Temuan keberadaan Prasasti Canggu oleh Begandring Surabaya di Museum Nasional Jakarta mendapat tanggapan beberapa akademisi dan tokoh masyarakat.
Adrian Perkasa, sejarawan Universitas Airlangga yang sekarang menempuh gelar doktor di Leiden, Belanda menuturkan, dengan diketahuinya Prasasti Canggu maka daerah yang memiliki keterkaitan dengan prasasti tersebut, seperti Surabaya, harus turut bertanggung jawab atas edukasi publik.
“Karenanya pemerintah harus melakukan kajian lebih mendalam atas benda yang memiliki keterkaitan dengan isi prasasti itu dan sekaligus memberikan akses seluas-luasnya kepada koleksi itu,” katanya.
Menurut Adrian, Undang Undang Nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan mengamanahkan bahwa setiap daerah kota dan kabupaten harus melaksanakannya. Yakni, memajukan nilai-nilai kebudayaan yang ada pada 10 objek pemajuan kebudayaan sebagaimana tercantum pada pasal 5.
“Salah satu dari 10 objek pemajuan kebudayaan itu adalah manuskrip. Manuskrip itu bisa berupa naskah pada prasasti dan prasasti yang dengan jelas menyebut nama dan keberadaan Surabaya adalah Prasasti Canggu,” jelasnya.
Adrian menegaskan, museum-museum, utamanya Museum Surabaya, harus melakukan kajian lebih mendalam atas koleksi koleksi yang ada. Termasuk artefak Prasasti Canggu yang sudah diketahui dengan pasti keberadaannya.
Abimardha Kurniawan, epigraf dari Universitas Airlangga, mengatakan, lempeng Prasasti Canggu yang sudah diketahui keberadaannya di Museum Nasional Jakarta adalah lempeng yang berkode E54, dimana di kedua sisinya terdapat inskripsi.
“Salah satunya menyebut nama Śūrabhaya (Surabaya),” tegasnya
Abimardha menambahkan, sebelumnya pada tahun 1985, pernah dilakukan riset oleh Boechari & A.S. Wibowo dan hingga penulisan buku oleh Edhie Wurjantoro yang menyatakan bahwa hanya lempeng dengan kode E54 yang telah dialih aksarakan.
Menurut Abimardha, sesungguhnya ada lima lempeng Prasasti Canggu, yang juga disebut Prasasti Trowulan. Ada dua kode inventarisasi, (1) kode E36 hanya satu lempeng, yakni lempeng ke-10 (Trawulan VII). Kemudian (2) kode E54, ada empat lempeng, yakni lempeng 1, 3, 5, dan 9. (Trawulan I).
Sementara yang sudah dengan jelas keberadaannya setelah hasil penelusuran Begandring adalah kode E54. Tepatnya untuk kode di kedua sisi lempeng itu adalah E54c (side A) dan E54 c (side B).
Fifia Wardhani, staf museum yang ahli epigraf mengatakan, kata Śūrabhaya (Surabaya) tersebut pada kode E54c, sisi kedua (side B) pada baris ke empat.
Pernyataan itu sebagaimana terkutip pada footage video ketika utusan Begandring datang melihat prasasti di Museum Nasional Jakarta.
“Jadi, secara sejauh ini yang diketahui hanya lima lempeng. Jumlah yang ada ini masih belum lengkap. Kemungkinan prasasti Canggu ada lebih dari sepuluh lempeng. Yang saya pahami kita tidak akan menemukan informasi yang lebih utuh dari prasasti yang penting ini karena memang belum semua lempeng prasasti ini ditemukan,” imbuh Abimardha.
Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya AH Thony meminta Pemkot Surabaya bergerak cepat untuk menyusun langkah-langkah pasca ditemukannya Prasasti Canggu. Bahkan, dia mengusulkan ada pemasyarakatan benda bersejarah.
“Tentu bukan benda fisiknya yang menjadi fokusnya, tetapi nilai-nilai di balik benda tersebut. Dari prasasti itu, kita bisa tahu bagaimana peran desa Surabaya kala itu sehingga dicatat oleh raja,” ujar dia.
“Namun secara fisik warga Surabaya harus mengenalnya. Misal dibuat spanduk spanduk yang dipasang di tempat tempat publik,” timpal AH Thony.
Yang dijelaskan oleh AH Thony yang juga sebagai tokoh budaya kota Surabaya ini, adalah bentuk aksi untuk mendukung upaya pemajuan kebudayaan.
“Kita patut berterima kasih kepada Begandring Soerabaia yang pada akhirnya bisa menguak keberadaan Prasasti Canggu yang selama ini dikabarkan tidak jelas keberadaannya,” tandas AH Thony.
Penting Bagi Surabaya
Surabaya adalah salah satu nama desa di tepian sungai (naditira pradeca) yang tersebut pada lempeng prasasti dengan kode E54.
Dalam prasasti itu desa Surabaya adalah salah satu desa desa di sepanjang aliran Kali Brantas yang menyediakan jasa penyeberangan sungai (tambangan).
Karena fasilitas publik itulah nama Surabaya dicatat oleh Raja Hayam Wuruk yang dikeluarkan tertanggal 7 Juli 1358 M.
Hingga sekarang jasa tambangan itu masih ada di Surabaya. Selain ada di Kali Surabaya di wilayah Pagesangan (Gsang), juga ada di Kalimas di wilayah Ngagel.
Sayang sekali banyak orang tidak tahu bahwa tambangan atau penyeberangan sungai yang masih ada di Surabaya itu adalah wujud peradaban maritim Majapahit.
Karena fasilitas jasa tambangan inilah, kota ini dinamakan Surabaya. Surabaya berasal dari nama desa kecil di tepian sungai (naditira pradeca) Śūrabhaya.
Maka dengan diketahuinya keberadaan sumber sejarah premier kota Surabaya yang bernama Prasasti Canggu atau Trowulan I yang berangka tahun 1358 M, perlu kiranya ada aktualisasi nilai nilai yang terkandung dalam prasasti itu.
Untuk diketahui, keberadaan Prasasti Canggu (1358) ditemukan keberadaan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti tersebut memang tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Karena tidak pernah dipamerkan, maka muncul spekulasi dan dugaan tentang keberadaannya bahwa prasasti yang dibuat oleh Raja Hayam Wuruk di era Majapahit itu, sudah tidak ada.
Begandring Soerabaia bisa memastikan bahwa benda bersejarah itu tersimpan dengan baik di Museum Nasional Jakarta. Rabu siang, 26 April 2023, utusan Begandring Soerabaia, Dian Nur Aini, melihat dan memegang benda bersejarah itu secara langsung di kantor Museum Nasional Jakarta.
“Benda ini adalah benda bersejarah yang penting dan dilindungi oleh undang undang dan karenanya kami menyimpannya dengan baik. Selama ini kami menyimpan di storage koleksi”, kata Fifia Wardhani, staf museum yang juga seorang epigrafer Museum Nasional Jakarta, kepada Dian.
Prasasti Canggu ini berukuran lebar 11 cm dan panjang 30 cm, terbuat dari logam tembaga yang berwarna kuning kemerahan dengan sembur kehitaman.
Dian mengaku merinding dan bangga dapat memegang benda bersejarah bagi kota Surabaya. Selama ini, Prasasti Canggu menjadi perhatian Begandring Soerabaia karena menjadi sumber sejarah premier bagi kota Surabaya.
Pada prasasti ini terinskripsi dengan jelas nama Surabaya, yang tertulis dalam aksara Jawa kuna atau Kawi. (nanang purwono)