Sekolah Kebangsaan Harus Digelar Secara Periodik

Perayaan Bulan Bung Karno 2022 berjalan penuh makna di Surabaya. Serangkaian kegiatan digelar, mulai 1 Juni dengan peringatan Hari Lahir Pancasila. Kemudian selama 4 hari berturut-turut mulai 12 Juni, diisi sarasehan.

Yang tak kalah manarik diselengarakannya Sekolah Kebangsaan, 13-15 Juni 2022. Tiga hari Sekolah Kebangsaan dihelat di tiga tempat bersejarah yang memiliki keterkaitan dengan riwayat Bung Karno di Surabaya.

Hari pertama, Sekolah Kebangsaan diadakan di Rumah Lahir Bung Karno di Pandean Gang I Nomor 40. Hari kedua, digelar di eks sekolah Hogere Burgereschool (HBS) yang kini berdiri Gedung Kantor Pos Besar Jalan Kebonrojo. Hari ketiga, diadakan di Rumah HOS Tjokroaminoto di Peneleh VII, tempat Bung Karno ngekos pada 1916-1921.

Tiga pegiat sejarah dari Begandring Soerabaia menjadi pengajar di Sekolah Kebangsaan. Mereka, Nanang Purwono, Kuncarsono, dan Achmad Zaki Yamani. Guru lain, Rojil Bayu Aji (sejarawan Unesa) dan perwakilah veteran dari LVRI Surabaya.

Setiap kegiatan diikuti 100 siswa SMP dari beberapa sekolah di Surabaya. Dari tiga hari, ada 300 siswa plus guru pendamping ikut Sekolah Kebangsaan.

Menurut Siti Hindun Robbah dari Bakesbangpol Surabaya, Sekolah Kebangsaan dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan memperkenalkan sejarah kepada masyarakat umum.

“Terutama kalangan pelajar di Surabaya,” cetusnya.

Para pelajar Surabaya mengikuti Sekolah Kebangsaan. foto:diskominfo

 

Kuncarsono Prasetyo saat mengajar di Kantor Pos Besar Surabaya, menceritakan kisah tentang perjalanan hidup Soekarno, mulai dari kelahiran, masa balita, remaja, dewasa hingga menjadi Presiden Pertama RI.

Kuncarsono juga berbagi kisah romantis Bung Karno. Ketika kali pertama menyatakan cintanya kepada Oentari, anak H.O.S Tjokroaminoto, di atas Jembatan Peneleh. Oentari adalah istri pertama Soekarno.

“Bung Karno ketika kembali lagi ke Surabaya usianya masih 15 tahun. Ketika sampai di Surabaya, ia diindekos di rumah Pak Tjokro, yang tidak lain adalah teman bapaknya. Selama kos, Bung Karno hanya bayar makan. Kosnya gak bayar. Kadang makan hanya dua kali karena memang tidak cukup uang untuk makan tiga kali sehari. Selama indekos itulah Bung Karno kenal Oentari,” beber Kuncarsono.

Baca Juga  Nobar Film Koesno Dihadiri Ratusan Warga Surabaya

Kuncarsono ingin berbagi fakta jika keluarga Bung Karno itu miskin. Kondisi kemiskinan itu dikatakan sendiri oleh Bung Karno sebagaimana ditulis oleh sahabatnya, Cindy Adam dalam bukunya, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Meski miskin, namun Bung Karno bisa menjadi pemimpin bangsa yang disegani dunia.

Kuncarsono mengajak semua siswa agar mau bekerja dan belajar keras meraih cita-cita seperti Bung Karno. “Karenanya warisi apinya, bukan abunya,” tambah Kuncarsono.

Achmad Zaki Yamani. foto:begandring

 

Tata Cara Hormat

Hari terakhir Sekolah Kebangsaan di Peneleh VII di Rumah HOS Tjokroaminoto, pegiat sejarah Achmad Zaki Yamani, mengingatkan tata cara hormat dan mengucapkan pekik Merdeka.

“Pekik Merdeka ini penting karena mengandung semangat kebangsaan dan karenanya harus dijiwai dalam mengucap pekik merdeka,” ujarnya.

Sebetulnya, terang Zaki mengucapkan pekik Merdeka ini harus dikuti dengan gerakan mengepalkan tanggan sambil mengangkat lengan lurus sebahu dengan kepalan tangan sejajar dengan telinga.

Tidak cuma tata cara pekik Merdeka, Zaki juga menjalaskan  filosofi menghormat kepada bendera Merah Putih maupun kepada atasan atau pimpinan dalam hirarki militer dan kebangsaan.

“Lima jari harus rapat. Lima jari adalah simbolisasi lima sila yang harus dirapatkan satu sama lain dalam satu kesatuan yang diikat oleh pita semboyan Bhinneka Tunggal Ika,” jabar Zaki.

Zaki juga mengingatkan seluruh peserta Sekolah Kebangsaan adanya degradasi nilai kebangaaan menjadi ancaman di tengah dampak modernisasi.

“Dalam kelas Sekolah Kebangsaan semacam ini sangat pas jika siswa diajak memekikkan Merdeka”, tambah Zaki.

Tidak bisa dipungkiri, terang dia, dampak globalisasi dan teknologi dapat berpengaruh pada orientasi perkembangan dan pola pikir generasi muda. “Bukan berarti mereka tidak boleh mengikuti perkembangan jaman, tapi mereka harus senantiasa diingatkan akan nilai nilai kebangsaan,” jelasnya.

Baca Juga  Sejarah Surabaya dari Masa ke Masa

Mengakhiri sekolah kebangsaan ini, seluruh peserta kelas sekolah kebangsaan diajak masuk ke Museum H.O.S Tjokroaminoto. Ini dimaksudkan untuk lebih mengenal sosok H.O.S Tjokroaminoto dan Bung Karno serta tokoh bangsa lainnya yang pernah tinggal di rumah itu. Para pelajar sangat antusias belajar sejarah sambil berwisata.

Sekolah Kebangsaan bersifat insidentil. Karenanya, kegiatan positif ini perlu dilakukan secara rutin, berkala sepanjang tahun. Akah jauh lebih bagus kalau mengajak anak-anak sekolah berwisata sejarah yang tersebar di Surabaya.

“Dengan begitu mereka akan mudah menangkap pesan penting yang harus diwarisi generasi muda. Kami dari Begandring Soerabaia siap berkolaborasi. Jika mahasiswa internasional yang dikelola FIB Unair mau belajar sejarah Surabaya, masak pelajar Surabaya tidak kepingin,” kata Nanang Purwono.(*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *