Duh, Eks Rumah Sakit Kelamin Surabaya Dibongkar

Sebulan lalu, tepatnya 10 Februari 2022, sumber begandring.com memberi informasi dini perihal akan dibongkarnya kompleks gedung bersejarah yang pernah menjadi Rumah Sakit Kelamin di Jalan Indrapura 17, Surabaya.

“Di tempat ini akan dibangun 3 tower @10 lantai. Maret dirubuhkan,  Nopember, peletakan batu pertama,” begitu pesan singkat melalui Whatsapp (WA) yang diterima begandring.com.

Rabu, 9 Maret 2022, sumber yang sama kembali menginformasikan, pembongkaran mulai dilakukan. Informasi itu berupa pesan singkat yang dikirim melalui WA disertai beberapa foto yang memperlihatkan para tukang sedang menurunkan genting-genting dari atap bangunan. Barang-barang itu kemudian diangkut  oleh truk besar keluar kompleks.

Ketika begandring.com datang ke lokasi, kegiatan terlihat tengah berlangsung. Tapi dilarang masuk dan mendekat oleh beberapa petugas keamanan.  Tidak cuma awak begandring.com yang dilarang, para wartawan dari media lokal dan nasional yang sudah datang di lokasi, juga dilarang masuk.

Karena sudah dimulai pembongkaran dengan penurunan genting, begandring.com segera melaporkan temuan lapangan ini kepada Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Pemkot Surabaya dan mengkroscek tentang status bangunan tersebut, apakah sudah tercatat sebagai bangunan cagar budaya (BCB) atau tidak.

Ketua TACB Kota Surabaya Retno Hastijanti membenarkan bahwa komplek bangunan itu adalah cagar budaya. Jika menimbang dari usia bangunan jelas sudah lebih dari 50 tahun sebagai salah satu kriteria Cagar Budaya sesuai UU Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya.

Gedung ini dibangun pada tahun 1951. Diresmikan tahun 1953. Awalnya sebagai Lembaga Pusat Penyelidikan dan Pemberantasan Penyakit Kelamin (LP4K). Selanjutnya lembaga ini tidak hanya bertugas sebagai Venerisch Hospitaal (Rumah Sakit Kelamin) tapi juga menjalankan peran preventif, penyuluhan, penelitian, dan pendidikan.

Baca Juga  Komando Keramat Gubernur Soerjo Pukau Pengunjung Balai Pemuda
Gedung Rumah Sakit Kelamin tahun 1953

Sifilis Merajalela

Ada sejarah kelam yang melatarbelakangi pembangunan gedung LP4K di Jalan Indrapura Surabaya. Bangunan milik Kementerian Kesehatan itu resmi berdiri pada 1951 silam.

Bangunan itu berdiri sebagai peninggalan sejarah kelam praktik prostitusi dan pergaulan bebas tentara Belanda di Tanah Air selama 1812-1942 yang menyebabkan meluasnya penyakit kelamin di Pulau Jawa.

Ketika Belanda hengkang dari Indonesia pada 1942, penyakit sifilis sebagai salah satu penyakit kelamin yang meresahkan masih bercokol di Tanah Jawa. Untuk mengatasi itulah LP4K didirikan.

Dahulu, dipimpin Soetopo mantan Menteri Kesehatan di era kabinet Abdul Halim Perdana Menteri Indonesia (1949), LP4K menjalankan fungsi preventif, promotif, penelitian dan pendidikan seputar penyakit kelamin di Indonesia.

Menurut Departemen Kesehatan 1980, data di Rumah Sakit CBZ pada tahun 1938-1940, di Surabaya telah terdapat 3.810 pasien sifilis, di mana 1.261 pasien di antaranya berada pada stadium menular (P3SKK, 2008).

Sejak berdirinya, LP4K telah melakukan serangkaian penelitian dan pengumpulan data penyebaran sifilis selama 1952-1957 terhadap anggota kepolisian dan angkatan darat di Surabaya.

Setidaknya ada 3.054 personel kepolisian dan 4.570 personel Angkatan Darat di Surabaya yang menjadi menjadi sasaran pemeriksaan penyakit kelamin oleh lembaga ini.

Hasilnya, sebagaimana dikutip dari buku Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia jilid 2 yang diterbitkan Departemen Kesehatan, 21,5 persen polisi dan 33 persen personel Angkatan Darat menderita penyakit kelamin.

Selain itu, penelitian yang dilakukan pada poliklinik-poliklinik pelabuhan di Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Bandung pada tahun 1937-1941 dan 1950, juga menunjukkan kesimpulan yang sama.

Karenanya, penelitian terus dilakukan sampai tahun 1956 di dua kriteria lokasi, yaitu Jawa dan Luar Jawa. Hasilnya menunjukkan, angka penularan di Jawa 3-4 kali lebih tinggi daripada di luar Jawa, dengan kasus terbanyak pada penyakit syphilis (Depkes, 1980).

Baca Juga  Mendamba Siklus Musik Rock

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Jawa dan di luar Jawa, pada 1950, Menteri Kesehatan dr. J. Leimena menugaskan Prof. Dr. Soetopo, seorang dokter ahli penyakit kulit dan kelamin, untuk menangani suatu penelitian dan pemberantasan penyakit kelamin.

Dari empat kota besar di Indonesia: Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Surakarta, dipilihlah lokasi di Surabaya. Ini karena Surabaya terdapat jumlah pasien penyakit kelamin yang tinggi,

Surabaya sebagai kota pelabuhan besar, dan Prof. Dr. Soetopo sendiri adalah Arek Suroboyo. Maka, mulai dibangunlah Rumah Sakit Kelamin di sebuah lahan kosong di Indrapura pada 1951.

Awal pembangunan Rumah Sakit Kelamin tahun 1951

Karya Anak Bangsa

Pada perkembangannya, lembaga ini tidak hanya menghadapi penyakit kelamin, tapi juga beberapa masalah kesehatan masyarakat lainnya yang terus bermunculan dan berkembang, seperti campak, kusta, gizi, dan lain lain.

Meski secara fisik tidak dibangun di era konial atau yang biasa disebut bangunan kolonial, tapi gedung ini merupakan karya arsitektur anak bangsa yang sangat membanggakan karena dibangun hanya 6 tahun setelah kemerdekaan pada 1945 dengan kekuatan sendiri.

Apalagi secara historis, berdirinya gedung ini adalah wujud mulai adanya kemandirian di bidang kesehatan masyarakat di Kota Surabaya.

Maka, bangunan fisik yang masih berdiri hingga sekarang adalah saksi bisu atas geliat kemandirian ilmu kedokteran di bidang kesehatan masyarakat pada pascakemerdekaan.

Tahun pendirian Rumah Sakit Kelamin, yang sekarang dikenal dengan Kantor Badan Litbang Kementrian Kesehatan dan Museum Kesehatan, sama dengan tahun mulai dibangunnya Tugu Pahlawan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno.

So,  Rumah Sakit Kelamin benar-benar memiliki nilai sejarah yang membanggakan bagi Kota Surabaya. Karenanya, pengawasan dari berbagai pihak atas aktivitas di eks Rumah Sakit Kelamin (Venerisch Hospitaal) harus dilakukan. Jangan adalagi kata “kecolongan” atas hilangnya bangunan cagar budaya. (*)

Baca Juga  Ekspedisi Bengawan Solo, Menyatukan Daerah Bertumpu Kearifan Lokal

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *