Nama Hujung Galuh sebagai pelabuhan kuno sudah nyata-nyata tertulis di Prasasti Kamalagyan (1037 M). Menurut pembacaan para epigraf, salah satunya Dr. Abimardha Kurniawan S dari Unair, Hujung Galuh terletak di bagian hulu sungai, tidak di Surabaya.
Namun publik masih menganggap bahwa Hujung Galuh itu di Surabaya. Dari data yang diperoleh tim riset Begandring, diketahui bahwa ternyata Hujunggaluh yang dikatakan berada di Surabaya itu karena hasil kesimpulan dan penafsiran dari pembacaan kata dalam aksara China yang berbunyi “Su-la-yu” atau “Su-Ga-Lu”.
Groenneveld menganggap Su-La-Yu atau Su-Ga-Lu adalah Sidayu (Gresik). Tapi dibantah N.J. Krom dan Dra. Oey Swan Nio, dosen sejarah Tiongkok dari seksi Sinologi, Jurusan Asia Timur, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia Jakarta. Oey Swan Nio menganggap bahwa Su-la-yu” atau “Su-Ga-Lu” adalah “Yung-Ya-Lu” atau Hujunggaluh.
Jadi, mereka menyimpulkan bahwa “Yung-Ya-Lu” jika diucapkan bunyinya lebih dekat ke Hujunggaluh daripada Sedayu.
Prof Suwoyo Woyowasito, dengan dasar tinjauan perkembangan bunyi, membuktikan sekaligus menyimpulkan bahwa “Su-Ya-Lu” adalah perubahan bunyi lafal Tionghoa dari Hujunggalug. (Buku Hari Jadi Kota Surabaya:96).
Pernyataan ini ditegaskan dalam buku Hari Jadi Kota Surabaya bahwa berdasarkan bunyi bahasanya bunyi Su-La-Yu lebih tepat kalau dihubungkan dengan Hujunggaluh (Surabaya) daripada Sidayu (Gresik).
Menyimak isi buku Hari Jadi Kota Surabaya (1975) yang memuat hasil penelitian tim ahli hari Jadi kota Surabaya, Tim Periset Begandring Soerabaia (2023) menilai bahwa di sana ada pemaksaan pendapat agar Hujunggaluh itu “berada” di Surabaya.
Padahal, sudah tegas dituliskan pada Prasasti Kamalagyan (1037 M) sebagai sumber sejarah yang otentik bahwa Hujunggaluh berada di hulu sungai. Seperti penegasan Abimardha bahwa Hujunggaluh tidak di Surabaya.
Dengan pemaksaan pendapat, tim ahli hari jadi kota Surabaya seolah menggugurkan data faktual dari Prasasti.
Tim periset Begandring (2023) menilai, tim ahli Hari Jadi Kota Surabaya memaksakan pendapat bahwa Su Ya Lu adalah Hujunggaluh.
Pemaksaan ini semakin kelihatan ketika Tim Ahli mengkaitkan nama jalan Galuhan di Surabaya sebagai bentuk perubahan dari nama (Topinimi) Hujunggaluh.
Padahal nama jalan Galuhan adalah nama baru atas perubahan nama nama yang berbau kolonial pada tahun 1950, sebagaimana diberitakan oleh surat kabar oleh Nieuwe Courant, 28 Maret 1950.
Sejarah adalah fakta. Prasasti Kamalagyan (1037) adalah fakta sejarah tentang keberadaan Hujunggaluh.
Sejarah kedatangan Mongol (1293) ke pedalaman Jawa melalui Tuban, Sidayu dan Surabaya adalah fakta yang ditulis Groenneveld berdasarkan catatan China.
Karenanya perlu ada sikap pembenaran berdasarkan fakta fakta sejarah. Kenapa dua fakta sejarah ini digugurkan oleh penafsiran-penafsiran? (nanang purwono)