Begandring.com-Walaupun eksistensi tokoh Sawunggaling tak jarang masih dipertanyakan hingga saat ini, namanya menjadi simbol karakter masyarakat Surabaya yang pemberani dan jujur. Siapakah Sawunggaling? Apakah dia tokoh fiktif dalam legenda, ataukah sosok yang nyata pernah ada?
Nama Sawunggaling tak bisa lepas dari sejarah dan budaya kota Surabaya. Nama tersebut diabadikan sebagai nama jalan, gedung, dan nama sebuah kelurahan di Surabaya, meskipun tidak sedikit yang masih penasaran dengan sosoknya.
Karena itulah, keluarga besar Paguyuban Raden Sawunggaling berkolaborasi dengan Begandring Soerabaia mengadakan Sarasehan Budaya bertema Misteri Perjuangan Raden Sawunggaling dan Bubarnya VOC (10/10) . Sarasehan budaya ini sendiri merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Gelar Doa & Angkat Budaya ke-XIII 2024 Paguyuban Raden Sawunggaling.
TP Wijoyo memaparkan kajiannya tentang sosok Sawunggaling. Foto: Begandring.com
Dalam sarasehan budaya ini, Begandring Soerabaia menghadirkan Khabib “Cak Karjo” Marzuki sebagai MC dan Cak TP Wijoyo sebagai narasumber. Narasumber kedua adalah Drs. Sugeng Adipitoyo, dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Unesa.
Bertempat di Pendopo Agung Makam Raden Sawunggaling di bilangan Lidah Wetan, acara malam itu dibuka dengan tari Remo dari warga Lidah Wetan. Sarasehan dibuka oleh Bapak Mulyadi, ketua Paguyuban Raden Sawunggaling.
Pak Mulyadi memutar video animasi buatan salah satu anggota paguyuban tentang kisah Sawunggaling yang disebut anak dari Adipati Surabaya, Djangrana atau Jayengrana dan Dewi Sangkrah, yang ketika besar mengikuti sayembara memanah kakak-kakak tirinya, Sawungrana dan Sawungsari. Siapa yang memenangkan sayembara ini akan menjadi adipati Surabaya menggantikan Djangrana.
“Sawunggaling pun memenangkan sayembara, tetapi gelar adipati tak kunjung diberikan Djangrana karena desakan VOC,” jelas Pak Mulyadi.
Menurut riwayat yang dipercaya khalayak, Sawunggaling akhirnya memberontak melawan VOC dan ia juga dipercaya khalayak sebagai sosok yang babat alas (membuka lahan) kota Surabaya.
Pada sesi selanjutnya, penggiat sejarah Begandring, TP Wijoyo, menjelaskan sudut pandang Sawunggaling dari sisi rentang waktu data-data sejarah. Dimulai dari narasi babat alas Surabaya, Cak TP – panggilan akrab TP Wijoyo – memaparkan adanya Prasati Canggu (1358 M) yang menyebut nama “Churabhaya” sebagai salah satu desa tepian Sungai Brantas, “Bahkan di Negarakertagama, kawasan Churabhaya disebut dikunjungi Hayam Wuruk,” urai Cak TP. “ Ini berarti nama Surabaya sudah ada sejak 1350-an, sebelum jaman Sawunggaling,” tambahnya.
Cak TP juga menampilkan silsilah dari dua penguasa Surabaya yang berkuasa semasa Sawunggaling diperkirakan hidup. Ketika Surabaya ditaklukkan Sultan Agung di tahun 1625, Surabaya dibawah kekuasaan adipati bernama Jayalengkara, yang menurut beberapa sumber tak memiliki anggota keluarga atau kerabat bernama Sawunggaling.
Cak TP mengutip dari buku Silisilah Lanang Dangiran (1966), penguasa Surabaya selanjutnya, Djangrana I atau Hanggawangsa, memiliki cucu bernama Sawunggaling. Sawunggaling sendiri merupakan cucu Djangrana dari anak bernama Raden Surengrono yang menjabat Adipati Lamongan.
Sedangkan peran Sawunggaling di Surabaya sendiri memiliki beberapa versi.
“Dalam buku Silsilah Lanang Dangiran, Sawunggaling diangkat sebagai Adipati Surabaya oleh Gubernur VOC Van Imhoff dan berkuasa selama 6 tahun,” tukas Cak TP, “sedangkan versi Babad Tanah Jawi, Sawunggaling diangkat oleh Pakubuwana I.
Sempat beredar pula pendapat bahwa perlawanan Sawunggaling menyebabkan VOC bangkrut. “Dari data yang kami himpun, VOC bangkrut disebabkan oleh banyak hal, tak hanya masalah perang.” terang Cak TP. “VOC bangkrut juga karena korupsi, anggaran gaji pegawai yang terlalu tinggi dan kebijakan ekonomi Belanda yang berubah,” tambah Cak TP.
Peserta menyimak paparan dari para pemateri. Foto: Begandring.com
Dari data-data yang dikumpulkan tentang sosok Sawunggaling, Cak TP berpendapat bahwa Sawunggaling bukanlah tokoh fiktif. Sawunggaling hidup di tahun 1730-an hingga 1740-an.
“Sawunggaling hidup di masa Mataram menghadapi pemberontakan Sunan Kuning hingga saat Surabaya diserahkan Mataram ke VOC di 1743,” tegas Cak TP.
Pembicara terakhir, Drs. Sugeng Adipitoyo lebih banyak menggali sisi spiritual sosok Sawunggaling. Dosen Unesa ini bahkan pernah mengajukan sosok Sawunggaling sebagai pahlawan nasional pada tahun 1995, meski tidak lolos dikarenakan banyak syarat yang tak terpenuhi.
Sugeng Adipitoyo memapakarkan pandangannya soal Sawunggaling. Foto: Begandring.com
Kisah Sawunggaling di mata Pak Sugeng merupakan cerminan perjalanan spiritual manusia yang harus diteladani oleh semua orang terutama warga Surabaya. Proses perjalanan hidup Sawunggaling menurut Pak Sugeng bermula saat masih muda dengan nama Joko Berek. “Kisah Sawunggaling adalah tentang kedaulatan diri, pendewasaan,” jelas Pak Sugeng.
Nama “Joko Berek” menurut Pak Sugeng juga memiliki tendensi merendahkan, “kata ‘berek’ bisa diartikan sebagai ikan yang busuk.” kata Pak Sugeng. Masa kecil dan masa remaja Sawunggaling penuh dengan hinaan dan ujian yang sangat hebat. Titik balik bagi Sawunggaling terjadi saat mengikuti sayembara memanah dan memenangkan sayembara tersebut.
“Joko Berek mendapat pencerahan, hingga ia berubah menjadi Sawunggaling Kulma’ Sosronegoro,” kata Pak Sugeng. “Kulma’ berarti memotong, yang dipotong adalah hawa nafsu dan kekuasaan yang zalim,” tambahnya. Menurut Pak Sugeng, di fase inilah Joko Berek yang telah melakukan “among raga” berubah menjadi Sawunggaling yang telah menjalani “among jiwa”.
Tak sedikit Gen-Z yang ikut jadi peserta sarasehan. Foto: Begandring.com
Acara pun ditutup dengan kesimpulan dari TP Wijoyo, yang berharap tokoh Sawunggaling tetap diingat oleh masyarakat kota Surabaya. Terlepas dari kontroversi kisah dan sejarah sosok Sawunggaling, sejatinya masyarakat harus tahu nama Sawunggaling ditengah perkembangan budaya dan jaman.
Masyarakat bebas menilai sosok Sawunggaling dari sudut legenda atau fakta sejarah, yang terpenting nama Sawunggaling harus tetap diingat sebagai bagian dari budaya kota Surabaya.
Penulis: M. Firman. Pemerhati sejarah dan budaya Surabaya.
Foto-foto lain: