Kota Surabaya sangat potensial sebagai kota internasional dan mengguncangkan Dunia. Namun begitu, Surabaya juga harus menjaga kearifan lokal agar tidak tergerus zaman dan mampu mempertahankan jati dirinya.
Demikian benang merah diskusi bertajuk “Surabaya Mau Kemana?” yang digelar Airlangga Forum dalam kemasan podcast edisi ke-128.
Podcast ini diproduksi oleh Humas dan Informasi Universitas Airlangga yang direlay oleh 30 radio pemerintah kota dan kabupaten di Jawa Timur pada Jumat (14/4/2023) mulai pukul 15.00-17.00 WIB.
Airlangga Forum adalah sebuah forum diskusi yang hadir untuk membahas masalah dan sekaligus menawarkan solusi. Pembicaranya para ahli di bidangnya masing-masing.
Pada siaran edisi 128 ini sebagai narasumber adalah Prof. Suparto Wijoyo (wakil direktur III Sekolah Pasca Sarjana Unair), Nanang Purwono (ketua Begandring Soerabaia), M. Isa Ansori dan Heri Fitrianto (tim ahli pemerintah Kota Surabaya). Acara dimoderatori Savira Isnah.
Dalam diskusi itu semua pembicara sepakat bahwa Surabaya harus terus berkembang dan maju di tengah percaturan dunia. Apalagi Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, menurut Isa Ansori, berharap menjadikan kota Surabaya bertaraf internasional.
Salah satu dari upaya itu adalah menjadikan Surabaya sebagai Kota Layak Anak tingkat dunia (Child Friendly City Internasional). Eri Cahyadi juga surah mengirimkan surat kepada UNICEF Indonesia pada 13 Desember 2022.
Banyak lagi lainnya baik yang sudah dicapai sebagai predikat internasional, juga masih banyak yang akan dicapainya. Kota Surabaya memang layak sebagai kota internasional.
Infrastruktur sudah tersedia. Selain terdapat bandara internasional, koneksi internasional sudah terjalin.
Suparto Wijoyo mengingatkan kepada stakeholder kota agar tetap mempertahankan kearifan lokal di tengah pergaulan global agar Surabaya (Indonesia) tetap memiliki jati diri dan warna tersendiri.
Apakah kita sudah siap berjati diri sebagai kota Internasional?
Sayangnya, Surabaya dari waktu ke waktu justru seolah semakin tercabut dari akarnya.
“Karena cepatnya pembangunan dan upaya menyejajarkan Surabaya dengan kota-kota dunia, akibatnya justru peradaban Surabaya ini jadi distorsi, kearifan lokal teramputasi yang akhirnya peradaban ini terakuisisi”, papar Suparto.
Ia lalu mencontohkan adanya pembangunan kota di wilayah Timur yang dikenal lama dengan nama Kenjeran dan Kejawan. Karena modernisasi namanya justru tenggelam dan jadilah Pakuwon City.
Hal yang sama juga terjadi di wilayah Surabaya Barat. Nama nama lokal terlindas oleh nama-nama yang berbau asing seperti Citraland. Sedangkan di Wonokitri tumbuh Citraland World.
“Di sana peradaban menjadi distorsi, budaya diamputasi dan kearifan lokal diakuisisi,” tegas Suparto.
Distorsi, amputasi, dan akuisisi ini terus beraksi. Jika tidak disadari, maka kota Surabaya cepat atau lambat akan menjadi kota maju yang tidak berjati diri.
Surabaya akan sama dengan kota-kota dunia lainnya. Bisa jadi Surabaya bukan Indonesia, tapi Surabaya adalah Eropa atau Amerika atau Surabaya adalah Korea.
“Itu saking banyaknya pengaruh asing di Surabaya dan hilangnya kearifan lokal,” imbuh Suparto.
Karenanya, kata Suparto, perlu mengetahui sejarah karena sejarah menjadi pijakan dalam pembangunan untuk masa depan.
Presiden Soekarno berpesan melalui slogannya “Jas Merah”, yang berarti Jangan sekali sekali melupakan sejarah.
Ini bukan berarti bahwa Surabaya dan bangsa Indonesia tidak menatap ke depan.
Justru Soekarno melalui Monumen Tugu Pahlawan menitipkan pesan yang bersifat refleksi akan nilai-nilai masa lalu (sejarah) dan sekaligus proyeksi akan masa depan bangsa.
Generasi sekarang harus mengisi kemerdekaan untuk cita-cita hidup berbangsa dan bernegara di masa depan.
“Soekarno selain berpesan melalui “Jas Merah”, ia juga berpesan beri saya 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia,” tutur Nanang Purwono.
Menurut dia, esan refleksi dan proyeksi ini ada pada monumen Tugu Pahlawan.
“Jadi jelas ke mana arah perjalanan Surabaya ini. Surabaya harus maju dan moderen, tapi jangan lupa kearifan lokal termasuk sejarahnya,” tegas Nanang.
Apakah Surabaya bisa menjadi kota kelas dunia? Jawabannya bisa!
“Pada masa lalu Surabaya ini adalah kota internasional yang sudah kosmopolitan. Beragam kebangsaan pernah hidup di Surabaya. Orang-orang Eropa pernah menghuni Surabaya. Orang-orang Asia hingga Timur Tengah sudah pernah menghiasi Surabaya.” ungkap Nanang.
Belum lagi jaringan perdagangannya sudah terkoneksi ke Asia dan Eropa. Di era kolonial, kantor-kantor dagang Eropa membuka perwakilannya di Surabaya.
“Ada kantor yang berpusat di Amsterdam dan Rotterdam buka cabangnya di Surabaya. Bahkan di era Sunan Ampel, perdagangan komoditas rempah rempahnya sudah merambah mancanegara,” sebut jurnalis senior itu.
Kata Nanang, sesungguhnya yang menjadi harapan Surabaya bisa menjadi kota internasional secara historis pernah ada. Surabaya pernah menjadi kota internasional.
“Apakah ini yang namanya kemunduran? Sudah pernah menjadi kota bertaraf internasional kok masih mengejar predikat kota internasional di masa depan,” tegas Nanang.
Yang jelas, ke depan kota Surabaya tidak cukup menjadi kota internasional, tapi harus bisa menjadi kota yang mengguncangkan dunia seperti harapan Arek Suroboyo yang akhirnya menjadi presiden pertama Indonesia, Soekarno. (tim)