. Budaya saling sapa yang sangat luhur beranjak hilang, tergantikan oleh budaya lain yang kaku. Masih banyak lagi perubahan perubahan kultur, utamanya budaya Jawa, di era yang semakin modern.

Di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta dan bahkan di kota yang menjadi kiblat kebudayaan Jawa, Surakarta, perubahan itu sudah sangat kelihatan. Misalnya sebuah andong tradisional yang melintas disamping tembok ndalem kraton dan mengangkut beberapa penumpang warga lokal, yang salah satu penumpangnya menyapa dengan sapaan kekinian, “hallo guys”. Tentu yang disapa, yang tidak lain rombongan pemerhati budaya Jawa dari Surabaya, kaget.

Karenanya, sebuah tanggul budaya (perlindungan terhadap nilai nilai budaya) untuk membentengi diri dari ancaman degradasi nilai nilai budaya perlu dibangun.

Sekelompok pemerhati budaya Jawa di Surabaya, yang terdiri dari berbagai latar belakang (pengusaha, sejarawan, budayawan, seniman, angkasawan dan dosen) bersepakat untuk menjadi benteng budaya.

Atas bimbingan dan arahan kerabat Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Surabaya, mereka berangkat ke Surakarta untuk ngangsu kaweruh (menimba ilmu) sebagai bekal dalam upaya menjaga dan melestarikan nilai nilai dan budaya Jawa di Surabaya pada khususnya.

Keberangkatan mereka ke Surakarta pada Sabtu dan Minggu (27-28/8/2022) bertepatan dengan undangan Hajaddalem Kanjeng Sri Susuhunan (SISKS) Paku Buwono XIII, berupa pergelaran wayang kulit, yang digelar secara terbuka di halaman Kori Kamandungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pergelaran ini  dalam rangka tutup bulan Sura di tahun EHE 1956 (bulan pertama dalam tahun Jawa).

Baca Juga  Potensi Heritage Surabaya di Mata Operator Wisata Belanda

Pergelaran wayang kulit semalam suntuk ini merupakan kegiatan budaya yang diharapkan dapat menjadi inspirasi dan jalan untuk melestarikan adat dan budaya Jawa di wilayah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada khususnya dan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada umumnya.

Pergelaran wayang yang mengambil lakon “Sesaji Rajasuya” ini didalangi oleh Ki Kangjeng Gusti Pangeran Haryo Adipati Benowo, yang tidak lain adalah adik kandung Sri Susuhunan Pakubuwono XIII.

Di tengah tengah jalannya pergelaran, tepat pada pukul 12 malam, dilakukan prosesi do’a bersama yang ditandai dengan membunyikan lonceng Keraton dan diikuti dengan pemadaman lampu serta siram beras kuning disekitar halaman Kori. Dalam suasana Heneng-Hening-Henung itu, Sang Dalang memimpin pemanjatan doa.

Semua hadirin dari beragam umat beragama dan kepercayaan terdiam sejenak dalam gelap: merenung dan mendoa untuk keselamatan dan mencapai cita cita mulia. Di saat heneng, hening dan henung ini pulalah, diyakini bahwa Nyi Roro Kidul hadir. Masing masing pengunjung, yang yakin akan akan kehadiran ruh Nyi Roro Kidul, merasakan adanya kontak spiritual dalam hening, hening dan henung itu.

Wayang semalam suntuk dimulai pukul 20.00 WIB (27/8/2022) dan selesai pada pukul 03.30 WIB (28/8/2022). Acara ini langsung dihadiri oleh Sinuwun Kangjeng Sri Susuhunan (SISKS) Pakubuwono XIII yang ditemani Gusti Kangjeng Ratu (GKR) Pakubuwono XIII beserta kerabat Ndalem dan warga Surakarta. Tidak kurang dari 1500 orang menjejali halaman Kori Kamandungan. Disana pungguwo dan kawulo melebur jadi satu.

Di Sasono Putera Ndalem Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. foto: begandring

 

Pusaka Keraton

Pagelaran wayang kulit di Kori Kamandungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat untuk menutup bulan Suro tahun EHE 1956 pada 27 Agustus 2022 ini semakin sakral dengan digunakannya pusaka Kraton “Kanjeng Kyai Kanyut”, yang berupa seperangkat wayang kulit peninggalan Sinuwun Pakubuwono IV. Sekarang sudah di era Pakubuwono XIII, yang berarti usianya sudah ratusan tahun.

Pusaka Keraton “Ringgit Pusaka Kangjeng Kiyai Kanyut” ini jarang dikeluarkan, kecuali pada acara acara tertentu yang digelar oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pusaka keraton yang usianya sudah sangat tua ini membuat sang Dalang harus berhati hati dalam memainkan wayang. Selain berhati hati dalam hal isi dan pesan yang disampaikan, juga berhati hati dalam melakukan sabetan untuk adegan adegan perang. Bahkan saking berhati hatinya agar tidak merusak kondisi wayang yang sudah tua, untuk sabetan digunakan ringgit lain.

Baca Juga  Surabaya Pernah Punya Keraton, Ini Buktinya!

Keistimewaan dan kesakralan pergelaran dalam tutup bulan suro tahun EHE 1956 ini adalah dengan disaksikannya oleh SISKS Pakubuwono XIII dengan didampingi GKR Pakubuwono selama semalam suntuk. Acara wayangan ini juga disiarkan secara langsung melalui livestreaming di channel youtube “Adipati Benowo Channel”.

Dalang dalam pergelaran wayang kulit ini adalah Dalang Keraton KGPH Adipati Benowo, yang tidak lain adalah adik kandung Kanjeng Sinuwun Pakubuwono XIII. Dalam memainkan pusaka Keraton ini, Ki Dalang Adipati Benowo juga menginformasikan bahwa seperangkat wayang kulit ini adalah benda pusaka keraton yang tidak setiap saat dikeluarkan dan dimainkan.

“Meski malam ini menggunakan Ringgit Pusaka Kangjeng Kiyai Kanyut Peninggalan Sinuwun Pakubuwono IV, namun untuk sabetan kita menggunakan Ringgit lain,” pungkas Ki Dalang, Adipati Benowo.

Sri Susuhunan Paku Buwono XIII beserta Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwono XIII.

 

Paguyuban Kusuma Handrawina

Dalam upaya pelestarian budaya Jawa, Kanjeng Gusti Ratu (KGR) Pakubuwono XIII, yang didampingi oleh KPH Adipati Harry HS Sosronagoro, berkenan menerima kunjungan rombongan pemerhati dan pelestari budaya Jawa di Surabaya di Sasana Putra, ndalem Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada Minggu sore, 28 Agustus 2022.

Disadari bahwa budaya Jawa di era moderen tengah menghadapi  banyak ancaman, yang ujung ujungnya, cepat atau lambat, akan sampai pada hilangnya nilai nilai dan tradisi Jawa. Jika tidak ada upaya bersama dalam melindungi dan melestarikan budaya Jawa.

Sebuah paguyuban pelestarian budaya Jawa, Paguyuban Kusuma Handrawina (PKH) bentukan Gusti Kanjeng Ratu Pakubuwono XIII adalah salah satu wadah untuk upaya pelestarian budaya Jawa (Keraton Kasunanan Surakarta) sebagai bagian dari budaya Nusantara.

Di Sasana Putera, tempat menerima tamu umum inilah, Gusti Kanjeng Ratu menyampaikan bahwa siapaun yang kelak tergabung dan dipilih menjadi bagian dari Paguyuban Kusuma Handrawina (PKH), maka mereka harus bisa menyesuaikan diri dan adaptasi dengan aturan aturan yang ada dalam Keraton, misalnya mulai dari tata busana, tata krama, hingga tata bahasa.

Baca Juga  Melestarikan Sisa Peradaban Maritim Majapahit di Surabaya

Akan sangat indah jika tradisi Jawa ini bisa teraplikasikan di luar kraton. Dengan begitu maka tradisi leluhur ini akan tetap terjaga meski jaman semakin moderen dan maju seperti halnya di negara Jepang. Jepang adalah negara maju tapi tradisi masih dipegang.

Apalagi jika pihak Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sampai berkenan memberikan peparingan ndalem, kekancingan, atau meresmikan mereka sebagai bagian dari pengabdi dalem kraton (abdi dalem). Peresmian atau pelantikan itu secara tradisi akan dilakukan oleh Raja, Kanjeng Sri Susuhunan Pakubuwono yang sedang berkuasa.

“Begitu Kanjeng Sinuwun Pakubuwono XIII melantik yang secara administrasi ditandai dengan penandatanganan sertifikat, maka sertifikat itu akan menjadi arsip keraton”, jelas Gusti Kanjeng Ratu Pakubuwono X III di hadapan pegiat dan pelestari budaya Jawa dari Surabaya.

Para pegiat budaya Jawa itu terdiri dari Dachlan Harahap (Kerabat kraton dan dosen), Jonatan Christanto Wibisono (seniman dan sineas), Ignatius Rahmat Santoso (Presiden Rotary Surabaya persada), Edi Setyono (budayawan Jawa), Nanang Purwono (pegiat sejarah), Harley Matair (videographer), Rudi Situmorang (Jurnalis), Amimun Najib (jurnalis), Wulan Handayani (Youtuber dan Penyiar Radio), Dyan Nugra (pengusaha).

“Penandatanganan pada sertifikat penganugerahan gelar abdi dalem tidak sekedar teken tapi tapak asta ini adalah proses penunjukan sakral yang turun dari leluhur leluhur sebelumnya melalui Sri Susuhunan Paku Buwono yang sedang berkuasa”, tambah Gusti Kanjeng Ratu agar siapapun yang mendapat amanah dalam pelestarian budaya Jawa di bawah arahan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat benar benar siap dan madep mantep.

Terkait dengan paguyuban pelestarian budaya Jawa, PKH, dimanapun berada harus menjalankan sesuai dengan koridor Keraton. Keraton menjadi punjer PKH. Semua atas arahan Gusti Kanjeng Ratu. Gusti Ratu juga mengingatkan agar PKH tidak ditunggangi oleh kelembagaan lain. Kegiatan yang bersifat kolaboratif dengan lembaga lain dan bertujuan untuk mencapai cita cita pelestarian budaya Keraton dan budaya Jawa sangat dimungkinkan.

“Ana Raja, ana Kraton. Ana Kraton, ana Raja”, pesan Gusti Ratu agar pelestarian dan pengembangan budaya Jawa senantiasa sesuai dengan petunjuk Sinuwun yang sedang bertahta di Keraton.  (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *