Koran di era Hindia Belanda, Soerabaiasche Handelsblad tertanggal 27 Juli 1882, memberitakan bahwa di Surabaya sudah ada dua masjid besar. Satu di lingkungan Alun-Alun Kabupaten Surabaya, satunya di Ampel. Kedua masjid besar ini memiliki sentuhan perpaduan gaya arsitektur kolonial dan Jawa yang Islami. Sayang dalam perkembangannya, sentuhan lokalnya hilang.
Misalnya di masjid alun alun Kabupaten, yang sekarang terkenal dengan nama Masjid Kemayoran, dulu pada bagian atapnya berupa meru berundak. Pun demikian dengan mahkota menaranya. Karena perubahan jaman itu, atap masjid dan menara berubah menjadi model kubah. Arsitektur Jawanya hilang.
Sementara, jika memasuki masjid, utamanya ruang utama yang berbentuk oktagonal, sentuhan kolonialnya masih sangat kelihatan. Ruang utama ini disanggah oleh 4 saka guru (konsep Jawa) yang berbentuk kolom kolom silinder khas Eropa yang umum dari abad 19 di Hindia Belanda. Kemudian setiap sisi oktagon berrelung motif (arsitektur) gotik.
Arsitektur Gotik adalah gaya arsitektur yang digunakan selama abad pertengahan tengah dan akhir. Gaya ini berevolusi dari arsitektur Romanesque dan diteruskan oleh arsitektur Renaisans. Arsitektur ini berasal dari Prancis abad ke-12.
Bagian gedung utama masjid (oktagon) inilah, sesuai berita koran Soerabaiasch Handelsblad tertanggal 18 Juli 1934, adalah bangunan masjid yang didirikan 86 tahun sebelum pembangunan perluasan Masjid pada 1934. Berarti gedung utama masjid dibangun pada 1848.
Sementara pada prasasti logam tembaga beraksara Jawa, yang menghiasi dinding dalam masjid, tertuliskan nama nama pejabat negara mulai dari tingkat lokal, regional hingga nasional. Mereka adalah Bupati Surabaya Raden Tumenggung Kromojoyodirono, Resident Surabaya Daniel Franscois Willem Pietermaat dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Jacob Rochussen.
Jejak Trio Pendiri Masjid
Raden Tumenggung Kromojoyodirono secara resmi diangkat menjadi bupati Surabaya hanya 4 tahun (1859-1863) berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda tertanggal 6 November 1862 nomor 6. Menurut GH Von Faber dalam bukunya “Oud Soerabaia”, Raden Tumenggung Kromojoyodirono dinilai sangat disukai oleh pemerintah dan karena itu ia diresmikan menjadi bupati Surabaya.
Tapi, sebenarnya namanya sudah terlebih dahulu terukir pada prasasti tembaga yang berangka tahun 1772-1776 S (1848-1852) sebelum ia diangkat secara resmi sebagai bupati Surabaya pada 1861.
Raden Tumenggung Kromojoyodirono dilantik oleh Gubernur Jenderal sebagai bupati di Dalem Kabupaten (Regentstraat) bersama dengan rekan rekan bupati lainnya dari Gresik, Lamongan, Mojokerto dan Sidoarjo.
Rumah bupati (Kabupaten) di Regenstraat, yang dibangun pada 1840-an ini, merupakan wujud restorasi atas ndalem bupati yang sudah ada sebelumnya. Di rumah bupati (Kabupaten) inilah, sederetan bupati Surabaya pernah tinggal. (Von Faber)
Tidak jauh dari rumah bupati (kabupaten) Surabaya terdapat komplek makam bupati Surabaya. Yaitu di Bibis. Kebon Rojo dan Bibis hanya dipisah oleh Kalimas. Di komplek makam bupati inilah, Raden Tumenggung Kromojoyodirono diistirahatkan.
Pejabat pemerintah lainnya yang namanya terukir pada prasasti masjid alun alun (Kemayoran) adalah Residen Daniel Franscois Willem Pietermaat. Pietermaat menjabat sebagai Residen Surabaya hampir 10 tahun mulai 1839 – 1848. Ia menjadi satu satunya pejabat Residen yang wafat selama menjalankan tugas di Surabaya. Karenanya ia dimakamkan di Peneleh.
Makamnya istimewa. Lahan makamnya lebih luas dari pada makam makam lainnya. Makamnya berpagar besi baja dan berpilar kolom struktur bata berplester. Kini pagar makam sudah hilang. Bahkan prasasti kematian yang terbuat dari marmer juga sudah lenyap, dicongkel orang. Letak makam di tengah tengah jalan (koridor) makam. Istimewa.
Mewakili pemerintah kolonial di wilayah karesidenan Surabaya dalam pembangunan masjid alun alun, Pietermaat menunjukkan kepeduliannya pada kepentingan publik pribumi dalam hal ibadah. Selain itu Pietermaat juga termasuk orang yang berhasil menghapuskan sistim penyetoran wajib tenaga kerja untuk membangun proyek pertahanan di Surabaya dan untuk menghapuskan proyek pemborongan pasar.
Dalam perayaan 25 tahun perkawinannya pada 28 Oktober 1848, ia secara terbuka menyampaikan rasa terima kasihnya kepada rakyat Surabaya. Ia pun mendapat penghargaan berupa vas bunga perak yang indah. Empat minggu kemudian, 30 November 1848 ia meninggal dunia dan dimakamkan di pemakaman Belanda Peneleh. Ia meninggal dalam usia 58 tahun.
Selanjutnya jabatan Residen Surabaya dipegang P.J.B. De Perez mulai 1848 – 1853, yang makamnya juga ada di Peneleh. Makam De Perez juga istimewa karena bernisan tugu besi cor paling besar dan tinggi di tengah koridor jalan makam.
Kedua makam pejabat Residen Surabaya: Daniel Franscois Willem Pietermaat dan P.J.B. De Perez sama sama memiliki posisi yang strategis.
Pejabat pemerintah Hindia Belanda berikutnya yang berjasa terhadap pendirian masjid alun alun kabupaten Surabaya adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Jacob Rochussen. Dalam prasasti masjid disebutkan bahwa pembangunan masjid itu merupakan pemberian pemerintah Hindia Belanda kepada segenap umat Islam di Surapringga (Surabaya).
“Puniko sih peparinganipun Kanjeng Gubernemen Landa dhumateng sarupining bangsa Islam”, (Ini adalah pemberian Tuan Gubernur Belanda kepada segenap umat Islam), begitu bunyi petikan prasasti Masjid alun alun.
Gubernur Jendral Jan Jacob Rochussen, lahir di Etten-Belanda pada 23 Oktober 1797 – meninggal di Den Haag, 21 Januari 1871, pada usia 73 tahun. Ia adalah Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda yang ke 49. Ia memerintah antara tahun 1845 – 1851.
Di bawah pemerintahan Rochussen, pemerintah Hindia-Belanda mengirim ekspedisi ke Bali, Palembang, Bangka, Sulawesi Selatan dan lain-lain.
Rochussen juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Belanda antara 1858-1860.
Pada 28 September 1849 Gubernur Jenderal J.J. Rochussen datang ke Pengaron, wilayah Kesultanan Banjar untuk meresmikan pembukaan tambang batu bara Hindia Belanda pertama yang dinamakan Tambang Batu Bara Oranje Nassau “Bentang Emas”.
Pada 1848 J.J. Rochussen bersama Residen Surabaya Daniel Franscois Willem Pietermaat dan Bupati Surabaya Raden Tumenggung Kramajoyodirono menandai pembangunan masjid Alun alun yang kini bernama masjid kemayoran. Bukti peran meraka dalam pembangunan masjid Kemayoran adalah sebuah prasasti tembaga yang masih ada di dalam masjid.
Jika Anda berkesempatan sholat di masjid ini, luangkan waktu melihat prasasti yang tertempel di dinding dalam masjid di dekat pintu masuk utama di sisi selatan. (*)