Revitalisasi Kalimas Harus Ramah Sejarah

Kalimas sudah menjadi ikon Kota Surabaya. Grup band The Gembells yang mengabadikan lewat tembang Balada Kalimas (1970). turut mempopulerkaan sungai yang membelah Kota Surabaya: Timur dan Barat. Sungai ini menjulur dari selatan, dimulai dari Jagir Wonokromo hingga ke utara di wilayah Semampir dan bermuara di Selat Madura.

Secara historis, Kalimas sudah dikenal sebagai urat nadi perekonomian, perhubungan, dan pembangunan kota. Alkisah buah delima milik Mbah Bungkul terhanyut oleh air sungai hingga ke Pegirian yang awalnya melalui Kalimas ini dari wilayah Bungkul.

Dalam Prasasti Canggu (1358 M), Desa Bungkul sudah tertulis dengan ejaan “Bkul”, sebuah nadirira pradeca, desa yang melayani jasa tambangan atau penyeberangan.

Perkembangan Surabaya di era Belanda secara historis juga didukung oleh Kalimas. Melalui sungai inilah beragam bahan materialan bangunan dan kebutuhan sembako diangkut dengan perahu perahu dari pedalaman.

Tidak hanya menjadi sarana transportasi perahu barang, tapi juga perahu angkut manusia. Jalur sungai kala itu masih menjadi sarana utama transportasi.

Pada 1420-an, ketika Cheng Ho melakukan perjalanan ke wilayah kota Raja Majapahit, rombongannya dengan menggunakan perahu perahu kecil menyusuri Kalimas dari muara sungai hingga ke pedalaman. Berita ini sebagaimana ditulis oleh Mahuan, seorang juru tulis yang mengikuti perjalanan Cheng Ho.

Infrastruktur yang ada di Kalimas untuk mendukung kegiatan dan aktivitas manusia mulai dibangun dan ditata di era Hindia Belanda. Misalnya, ada jembatan jembatan dan pintu air (sluis) yang berfungsi sebagai jalur hilir mudik perahu dan sarana irigasi di Surabaya.

Pada zaman itu, Surabaya termasuk daerah agraris. Selain terdapat hamparan sawah yang luas, juga ada kebun tebu. Utamanya di kawasan Gubeng ke arah selatan. Itu sebabnya ada jejak pabrik- pabrik gula di sana, seperti di Jalan Ketabang, Gubeng, Bagong, Darmo, Ketintang, dan Karah.

Baca Juga  Koesno, Soera Ing Baja, dan Kisah Para Pereka Ulang

Sekarang, meski zaman sudah berubah dan Kalimas sudah tidak lagi menjadi sarana transportasi, perhubungan dan pembangunan, namun sisa- sisa dari infrastruktur masih bertengger di sana. Jembatan-jembatan masih bisa digunakan, kecuali Jembatan Petekan. Hanya saja, sluis yang dulu berfungsi sebagai jalur hilir mudik perahu sudah tidak bisa dioperasikan lagi. Semua ini menjadi bukti pentingnya Kalimas kala itu.

Water front Kalimas. foto: dok/pri

Tidak Berjalan Mulus

Tidak hanya “Kalimas” yang identik dengan Kota Surabaya, kata “Revitalisasi” itu sendiri juga seolah identik dengan Kalimas. Sebab, frasa “Revitalisasi Kalimas” ini sudah terekspos dan terdengar sejak tahun 1990-an, sebagai salah satu kebijakan pembangunan Kota Surabaya.

Revitalisasi Kalimas yang sudah ditetapkan sebagai kebijakan Pemerintah Kota Surabaya, ternyata tak berjalan mulus. Penataan dan perbaikan yang menyangkut Kalimas berjalan atau dilakukan secara parsial. Tidak menyeluruh.

Pernah ada penataan bantaran Kalimas dengan pembuatan taman-taman. Ada pekerjaan pengerukan sungai, ada pemanfaatan Kalimas sebagai wahana wisata dan olahraga raga air. Juga pembersihan dan perapian tepian sungai. Bahkan pernah ada membuat taksi air.

Semua aktivitas tersebut berjalan terpisah dalam waktu yang berbeda-beda. Hasilnya bisa ditebak: gatot alias gagal total. Tidak ada keterpaduan satu dengan lainnya.

Sekarang, di era kepemimpinan Wali Kota Eri Cahyadi, revitalisasi Kalimas kembali digaungkan, seperti yang dilansir di Jawa Pos, Selasa (8/3/2022).

Kini, muncul pertanyaan, seperti apakah revitalisasi Kalimas? Apa saja yang akan dilakukan dalam revitalisasi ini? Apa target dan ending dari revitalisasi ini?

Hingga kini, belum ada penjelasan secara holistik dan konseptual dari Pemerintah Kota Surabaya. Publik hanya bisa bertanya-tanya dan memendam rasa ingin tahu (curiosity).

Yang jelas, jangan sampai rencana revitalisasi ini hasil akhirnya seperti sebelumnya: cuma pepesan kosong.

Baca Juga  Stikosa AWS Photo Week 2023, Saat Isu Lingkungan Tersaji dalam Bingkai Visual

Secara harfiah, menurut Wikipedia, revitalisasi adalah suatu proses atau cara dan perbuatan untuk menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya terberdaya, sehingga revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan untuk menjadi vital. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau sangat diperlukan sekali untuk kehidupan dan sebagainya.

Nah, hal ini bisa tepat sasaran jika dalam merevitalisasi ada pendekatan historis untuk mengetahui seperti apa dan bagaimana Kalimas terberdayakan.

Berangkat dari keberadaan Kalimas tempo dulu, maka dapat diketahui ke arah mana upaya revitalisasi itu hendak dicapai.

foto: dok/pri

Harus Menyeluruh

Kalimas adalah sungai yang menjadi saksi peradaban kota. Baik sebagai sebagai urat nadi perekonomian, perhubungan, pembangunan dan kehidupan Surabaya.

Jika saat ini Kalimas sudah tidak seperti dulu lagi, maka dalam upaya revitalisasi, ending-nya harus menjadikan Kalimas bisa diberdayakan untuk mendukung perekonomian, perhubungan, dan pembangunan. Termasuk kehidupan masyarakat agar lebih sejahtera.

Yang nyata terlihat di Kalimas adalah bagaimana membenahi banyaknya instrumen yang sudah tidak berfungsi atau terlihat usang, jelek dan tidak indah. Misalnya, adanya pendangkalan, harus dilakukan pengerukan secara menyeluruh.

Adanya pintu air yang rusak dan tidak berfungsi, juga harus diperbaiki. Bantara kali yang rusak harus dibenahi dengan memperhatikan struktur bangunan yang ada dan mengembalikan seperti sedia kala, khususnya di kawasan Kota Tua Surabaya.

Marina-marina yang masih ada bisa dimanfaatkan untuk persinggahan perahu sebagai sarana taksi air. Masih banyak lagi yang harus dikenali dari Kalimas sebagai bekal melakukan revitalisasi.

Dengan demikian, revitalisasi atau perbaikan Kalimas tidak mematikan dan mengubur sejarah. Karena revitalisasi memang harus ramah sejarah (historically friendly revitalisation). (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *